Latest News

Wednesday, July 30, 2008

GURU TIDAK PERLU KAYA


Seorang narasumber dari sebuah seminar yang saya ikuti hari ini mengatakan bahwa ketika seseorang memilih guru sebagai profesinya, maka dia harus berkorban untuk tidak menjadi kaya. Saya tertegun mendengar pernyataannya. Tentu saja saya tidak setuju dengan pernyataan narasumber itu. Tapi sayang saya tidak mendapatkan kesempatan untuk menyanggah pernyataan itu.
Pernyataan narasumber itu seolah ingin meyakinkan guru bahwa profesi ini adalah profesi yang penuh dengan idealisme. Idealisme akan rusak jika tercemar hal � hal yang berkenaan dengan kebendaan. Maka, jangan jadi guru kalau menginginkan kekayaan. Dengan demikian, narasumber seakan � akan mengharapkan agar guru tidak terus meributkan kesejahteraan. Karena menjadi guru adalah panggilan jiwa, bukan semata � mata untuk mendapatkan penghidupan. Ketidaksetujuan saya menguat setelah dalam kesempatan yang sama narasumber berkata bahwa di pundak gurulah terletak masa depan umat manusia. Betapa berat tugas seorang guru.
Benarkah menjadi guru berarti bersedia untuk tidak menjadi kaya? Salah. Salah besar!. Jika dikatakan bahwa guru bertanggung jawab terhadap masa depan umat manusia, maka guru harus menyerahkan seluruh waktunya untuk memenuhi tanggung jawab itu. Seluruh waktunya. Bahkan bukan Cuma waktu. Tapi juga pikiran dan tenaganya karena masa depan umat manusia bukan perkara ringan. Nah, jika dalam memenuhi tanggung jawab itu guru masih harus bergumul dengan persoalan � persoalan ekonomi keluarga: biaya hidup sehari � hari, biaya pendidikan anak, biaya yang harus dikeluarkan sebagai anggota sosial masyarakat, biaya untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai pendidik, bisakah mereka memenuhi tanggung jawab sebagai penentu masa depan umat manusia? Tidak, tentu saja.
Saya rasa akan lebih tepat jika narasumber mengatakan bahwa jika seseorang memilih untuk menjadi guru, maka mereka harus siap hidup sederhana. Hidup sederhana tentu beda dengan menjadi kaya. Orang tetap bisa hidup sederhana meskipun mereka sebetulnya kaya.
Berapa besar gaji seorang guru? Ada yang mengatakan cukup. Tapi cukup yang dimaksud adalah cukup untuk membiayai hidupnya sendiri. Jika dia harus menanggung hidup keluarganya, gaji mereka tentu tidak mencukupi. Semua tahu bahwa kebanyakan guru �menggadaikan� SK untuk bisa membeli motor, atau membangun rumah mereka. Ketika mereka bekerja sambilan untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka sehari � hari, pasti tugas mereka sebagai pendidik akan terganggu. Dengan latar belakang ekonomi yang sedemikian ini, mestinya kita tidak terlalu menyalahkan guru ketika mereka menjual buku kepada murid � muridnya.
Guru harus kaya dengan gaji yang didapatnya sebagai imbalan atas jerih payahnya mendidik para siswa. Dengan kekayaan yang dimilikinya, mereka bisa lebih terfokus dalam mengajar dan mendidik. Kerja mereka tidak akan terganggu dengan kebutuhan � kebutuhan hidup yang menuntut untuk segera dipenuhi. Guru akan memiliki banyak waktu untuk meningkatkan kompetensi dan kualifikasi mereka. Kompetensi dan kualifikasi mereka sebagai seorang pendidik harus selalu terbarui seiring perkembangan jaman. Kalau guru tidak kaya, mereka tidak dapat memenuhi kedua hal itu. Jadi, siapapun yang mengatakan bahwa profesi guru menuntut seseorang untuk mengorbankan keinginannya agar menjadi kaya, mereka salah besar.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, OKB di sini.

Tuesday, July 29, 2008

BANGSA BODOH


Tetangga saya yang janda patut berbangga. Anaknya, konon kabarnya, bekerja sebagai seorang desainer mobil mewah di Jerman. Saya belum pernah bertemu dengan sang anak. Dia jarang � jarang pulang. Tetapi kabar itu sangat santer terdengar. Teman � teman sekolahnya yang dulu banyak memberikan kesaksian bahwa anak bu janda itu memang terkenal pintar sejak SMA. Setelah lulus kuliah, dia bekerja di sebuah perusahaan yang kemudian menyekolahkannya ke luar negeri. Sayangnya, dia malah tertarik untuk bekerja di luar negeri.
Anda mungkin juga pernah mendengar kabar serupa dari orang � orang di sekitar anda. Atau mungkin anak atau kerabat anda sendiri. Kita juga punya Habibie yang disegani oleh orang Jerman. Kemarin, saya membaca Koran yang berisi tentang orang Semarang yang ternyata ahli Radar dan kini dia menetap di Jerman. Saya yakin banyak orang � orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dan disegani karena kompetensinya. Maka, jika Taufik Ismail menulis puisi �Aku Malu Jadi Orang Indonesia�, kita sebenarnya tidak perlu malu.
Kita bangsa yang kaya. Sumber daya alam kita melimpah. Jepang atau Korea tidak ada apa � apanya dibandingkan kita. Kita mempunyai berjuta anak � anak yang cerdas. Kita tidak perlu malu. Cuma, kalau kemudian kita tidak lebih baik dari Jepang dan Korea, masalahnya tentu bukan karena kita bangsa yang bodoh. Kita hanya belum pandai mengelola.
Sumber daya alam kita yang kaya, bahkan bukan kita yang menikmatinya. Tapi orang � orang luar negeri. Kita menjadi kuli di rumah sendiri. Selain itu, banyak juga saudara � saudara kita yang rakus. Kerakusan membuat mereka lupa bahwa mereka hidup di tengah � tengah orang lain. Banyak uang yang seharusnya untuk kita bersama, mereka simpan untuk diri mereka sendiri. Mereka menjadi salah satu sebab tidak majunya bangsa kita.
Beberapa orang mengatakan bahwa Jepang dan Korea menjadi seperti sekarang ini malah karena kemiskinan sumber daya alam mereka. Kemiskinan menempa mereka menjadi bangsa yang ulet dan disiplin. Kita sudah terlanjur sadar bahwa kita orang kaya sehingga kita bergaya hidup santai dan kurang berusaha. Sepertinya ada benarnya. Ada orang Jepang yang menikah dengan orang Indonesia berkata bahwa dia senang tinggal di Indonesia karena suasananya santai, tidak seperti tanah kelahirannya.
Kita bukan bangsa yang bodoh, sekali lagi. Kita orang � orang yang cerdas. Yang dilahirkan oleh orang � orang yang cerdas dan akan melahirkan orang � orang yang cerdas. Kita hanya perlu menata diri. Orang � orang kita tidak perlu bekerja untuk memajukan Negara lain jika di sini mereka mempunyai ruang untuk mewadahi kecerdasan mereka. Jika mereka dihargai sesuai dengan kemampuan yang mereka punyai. Tapi jika kita tidak memiliki ruang dan kita tidak mampu menghargai mereka dengan selayaknya, sepertinya kita tetap akan kehilangan orang � orang yang akan mensejajarkan bangsa kita dengan bangsa � bangsa lain di dunia.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik STIGMA di sini.


NASIB SEKOLAH SWASTA


Sekarang ini, SMK � SMK baru didirikan hampir di setiap kecamatan. Pemerintah menginginkan agar akses ke SMK semakin mudah. Pemerintah dengan gencar mengiklankan SMK � SMK itu di berbagai stasiun televisi. Diharapkan, nantinya banyak lulusan SMP yang melanjutkan ke SMK. Semakin banyak lulusan SMK yang dihasilkan, semakin banyak tenaga trampil siap pakai. Begitu asumsinya.
Tapi kebijakan pemerintah ini tidak serta merta lepas dari kekurangan. Doni Koesoema menuliskan dengan baik pandangannya mengenai program pengadaan SMK ini dalam artikel yang dimuat KOMPAS hari ini (29/07/08). Sedang saya, memandang program pemerintah mengenai pengadaan SMK ini dari sisi yang lain.
Di kota saya, terdapat beberapa SMK swasta. Selama ini SMK swasta ini mendapatkan siswa dari lulusan � lulusan SMP yang tidak diterima di SMK negeri. Seperti yang kita tahu, sekolah swasta bisa tetap eksis hanya jika mereka mempunyai siswa yang cukup. Jika mereka terus menerus kekurangan murid, bisa dipastikan kelangsungan hidup mereka tidak akan lama lagi.
Program pemerintah untuk mengadakan SMK di tiap kecamatan tentu akan menjadi ancaman bagi SMK swasta. Dari segi biaya, kualitas pendidikan, dan fasilitas, bisa jadi SMK negeri lebih baik daripada SMK swasta. Dan ini akan menguntungkan siswa. Tapi, harus diingat bahwa SMK swasta adalah ladang penghidupan bagi sebagian guru � gurunya. Jika sekolahan mereka tutup, kemana mereka akan mencari penghidupan?
Pengadaan SMK di tiap kecamatan tentu akan memudahkan calon siswa yang akan melanjutkan pendidikannya. Selama ini, SMK � SMK memang banyak terpusat di kecamatan kota. Siswa dari kecamatan � kecamatan daerah harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk transportasi atau untuk kos. Pengadaan SMK sampai ke tiap kecamatan akan sangat menguntungkan siswa dari sisi waktu dan biaya.
Akan tetapi alangkah baiknya jika pengadaan SMK di tiap kecamatan itu tidak mengancam kelangsungan hidup SMK swasta. SMK � SMK swasta di kota saya tidak termasuk tipe sekolah yang difavoritkan, bukan tipe sekolah yang diperebutkan kursinya. Bagaimana jika sekolah - sekolah swasta itu dijadikan sekolah negeri saja? Mereka memiliki pengalaman menyelenggarakan pendidikan berpuluh � puluh tahun. Mereka memiliki aset. Perubahan sekolah swasta menjadi sekolah negeri tentu tidak terlalu membebani keuangan Negara.
Saya kira ini harus dipertimbangkan. Tidak hanya masalah guru yang akan kehilangan pekerjaan, tapi kita harus selalu ingat bahwa sekolah � sekolah swasta itu, selama ini, telah membantu mencerdaskan anak � anak kita. Kita tidak boleh lupa dengan hal ini.




Sunday, July 27, 2008

WAJIB BELAJAR 12 TAHUN (?)


Beberapa hari lalu saya bertemu mantan murid saya di sebuah toko mainan. Murid yang baru lulus tahun lalu itu sekarang menjadi penjaga toko mainan di dekat rumah saya. Dia tidak melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Menengah Atas. Padahal selama saya mengajarnya, saya mendapatinya sebagai murid yang cerdas dan tekun. Malu � malu dia menyapa saya saat bertemu di toko mainan itu. Pertemuan yang mungkin tidak ia harapkan.
Tahun lalu, saat pengumuman kelulusan, anak yang sekarang menjadi penjaga toko itu menangis saat saya bertanya tentang kelanjutan sekolahnya. Menangis saja. Saya jadi bingung karenanya. Beberapa saat setelah berhenti menangis, barulah dia menjawab bahwa dia tidak akan melanjutkan sekolahnya karena orang tuanya tidak mampu membiayai. Karena itu dia menangis. Kuat keinginan dia untuk melanjutkan sekolah. Tapi keinginan itu pupus karena kemiskinan yang ditanggung orang tuanya.
Kurang lebih hanya separuh dari murid saya yang melanjutkan sekolahnya setiap tahun. Separuh sisanya, yang tidak melanjutkan sekolah, memilih untuk bekerja atau kawin. Bukan karena mereka malas sekolah. Tapi karena tidak adanya biaya untuk meneruskan sekolah.
Selain mantan murid saya yang saya ceritakan di atas, beberapa kali saya bertemu dengan mantan murid saya, perempuan, yang lain. Kerapkali sambil menggendong seorang balita, anak � anak mereka. Wajah mereka kelihatan lebih tua dari usia mereka yang sebenarnya. Teman � teman mereka yang melanjutkan sekolah, setiap harinya bergelut dengan persoalan � persoalan di sekolah � ulangan harian, menyelesaikan PR, mengerjakan tugas � tugas. Sedang murid saya yang menggendong anak balitanya itu, telah bergumul dengan persoalan � persoalan hidup yang berat � memenuhi kebutuhan sehari � hari, membayar tagihan hutang, susu anaknya yang habis. Jika teringat itu, saya prihatin.
Pernah saya berada dalam satu bis dengan mantan murid saya yang lain lagi. Dia baru pulang dari Jakarta, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dandanannya seperti artis ibu kota, pakai lipstick dan bedak tebal. Berpakaian ketat dan bahkan terbuka auratnya. Telepon genggam yang dipegangnya adalah telepon genggam keluaran terbaru dari sebuah merek terkenal. Pasti mahal. Ketika saya tanya berapa tahun dia bekerja di Jakarta, saya menggunakan bahasa Jawa, dia jawab dengan bahasa Indonesia dengan aksen seolah dia lahir dan dibesarkan di Jakarta. Mungkinkah dia lupa dengan bahasa Jawa kampungnya?
Ketika di televisi tersiar kabar tentang pembantu rumah tangga yang mati dianiaya majikannya, dan saat saya tahu ternyata pembantu itu masih berusia belasan, saya berharap murid � murid saya yang tidak melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak mengalami nasib serupa. Anak � anak muda usia itu dengan mudahnya dibohongi, tidak digaji, diperas tenaganya dan bahkan dianiaya. Anak � anak lulusan SMP, masih kecil, tahu apa? Mungkin begitu pikir sang majikan.
Sakit hati saya ketika melihat seorang mantan murid telah menggendong anak di usia yang masih belia. Sakit hati saya saat melihat seorang mantan murid yang berlagak seperti orang kota dan tak sadar kalau itu tak pantas baginya. Sakit hati saya saat melihat seorang mantan murid yang pandai menjadi pembantu rumah tangga. Sakit hati saya karena kemiskinan yang mereka derita.
Sedangkan sekolah tetap saja mahal, buku pelajaran tetap saja langka, gedung sekolah tetap saja bobrok, gaji guru tetap saja minim. Anak � anak saya tetap banyak yang tidak menuntaskan wajib belajar 12 tahun mereka.


Untuk membaca semua artikel yang sudah saya tulis, silahkan klik BUKU MAHAL di sini.

Saturday, July 26, 2008

MENYELAMATKAN BAHASA INDONESIA


Bahasa Indonesia kita seperti sebuah komputer � ia mendapatkan serangan yang bertubi � tubi, setiap saat, yang akan merusak orisinalitasnya. Media � seperti televisi � merupakan salah satu alat yang ampuh untuk merongrong bahasa kita secara perlahan. Anda tentu masih ingat kata � kata Cinta Laura yang sudah dijadikan Ringtone telepon seluler, �Udah hujyan, gak ada oujyek, becyek�. Betapa banyak perkataan selebritis yang salah secara bahasa, yang ditiru di mana � mana. Di sekitar kita, banyak orang yang berbicara dengan bahasa yang bisa dikatakan aneh � bahasa Indonesia bukan, bahasa Inggris juga bukan. Banyak yang mencampur � campurkan kata � kata dan logat asing dalam bahasa Indonesia sehingga bahasa persatuan itu tidak lagi murni.
Ketika saya kuliah dulu, banyak teman � teman kuliah saya yang berbicara dengan menggunakan kata � kata yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Mereka nekat menggunakan kata � kata yang sulit dipahami oleh kebanyakan orang itu agar dikatakan sebagai orang yang �intelek�. Semakin banyak orang yang tidak paham, semakin intelek, menurut mereka. Mereka tidak tahu bahwa kata �intelek� sebenarnya lebih dekat kepada makna menyederhanakan hal yang rumit, bukan membuat rumit sesuatu yang sudah sederhana. Menggunakan kata � kata asing dalam tiap pembicaraan agar dikatakan sebagai orang yang intelek, adalah kebodohan yang harus dikikis. Seorang intelektual bertugas untuk memberikan pencerahan kepada orang awam. Jika pembicaraan mereka tidak dimengerti oleh orang awam, bagaimana mereka bisa memberikan pencerahan?. Saya banyak membaca tulisan � tulisan yang ditulis oleh orang yang diakui sebagai khalayak sebagai intelektual, tulisan mereka ringkas dan sederhana. Padahal mereka membahas suatu permasalahan yang rumit bagi kebanyakan orang.
Seperti yang dilakukan oleh teman � teman kuliah saya diatas, saya melihat orang yang mencampurkan bahasa asing kedalam bahasa Indonesia bertujuan agar mereka dianggap sebagai orang yang memiliki kelas sosial yang berbeda dengan orang lain. Kelas sosial tidak lagi hanya ditunjukkan dengan pakaian, kendaraan, rumah atau jenis makanan yang dikonsumsi, tapi juga dengan cara berbicara. Jika mereka berbicara dengan bahasa yang keInggris � Inggrisan, mereka beranggapan bahwa mereka telah berbudaya maju sebagaimana orang Inggris.
Kalau kita runut ke belakang, sebenarnya perilaku berbahasa seperti ini sudah terjadi sejak jaman Belanda. Orang � orang kita saat itu banyak yang berbicara dengan bahasa Belanda dengan maksud agar orang lain yang mendengarnya menganggap mereka sebagai orang dengan kelas sosial yang lebih tinggi � walaupun kita tidak boleh berasumsi bahwa setiap orang, di jaman itu, yang menggunakan bahasa Belanda bermaksud demikian, tokoh � tokoh seperti Soekarno dan Agus Salim juga sering menggunakan bahasa Belanda dalam keseharian mereka.
Orang � orang kita yang berbicara dengan bahasa Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga dengan kelas sosial yang lebih tinggi, sebenarnya, malah menunjukkan mental rendah mereka sebagai orang yang terjajah. Orang terjajah akan menganggap orang yang menjajah mereka sebagai orang yang berkelas sosial lebih tinggi. Maka, mulailah mereka mengadopsi segala sesuatu yang berasal dari bangsa penjajah disertai rasa rendah diri akan apa yang mereka miliki.
Saat ini banyak sekali universitas � universitas di luar negeri yang membuka jurusan bahasa Indonesia. Mengapa mereka membuka jurusan suatu bahasa yang sudah dianggap tidak lagi penting oleh para pemiliknya sendiri? Urusan uang. Jika mereka menguasai bahasa Indonesia, mereka akan lebih leluasa berbisnis di negeri kita. Ini tujuan mereka yang utama. Bisa jadi masih ada tujuan � tujuan lainnya. Tapi yang jelas bukan dengan tujuan agar memiliki kelas sosial yang lebih tinggi.
Di era global seperti sekarang, keunikan terletak pada identitas asli. Bahasa Indonesia adalah identitas kita. Yang menunjukkan bahwa kita eksis di dunia ini. Pengabaian atas identitas ini akan menjadikan kita sebagai bangsa tanpa kepribadian dan bisa jadi akan menghapuskan bahasa Indonesia dari muka bumi. Kita tidak menginginkan itu.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, KARAKTER di sini.

Friday, July 25, 2008

GURU PENJUAL BUKU

Saya mengajar di sekolah terpencil yang jauh dari pusat kota. Meski jarak yang saya tempuh untuk mencapai sekolah itu Cuma 15 Kilometer saja, tapi letaknya yang berada di pegunungan dan jalan yang harus saya lalui setiap hari begitu berliku dan berlubang, membuat sekolah tempat saya mengajar itu pantas untuk disebut sebagai sekolah terpencil.
Bukan hanya letak sekolah yang terpencil, tingkat ekonomi rata � rata wali murid dari sekolah saya itu juga rendah. Banyak dari murid � murid sekolah itu yang tidak melanjutkan setelah lulus. Bagi kebanyakan dari mereka, bersekolah sampai SMP saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Bagaimana tidak, biaya pendidikan yang harus dipenuhi bisa dikatakan cukup mahal bagi mereka. Bayangkanlah, orang tua harus mengeluarkan biaya untuk transportasi anak � anak mereka. Belum lagi uang untuk membeli alat � alat sekolah, sepatu yang setiap tiga bulan jebol karena anak � anak itu banyak yang harus berjalan kaki kiloan meter untuk mencapai jalan raya agar mereka bisa menyetop angkutan umum yang akan membawa mereka ke sekolah. Saya sering melihat anak � anak yang berpakaian seragam kumal sampai mereka lulus. Orang tua mereka tidak lagi bisa menyisakan uang untuk membelikan mereka pakaian seragam yang baru.
Maka, tentu berat hati kita untuk meminta mereka membeli buku pelajaran yang semakin mahal saja saat ini. Tapi tanpa buku, bagaimana mereka bisa belajar? Ini permasalahan lama. Tapi sampai sekarang masih juga tidak terselesaikan. BOS buku atau EBOOK masih juga belum bisa menguraikan masalah. Dana besar yang dikeluarkan untuk membiayai program itu tidak bisa menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Sayangnya, beberapa penerbit yang tentu saja berorientasi bisnis semata � mata, memandang tak tersedianya buku yang bisa diakses murid secara gratis itu sebagai kesempatan. Mereka bekerja sama dengan oknum sekolah untuk menjual buku pelajaran kepada para murid dengan iming � iming komisi bagi pihak sekolah. Banyak praktek � praktek semacam ini. Jika sekolah saya juga melakukan yang serupa itu, uang komisi yang diterima sekolah adalah uang dari orang � orang tidak mampu. Uang yang susah payah dikumpulkan itu dinikmati oleh mereka yang mampu secara tidak sah.
Tapi begitulah, praktek ilegal semacam ini terjadi karena ketiadaan buku pelajaran yang gratis atau paling tidak, gratis bagi para siswa tidak mampu itu. Apalagi gaji guru yang kecil. Yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari � hari saja. Meskipun guru dijanjikan tunjangan satu kali gaji jika mereka telah tersertifikasi, guru � guru kita sampai saat ini belum bisa dikatakan sejahtera. Tawaran dari berbagai penerbit dipandang para guru sebagai celah untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Keadaan ini memprihatinkan kita semua.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan anda klik, BUKU TAK TERJANGKAU di sini, dan juga GURU SUKSES di sini

Thursday, July 24, 2008

BERTEKAD MEMAJUKAN PENDIDIKAN

Seorang pemuda berusia 26 tahun berdiri di muka yang mulia presiden. Didongakkannya kepalanya tanpa bermaksud untuk berbuat kurang ajar kepada pimpinan tertinggi Negara itu. Kepala yang terdongak itu wajar dan tak Nampak maksud untuk menyombongkan diri memang. Mulailah dia berkata kepada sang presiden. Suaranya lantang tapi tenang. Mengesankan seorang yang memiliki tingkat intelektual mencukupi.
Dikatakanlah tentang kondisi bangsanya. Betapa terpuruk. Disampaikannya bahwa Negara membutuhkan tindakan yang kongkret dan terarah secepatnya agar dapat segera bangkit dari keterpurukan. Dan menurutnya, keterpurukan itu hanya bisa dihilangkan dengan memperbaiki pendidikan.
Pendidikan yang baik membutuhkan guru yang baik. Bagaimana bisa menjadi guru yang baik jika tidak memiliki pendidikan yang mencukupi. Pendidikan guru hanya setara pendidikan SMA. Menurut sang pemuda, guru harus memiliki kualifikasi melebihi lulusan SMA. Mereka harus memiliki kualifikasi lulusan perguruan tinggi, sarjana. Hanya dengan demikian kualitas pendidikan bisa ditingkatkan.
Sayangnya, tidak ada satu perguruan tinggipun untuk mendidik calon guru. Perguruan tinggi hanya untuk para dokter, insinyur dan pengacara. Maka, maksud dari dia berbicara di depan presiden yang mulia adalah agar kiranya sang presiden berkenan membangun perguruan tinggi � perguruan tinggi yang mendidik calon guru.
Sang presiden diam. Dipandanginya pemuda itu. Nampak keraguan dalam pandangannya. Apa yang dimengerti oleh seorang pemuda umur 26 tahun? Begitu kira � kira yang ada dalam pikirannya. Tetapi, tiba � tiba menteri sang presiden membisikinya. Menteri itu membenarkan pikiran pemuda itu. Dianggapnya itu adalah pemikiran luar biasa yang tercetus dari seorang pemuda cerdas. Dia pun menyarankan agar presiden menerima masukan dari sang pemuda dan segera memenuhinya.
Presiden menyetujuinya. Tak lama berselang setelah pertemuan itu, presiden mengeluarkan surat keputusan tentang pembangunan perguruan tinggi untuk calon guru. Dibangunlah perguruan tinggi di setiap propinsi. Disediakannya dosen � dosen paling bermutu. Dosen � dosen itu pun diperhatikan kesejahteraannya. Mereka berhak menempati rumah dinas yang memang didirikan untuk mereka. Perpustakaan dibangun. Mahasiswa dibuatkan asrama. Dan bahkan pemerintah juga menyediakan program ikatan dinas.
Kisah diatas adalah rekaan saya atas kisah nyata yang terjadi di 30 Desember 1962. Sang pemuda, kini telah berusia 70 tahun. Dia adalah Soedijarto, Guru Besar Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta ( sekarang Universitas Negeri Jakarta ). Sang presiden tak lain adalah presiden Soekarno. Dan menteri yang membisiki presiden adalah profesor Toyib Hadiwijaya, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan saat itu.
Ditengah kondisi ekonomi bangsa yang terpuruk, pemerintah saat itu mementingkan pembangunan pendidikan. Kondisi ekonomi bangsa kita saat ini, saya kira lebih baik daripada saat itu. Tapi kebijakan pendidikan kita sekarang, mungkin tak lagi sebaik dulu.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, PENDIDIKAN MUTU RENDAH di sini.

Tuesday, July 22, 2008

TERAPI DESTRUKTIF?

Eksekusi mati yang terus beruntun beberapa minggu ini membuat saya berpikir. Jika para terdakwa yang mendapatkan vonis eksekusi mati itu mau beberapa saat untuk berpikir tentang risiko yang akan dihadapinya ketika akan melakukan pembunuhan terhadap korbannya, tentu dia tidak akan mendekam di penjara dan mendapatkan vonis yang berat itu.
Pembunuhan yang dilakukan terdakwa terhadap korbannya, beberapa diantaranya diawali kemarahan. Kemarahan menggelapkan mata mereka. Kemarahan yang meluap � luap telah mematikan pikiran sehat mereka. Terjadilah pembunuhan yang kemudian mereka sesali.
Rasa marah dimiliki oleh setiap orang. Dan kita tidak bisa menghilangkan kemarahan dalam diri kita. Dalam beberapa keadaan, kita membutuhkan kemarahan. Pastinya, dalam kadar tertentu. Kemarahan dalam kadar yang tepat, dalam kondisi dan dengan alasan yang tepat pula akan memberikan dampak positif. Contohnya, kemarahan yang kita tujukan kepada anak kita yang tidak disiplin atau melakukan pelanggaran. Kemarahan kita, kita niatkan untuk memperbaiki keadaan mereka. Kemarahan yang seperti ini akan menjadi pelajaran bagi anak � anak kita.
Tapi jika seringkali marah, bahkan dengan alasan yang sulit untuk diterima, kemarahan seperti ini akan sangat kontraproduktif bahkan membahayakan. Untuk itulah kita harus mengendalikan kemarahan kita. Bukan malah dengan mengumbarnya.
Cuma, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kemarahan tidak untuk kita kendalikan. Kita harus melampiaskan rasa marah kita agar kemarahan yang kita rasakan tidak berdampak negatif bagi kesehatan kita. Di Spanyol, banyak orang yang melakukan pengrusakan agar kemarahan mereka mereda. Malahan, mereka menyebut pengrusakan yang mereka lakukan itu sebagai terapi bagi kemarahan. Terapi destruktif (destructotherapy) ini diyakini bisa melegakan dan menghilangkan kemarahan. Terapi yang ditemukan di tahun 2003 oleh tiga orang pengusaha warga Spanyol ini bahkan masih dilakukan warga Spanyol sampai sekarang.
Benarkah pengrusakan bisa menjadi terapi? Saya rasa tidak. Sekali seseorang melakukan pengrusakan, dia akan cenderung untuk melakukan pengrusakan lagi di lain waktu dengan dalih untuk meredakan rasa marahnya. Bisa jadi mereka menjadi lega setelah melakukan pengrusakan. Tetapi tetap saja kita tidak bisa mengendalikan rasa marah kita jika suatu saat kita mendapatkan sesuatu yang memicu rasa marah itu. Seharusnya, saat seseorang mendapati kondisi yang bisa memicu kemarahannya, dia akan berpikir apakah marahnya itu bisa dibenarkan. Apakah kemarahan yang dilakukannya itu beralasan. Apakah waktunya tepat bagi dirinya melampiaskan rasa marah itu. Jika mekanisme berpikir ini berjalan, berarti seseorang telah bisa mengendalikan rasa marahnya. Inilah yang disebut Goleman sebagai kecerdasan emosi. Terapi destruktif tidak bisa memenuhi hal ini.
Pengendalian rasa marah hanya bisa dicapai hanya dengan latihan intensif atas kemarahan yang muncul atas berbagai pemicu yang ada. Melampiaskan rasa marah dengan melakukan tindakan destruktif dengan tujuan untuk melegakan, tidak akan menjadikan seseorang cerdas secara emosi. Bahkan, kelegaan yang didapat pun hanya sementara saja.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik CERDAS EMOSI di sini.

Monday, July 21, 2008

MENTAL PEKERJA

Siapapun ingin menjadi seorang pemimpin. Yang mempunyai bawahan. Dihormati dan disegani. Apapun perintah dan larangannya dilaksanakan. Siapapun ingin menjadi orang semacam itu. Tapi, seorang pemimpin tidak dilahirkan begitu saja. Pemimpin itu diciptakan. Dibentuk. Maka, salah jika kita ingin segera menjadi pemimpin tanpa melalui proses.
Kadang kita mendengar seseorang, yang memiliki gelar akademis mentereng, berkata bahwa dia tidak pantas untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurutnya, pekerjaan seperti itu hanya pantas dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kualifikasi seperti dirinya. Dia merasa hanya pantas untuk melakukan pekerjaan yang lebih tinggi. Ini salah. Sayangnya, orang yang bermental sedemikian ini sangat banyak.
Memimpin adalah melayani. Melayani kebutuhan dari orang � orang yang menjadi bawahannya. Bukan malah sebaliknya, minta dilayani. Karena seorang pemimpin harus melayani, maka dia harus tahu apa yang menjadi kebutuhan orang � orang yang dipimpinnya. Sebab itulah, seorang sarjana hebat sekalipun, harus mulai dari bawah. Mereka harus mau mengerjakan hal � hal yang dianggap tidak pantas dilakukan oleh mereka karena tingkat pendidikan yang mereka miliki. Dengan demikian, ketika mereka tiba saatnya menjadi pemimpin, mereka akan memahami kebutuhan dari bawahan mereka. Dan mereka juga akan sigap dalam memenuhi kebutuhan � kebutuhan itu.
Besuk, masyarakat Jawa Timur akan memilih gubernur mereka. Hari � hari kemarin, saya banyak mendapati berita � berita tentang aktivitas calon gubernur itu. Saya sedikit agak geli melihatnya. Tiba � tiba saja para calon itu berkunjung ke pasar memborong barang � barang dengan senyum manisnya. Dalam iklan calon � calon itu digambarkan sebagai seorang yang dekat dan peduli dengan rakyat kebanyakan. Merangkul � rangkul anak kecil dan kesan yang kita terima adalah mereka akan dapat menjadi pemimpin yang melayani.
Tapi harus diingat bahwa perbuatan untuk melayani itu harus sudah menjadi karakter seorang pemimpin. Harus mendarah daging. Bukan hanya sebatas di permukaan. Karena karakter terbentuk dari kebiasaan, maka seorang pemimpin haruslah mereka yang sudah biasa melayani.
Tapi yang terjadi tidak demikian. Banyak orang yang ingin segera menjadi pemimpin. Secara instan. Maka, rata � rata calon pemimpin hanya melakukan pencitraan � pencitraan agar jalan mereka menuju kursi kepemimpinan menjadi lempang. Mereka tidak mempunyai karakter untuk melayani. Saat mereka akhirnya terpilih menjadi pemimpin, kepemimpinan mereka hanya pada jabatan saja. Tidak pada makna kepemimpinan yang sebenarnya.
Saya teringat tulisan tentang calon presiden Amerika, Barrack Obama. Jalan yang dia tempuh amat panjang untuk sampai ke kursi calon presiden. Dia adalah seseorang yang telah berbuat banyak bagi masyarakat luas. Dia bekerja keras agar dapat melayani dengan baik. Kalau nanti dia terpilih menjadi presiden, bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang presiden yang mampu melayani.
Sebelum kita siap menjadi seorang pemimpin, kita harus siap dipimpin terlebih dahulu. Kita harus mempunyai mental pekerja. Bukan mental priyayi yang ingin selalu dilayani.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik di sini

JANGAN TUNDA!

Ada kecenderungan dari setiap orang untuk melakukan berbagai hal secara tidak fokus. Saya misalnya. Saya senang membeli buku � buku terbitan baru yang menurut saya bagus. Sepulang dari toko buku, saya buka sampul buku itu dan mulai membacanya. Saya bisa membaca satu sampai dua bab saat buku baru itu telah menjadi hak saya. Tapi beberapa hari kemudian, saya mulai banyak meninggalkan bab � bab yang menurut saya �tidak penting�. Akhirnya, saya hanya membaca bab yang terakhir, yang biasanya kesimpulan, atau biografi pengarangnya saja. Dan seterusnya, buku itu menjadi pemanis rak buku saya saja. Tidak pernah terselesaikan. Bulan berikutnya, saat saya membeli sebuah atau beberapa buku baru lagi, kejadian ini berulang lagi.
Memang kita tidak harus membaca keseluruhan bab dari buku yang kita beli. Kita membaca untuk mendapatkan informasi. Jika kita sudah mendapatkan informasi itu, untuk apalagi kita menyelesaikan keseluruhan buku? Bisa kita katakan, buang � buang waktu saja. Tapi ada kerugian, sebetulnya, dari gaya membaca seperti ini. Jika kita membaca hanya untuk sekedar mendapatkan informasi dengan cara membaca sebagian buku yang kita anggap penting, kita telah membatasi diri kita dari gaya menulis sang pengarang yang juga merupakan keuntungan dari aktivitas membaca.
Saat kita membaca sebuah karya, tanpa kita sadari otak kita menyimpan gaya penulisan sang pengarang. Saat tiba saatnya kita menulis sendiri artikel atau buku kita, gaya penulisan dari berbagai pengarang yang kita dapatkan dari membaca buku � buku mereka akan sangat bermanfaat dalam proses penulisan karya kita. Mulai dari tanda baca sampai pemilihan kata yang tepat, kita banyak terpengaruh dari apa yang telah kita baca. Itulah sebabnya saya katakan rugi jika kita tidak membaca keseluruhan buku. Kita mengabaikan �kekayaan� yang mestinya akan kita dapat.
Saya dulu sangat kuat membaca. Saya menikmati setiap bacaan yang ada di tangan saya. Saya biasa menyelesaikan tiga sampai empat buku, dua diantaranya berhalaman 300 sampai 400, dalam seminggu sampai tamat. Tapi sekarang, saya rasakan �kekuatan� saya jauh berkurang. Saya masih membaca memang, tapi jarang ada yang selesai. Dan sepertinya, orang yang seperti saya ini banyak.
Apa yang menyebabkan kita seperti ini? Penyebabnya adalah kita terbiasa menunda � nunda. Saat kita membaca buku, muncul dalam benak kita bahwa suatu bagian dari buku itu tidak begitu penting bagi kita, atau setidaknya untuk saat itu, dan kita mengira bahwa kita bisa membaca bagian itu lain waktu saja. Saat kita membutuhkannya. Sayangnya, lintasan pikiran yang serupa itu tidak hanya muncul sekali. Sepanjang kita membaca buku, lintasan itu terus menerus muncul. Yang akhirnya buku tidak terselesaikan.
Lintasan pemikiran yang dialami oleh setiap orang saat mereka melakukan berbagai aktivitas seperti yang saya contohkan di atas lahir dari kenginan normal manusia untuk mendapatkan kenyamanan. Berbaring santai sambil mendengarkan radio, menonton televisi atau mengobrol tentu jauh lebih nyaman daripada kita membaca buku. Tetapi �kenyamanan� tidak selalu berbuah kebaikan. Seringkali kebaikan kita peroleh dengan cara mengalami ketidaknyamanan.
Ketidaknyamanan, jika kita lakukan secara intens, akan berubah menjadi kenyamanan. Awalnya, kita memang berat untuk membaca dengan teliti dan hati � hati. Tetapi, setelah berulang kali kita lakukan, kita akhirnya merasa nyaman dengan hal itu.
Maka, saat kita merasa tidak nyaman dengan suatu aktivitas positif, seharusnya kita menguatkan tekad untuk terus melakukannya. Saat kita merasa berat untuk membaca keseluruhan buku, kita harus sabar sampai akhirnya buku itu selesai kita baca. Suatu saat nanti kita akan merasa aneh jika tidak tuntas dalam membaca. Wilayah kenyamanan kita telah meluas.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik BEKERJA di sini.

Saturday, July 19, 2008

MATIKAN TELEVISI ANDA

Hari ini, 20 Juli, merupakan hari tanpa televisi. Kita dihimbau untuk mematikan televisi di rumah kita. Televisi adalah media yang sudah sangat menyatu dengan kehidupan kita sehari � hari. Hampir � hampir tidak ada rumah di Indonesia yang tidak memiliki televisi. Karena begitu akrabnya dengan keseharian kita, televisi, tanpa kita sadari telah membentuk pola pikir kita, telah mengatur jadwal harian kita.
Jika acara televisi mengandung muatan edukasi yang cukup, televisi akan menjadi media pembelajaran yang sangat efektif. Sayangnya, muatan edukasi dalam mayoritas program televisi tidak sedemikian halnya. Banyak dari tayangan � tayangan televisi yang berdampak negatif.
Anda masih ingat dengan anak yang mati karena di-smack down oleh temannya? TV yang menayangkan smack down, mempola pikiran anak � anak kita bahwa berbuat serupa dengan tokoh yang mereka tonton dan kemudian mereka idolakan itu adalah perbuatan yang �jantan�, keren. Luapan emosi mempengaruhi anak � anak kita dan tanpa sadar mereka telah berbuat yang membahayakan teman dan dirinya sendiri.
Anda masih ingat dengan berita tentang keluarga yang bunuh diri karena himpitan ekonomi? tak lama berselang setelah berita itu terpancarkan ke seluruh TV yang ada di ruang keluarga kita, kita melihat perbuatan serupa dengan alasan serupa kembali muncul di berita televisi. Berita yang ditonton, dengan pemberitaan yang luar biasa dan berulang, telah memberikan inspirasi orang yang memiliki kesumpekan hidup untuk menirunya.
Anda pasti tidak bisa menghitung lagi berita tentang artis yang gonta � ganti pasangan, anda pasti juga tidak bisa mengingat lagi tentang berapa kali sebuah produk mengeluarkan versi terbaru mereka. Anda pasti heran dengan tingginya angka perceraian di lingkungan anda. Anda, mungkin, juga tidak sadar kalau telah berganti HP beberapa kali selama setahun belakangan. Apakah Televisi merupakan salah satu pemicunya? Benar, TV adalah salah satu pemicu hal itu.
Beberapa saat lalu ada beberap program televisi yang mendapatkan peringatan karena acara mereka dinilai dapat membuat pengaruh negatif bagi pemirsanya. Tapi apakah dengan serta merta anda melihat perubahan pada acara yang dimaksud? Tidak! Mengapa tidak? Karena acara dengan bentuk seperti itu lah yang, katanya, diminati oleh pemirsa. Rating adalah dewa bagi stasiun televisi. Walau dikatakan jelek sebuah program, jika ratingnya tinggi, jalan terus. Anjing menggonggong kafilah berlalu.
Katakanlah bahwa memang acara serupa itulah yang diinginkan oleh pemirsa televisi, lalu dimana peran televisi sebagai media pembelajaran? Kita harus ragu jika ada televisi yang mengklaim dirinya sebagai televisi yang mendidik, tapi siang dan malam mereka hanya menayangkan penyanyi yang menari dengan erotis.
Maka matikan televisi anda. Ambillah buku. Ambillah Koran. Ambillah apa saja yang bisa anda baca. Duduk dan membacalah. Buku jauh lebih bersahabat daripada televisi kita. Mereka mencerahkan kita, tidak mengeruhkan.



Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik TONTONAN di sini.

Friday, July 18, 2008

KUALITAS PENDIDIKAN BELUM MERATA

Prestasi membanggakan kembali diraih oleh anak � anak Indonesia. Dalam kompetisi 12th Po Leung Kuk Primary Mathematics World Contest 2008 tanggal 12 -16 Juli kemarin, anak � anak itu mampu menduduki peringkat terbaik. Peringkat Indonesia dalam ajang ini setara dengan Negara Bulgaria, USA, China, Taiwan dan Filipina. Anak � anak yang mengharumkan nama bangsa itu adalah Stefano Suryanto (Jakarta), Richard Akira Heru (Semarang), Christa Soesanto (Jakarta), Peter Young (Surabaya), dan Fransisca Susan (Jakarta), Nicholas Tarino (Jakarta), Vincent (Jakarta), dan Reynaldi Nugroho (Jakarta).
Kita pantas berbangga dengan prestasi itu. Tapi lihatlah, darimana anak � anak yang berprestasi itu berasal. Semua anak yang mengharumkan nama bangsa itu berasal dari kota � kota besar di Indonesia. Apakah tidak ada anak pintar selain di kota besar tersebut? Banyak. Anak kita banyak yang cerdas. Tapi mengapa anak � anak daerah jarang sekali terdengar gaungnya dalam ajang internasional? Bisa jadi karena hanya anak � anak kota saja yang dipersiapkan untuk berpartisipasi dalam perlombaan serupa. Karena alasan akomodasi dan kemudahan koordinasi. Tapi bisa juga karena hal � hal lain.
Melihat banyaknya anak daerah yang tidak lulus dalam Ujian Nasional, saya cenderung berpikiran bahwa �hal � hal lain� lah penyebab jarangnya anak daerah yang ikut serta dalam perlombaan tingkat internasional. Saya katakan bahwa mutu pendidikan di kota dan daerah belum sama. Kualitas pendidikan di daerah tidak sebaik pendidikan di kota. Padahal, jika anak � anak daerah mendapatkan mutu pendidikan yang sama dengan mutu pendidikan sekolah di kota, anak � anak daerah tidak kalah pintar dengan anak � anak kota.
Sayangnya, kesenjangan yang ada, tidak kemudian berimbas pada kebijakan yang diterapkan. Sebutlah pelaksanaan Ujian Nasional sebagai contoh. Mutu pendidikan tidak seragam, tapi para siswa itu harus mengerjakan soal dengan standar nasional. Belum lagi mengenai pengadaan buku elektronik. Pengadaan buku elektronik adalah terobosan yang bagus dan perlu kita apresiasi. Tapi tanpa melihat kesenjangan antara kota dan daerah, terobosan yang bagus ini seolah tidak ada manfaatnya. Kita mendengar kemarin masih banyak orang tua yang mengeluh karena mereka harus membayar uang sekian ratus ribu sampai satu jutaan untuk membeli buku pelajaran.
Saya memimpikan suatu saat nanti muncul pelajar � pelajar berprestasi internasional dari daerah � daerah. Anak � anak daerah dan kota bersaing ketat untuk dapat ikut serta dalam perlombaan tingkat Internasional. Si Joni yang anak pegawai Bank, si Joseph yang China dan Bejo yang anak tukang becak mempunyai peluang yang sama. Saya membayangkan tentang seseorang yang tiba � tiba bertanya kepada saya tentang seorang anak yang menang dalam olimpiade fisika sedunia. Lalu dengan bangga saya menjawab, �Oh si anu to?, dia tetangga depan rumah saya.�


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik SEKOLAH TERPENCIL di sini.

ANTARA INDONESIA DAN KOREA

Indonesia dan Korea adalah dua Negara yang sama � sama merdeka di tahun 1945. Sama � sama sebagai Negara yang harus bersusah payah membangun setelah perang dan penjajahan. Bedanya, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, begitu juga sumber daya manusianya, tapi Korea hampir � hampir tidak memiliki sumber daya alam. Mereka hanya memiliki manusia. Negara yang miskin. Saking miskinnya, Anne O Krueger, Deputi I Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, mengatakan bahwa Korea, saat itu, hidup dari hutang � hutang luar negeri.
Tapi keadaan Korea sekarang sangat mengejutkan kita. Tidak sampai lima puluh tahun semenjak kemerdekaannya, Korea menjadi Negara industri yang diperhitungkan dalam percaturan globlal. Korea telah menjadi pengekspor manufaktur teknologi tinggi. Dominasi perdagangan luar negeri Korea terlihat dari duduknya mereka di urutan nomor satu dalam industri pembuatan kapal, urutan ketiga di semikonduktor, peringkat empat dalam teknologi digital elektronik, peringkat lima dalam industri baja, petrokimia, dan tekstil serta otomotif (KOMPAS, 18/07/08)
Bagaimana sebuah Negara miskin bisa berbuat sedemikian menakjubkannya? Sedangkan kita? Mengapa Negara yang gemah ripah loh jinawi, tetap saja menderita dalam berbagai keterbatasan dan kekurangan? Mengapa Negara kaya seperti Indonesia harus menanggung stigma sebagai Negara miskin, berpendidikan rendah dan sarang teroris? Mengapa Negara kita masih juga kelabakan saat harga minyak dunia naik? Padahal kita memiliki cadangan minyak yang tidak bisa dikatakan sedikit. Mengapa masih terjadi juga pemadaman listrik bergilir? Kita kaya raya. Apakah keadaan kita ini serupa dengan pepatah: Ayam bertelur di lumbung padi, mati kelaparan?
Jawabannya satu. Satu saja. Karena kita tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh Korea. Chuk Kyo Kim, ekonom dari Korea Institut for International Economic Policy, mengatakan bahwa Korea dapat bangkit dari keterpurukan sedemikian cepat karena mereka memberikan perhatian yang besar pada pendidikan, pembangunan sumber daya manusia, serta investasi luar biasa untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
Anda pasti masih ingat dengan dipotongnya anggaran pendidikan, kecurangan di Ujian Nasional yang merisaukan dan masih tingginya angka putus sekolah karena ketiadaan biaya. Beberapa saat lalu saya membaca berita tentang para kartunis Indonesia yang konon sudah mampu membuat film animasi dengan kualitas gambar sekelas film Avatar The Legend of Aang. Tapi mengapa dunia film kartun kita didominasi film � film dari Jepang dan Amerika? Kata sang kartunis, biaya untuk membuat film kartun sangat mahal. Andaikan kita mempunyai dana tentu kita tidak akan kebanjiran film impor. Malah sebaliknya, kita akan membanjiri Negara � Negara asing dengan film � film produksi kita. Ini dalam bidang seni dan budaya. Dalam bidang � bidang pendidikan dan kesehatan pun dana untuk penelitian begitu minim.
Ini sudah sering diulas. Tapi tiada salahnya kita ulang � ulang lagi. Investasi ekstrem untuk pendidikan harus kita yakini merupakan satu hal yang dapat segera membangkitkan bangsa kita.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik PENDIDIKAN BAIK di sini.

Thursday, July 17, 2008

MAHLUK SOSIAL

Hidup hanya menunda kekalahan
Sebelum akhirnya mati
(Chairil Anwar)

Aku merasa takjub pada seorang anak kelas tiga SD yang begitu teliti. Yang wajahnya memancarkan jiwa kepemimpinan. Yang pandai, yang tidak gampang terpengaruh dan punya karakter. Aku tidak hafal namanya. Tapi kesan � kesan itu kurasa sudah mengendap di pikiranku. Yang selalu mengingatkanku bahwa dia adalah anak kelas tiga SD. Yang ketua kelas. Yang tidak pulang karena mencari karet penghapusnya, sebesar ujung kelingking, dan selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan walaupun tidak selalu benar.
Tetapi kemudian aku sadar bahwa anak itu, seperti juga aku, baru menapaki awal dari hidup yang tidak pernah bisa kita tebak kesudahannya. Saat aku mulai belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pada saatnya nanti akan rusak, kerusakan demi kerusakan itulah yang sebenarnya menjaga kelangsungan peradaban kita. Bangkai tumbuhan dan binatang � binatang purba yang tertimbun di dalam batuan bumi lah yang berubah jadi minyak. Atau, bisakah kita membayangkan jika saat ini kita harus hidup berdampingan dengan binatang � binatang raksasa sepanjang 24,4 meter dan setinggi 20 meter yang tidak hanya makan tumbuhan tetapi juga daging.
Seperti kerusakan, lupa adalah anugerah Tuhan yang lain. Kalau saja manusia tidak lupa dengan segala sesuatu, bukankah lintasan � lintasan pemikiran itu hanya akan menambah keruwetan hidup? Tapi lupa pada hal � hal yang berkaitan dengan hidup, disamping anugerah yang maha kuasa, adalah bencana.
Betapa seringnya kita lupa bahwa kita adalah mahluk yang pada masanya nanti akan rusak. Mahluk serenik virus pun sudah cukup untuk melumpuhkan kita. Belum lagi kadar kapur yang terkandung dalam air minum, kolesterol yang menyebabkan kegagalan fungsi jantung dan pembuluh darah di otak yang pecah. Bahkan manusia rekaan seperti Superman pun jadi sangat tidak berdaya ketika berhadapan dengan batu kryptonite atau Popeye yang mengalami ketergantungan pada bayam.
Setiap manusia hanyalah sebuah batu bata dari dinding sebuah bangunan. Sifat lupalah yang membuat manusia menganggap dirinya adalah bangunan itu sendiri. Pernahkan anda dengar tentang seorang wanita pengusaha berkebangsaan Jepang yang pada hari senin dunia masih mengenalnya sebagai seorang yang gigih sekaligus cerdas, tapi pada hari selasanya tak mampu berbuat sesuatupun untuk dirinya sendiri. Bahkan hanya untuk cebok sekalipun karena kerusakan otak yang parah.
Kesombongan, yang disebabkan oleh lupa bahwa manusia itu lemah, walaupun tetap bisa dimaklumi, adalah level tertinggi dari kebodohan manusia. Kebodohan yang menggelikan karena pada dasarnya setiap manusia itu sama. Kelebihan yang dimiliki oleh seseorang selalu diikuti oleh kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh kelebihan orang lain.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik GENERASI BARU di sini.

Tuesday, July 15, 2008

KEHIDUPAN RILEY

The life of Riley adalah judul blog dari seorang nenek yang berusia 108 tahun, Olive Riley. Warga Negara Australia ini tercatat sebagai seorang blogger tertua di dunia. Dia mulai menulis di blog (www.allaboutolive.com.au) pada bulan Februari tahun 2007. Blog itu berisi kenangan hidupnya. Saya merasa takjub dengan keadaan Riley. Pada usia yang sudah sedemikian tua, dia masih juga menuliskan pengalaman � pengalamannya di blog. Bagaimana seorang yang sudah sangat tua mampu mengingat peristiwa � peristiwa lampau dalam hidupnya. Apalagi merekamnya di blog. Bagaimana dia bisa menyesuaikan dirinya dengan teknologi kekinian?
Walau, sayang, beberapa hari lalu nenek ini berpulang, saya masih bisa merasakan semangatnya melalui blog miliknya. Saya juga mendapatkan inspirasi dari blog itu. Sesuatu yang juga didapatkan oleh ribuan orang lain di dunia. Saya yakin blog itu sangat inspiratif melalui ribuan pengunjung yang mengunjungi blognya. Dari beberapa komentar yang ada, saya tahu bahwa semangat Riley telah menular pada orang tua lainnya di seluruh dunia dan juga menyemangati mereka untuk banyak belajar hal � hal baru.
Banyak yang merasa kehilangan saat nenek ini meninggal. Tentu saja, mereka kehilangan orang yang selama ini banyak memberikan inspirasi. Tapi, seorang nenek seperti Riley tidak akan mungkin bisa memberikan inspirasi jika dia tidak memiliki ingatan yang kuat akan pengalaman masa lalunya. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya mengenai kepikunan, saya yakin bahwa Riley adalah tipe orang yang mempunyai gairah untuk terus belajar. Dia, saya yakin, bukan tipe orang yang suka berpangku tangan dan menyerah dengan keadaan dirinya. Foto � foto yang ada di blognya menunjukkan Riley adalah seorang wanita tua yang duduk di kursi roda.
Di sekeliling anda pasti ada orang � orang yang sudah lanjut. Tapi berapa dari orang tua itu yang masih melakukan aktifitas produktif? Yang sering saya temui banyak orang tua yang pasif. Mereka hanya berdiam diri. Maka tidak heran jika kita jarang menemui orang tua yang berusia panjang dan memiliki ingatan yang kuat seperti Riley.
Kalaupun misalnya ada pertanyaan, bukankah berat bagi orang tua untuk melakukan aktifitas � aktifitas seperti menulis dan mengoperasikan komputer? Tidak salah memang. Berat bagi orang tua yang sudah memiliki fisik dan pikiran yang lemah untuk melakukan kegiatan semacam itu. Tapi keadaannya akan lain jika aktifitas semacam itu telah menjadi kebiasaan sejak muda usia.
Maka, jika kita menginginkan usia yang lebih panjang dan tetap produktif, bersemangatlah untuk belajar hal � hal baru. Jika kita tidak biasa bertanam, mulailah belajar menanam. Jika kita tidak biasa membetulkan genteng yang bocor, tak ada salahnya jika kita mencoba memanjat dan memperbaikinya dengan tangan kita sendiri. Banyak hal � hal yang mungkin belum kita kerjakan. Dan jika kita mau melakukannya, bisa jadi hal itu yang akan membuat kita lebih lama menyaksikan dunia.



Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik CEGAH PIKUN di sini.

Monday, July 14, 2008

BUKU SEKOLAH MAHAL

Ade Irawan, Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan bahwa dalam rentang antara tahun 2003 sampai tahun 2007 orang tua wali murid masih menanggung biaya sekolah anak � anak mereka sebesar 80 %. Peran Negara dalam membiayai pendidikan masih dirasa kurang bahkan cenderung memburuk ( KOMPAS, 15/07/08 ).
Pemerintah sebenarnya telah berusaha mengurangi biaya pendidikan dengan membeli dan menerbitkan 49 judul buku elektronik yang bisa langsung diunduh masyarakat dari internet. Namun dalam pelaksanaanya, nampaklah bahwa pengadaan e-book oleh pemerintah itu tidak serta merta memperbaiki kondisi. Akses internet belum sepenuhnya merata di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun ada warnet di daerah, kapasitas e-book yang besar ( kurang lebih 500 MB per buku ) membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengunduhnya. Dan terlebih lagi, ternyata, pengadaan e-book ini belum tersosialisasikan dengan baik. Banyak sekolah yang belum mengetahui adanya e-book yang bisa diunduh gratis dari internet.
Jika program e-book ini bisa terealisir dengan baik, tentu akan ada banyak uang orang tua yang bisa dihemat. Sayangnya, akses internet belum sepenuhnya tersebar rata. 49 buku yang sudah disediakan pemerintah pun seolah sia � sia karena belum bisa dimanfaatkan.
Maka sangat sulit untuk membantah pernyataan Ade Irawan di atas ketika masih banyak sekolah, pada tahun ajaran baru ini, yang memungut uang dari wali murid sebanyak ratusan ribu rupiah sampai satu juta rupiah untuk membeli buku pelajaran. Padahal di luar uang buku itu, wali murid masih harus membayar uang seragam dan juga uang gedung. Jika biaya � biaya itu dijumlahkan, tentu akan terkumpul nominal yang besar. Apalagi saat kondisi ekonomi yang semakin sulit akhir � akhir ini.
Kita prihatin dengan masih tingginya biaya pendidikan. Kita tidak membicarakan tentang pendidikan tinggi. Orang tua merasa sangat kerepotan melunasi biaya pendidikan anak � anak mereka yang masih duduk di Sekolah Menengah. Sangat disayangkan jika karena biaya yang masih juga tinggi itu, banyak dari anak � anak Indonesia yang tidak bisa melanjutkan ke Sekolah Menengah.
Mengingat masih sulitnya akses internet, terutama di daerah, saya rasa perlu bagi pemerintah untuk mengalihkan program unduhan e-book ke penyediaan buku cetak yang siap pakai. E-book yang sudah diunduh dari internet nantinya akan dicetak / difotokopi dan dijual kepada siswa, tentu dengan harga yang murah karena tidak dibebankan pada harga itu biaya hak cipta pengarang. Otomatis siswa cukup mengganti biaya cetak saja. Dan biaya cetak akan menjadi lebih murah jika mencetak jumlah yang banyak. Jika masih juga meminta biaya ganti cetak dari siswa, mengapa pemerintah tidak mencetak buku yang sudah dibeli hak ciptanya itu untuk kemudian didistribusikan kepada tiap siswa?
Mungkin yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah biaya pendistribusian yang juga tidak kecil. Saya rasa, jika biaya pendistribusian juga dibebankan kepada para siswa melalui harga buku yang mereka beli, tetap akan lebih murah jika dibandingkan dengan buku cetakan penerbit.
Harga buku juga akan lebih bisa ditekan dengan cetakan buku yang sederhana. Toh yang terpenting adalah materi dari buku itu, bukan tampilannya. Selain itu, kita tidak perlu mencetak buku dari kertas HVS. Kita bisa mencetak buku � buku pelajaran itu dengan menggunakan kertas buram yang lebih murah. Saya rasa, yang sedemikian ini, sudah dapat menjawab persoalan.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik BUKU GRATIS di sini.

GURU, ORANG KAYA BARU?

Jika guru sudah mendapatkan sertifikasi, mereka akan mendapatkan tambahan gaji sebesar satu bulan gaji. Kehidupan guru akan menjadi lebih baik. Mereka akan lebih berkonsentrasi dalam mengajar karena tidak lagi terbebani dengan kebutuhan � kebutuhan yang harus mereka penuhi. Tidak akan lagi terdengar SK yang tergadaikan di Bank � Bank. OEMAR BAKRI adalah kenangan masa lampau. Bahkan guru, diramalkan akan menjadi orang kaya baru di Negara ini. Bersyukurlah jika anda seorang guru.
Semangat guru untuk mejalankan tugasnya dengan baik terpacu saat setelah beberapa guru yang telah mengumpulkan portofolio mendapatkan tunjangan satu kali gaji yang telah dijanjikan. Saat banyak orang meremehkan profesi guru, tambahan gaji yang akan diterima guru � guru lainnya, menjadi pelipur lara. Sesungguhnya profesi guru adalah profesi yang bermartabat. Guru � guru pun banyak yang kemudian rajin mengikuti pelatihan � pelatihan agar jalan menuju sertifikasi menjadi semakin lancar. Mereka juga tak mengeluh karena pontang � panting menyiapkan berkas portofolio. Suatu saat nanti, kesibukan itu akan terbayar.
Tapi, ternyata tunjangan itu hanya dibayarkan beberapa kali saja dan tidak lagi berlanjut. Bahkan beberapa guru yang seharusnya sudah menerima tunjangan itu, belum juga menerimanya. Ada apa sebenarnya? Seriuskah pemerintah dalam usahanya untuk meningkatkan kesejahteraan guru? Jangan � jangan semua ini hanya iming � iming semata.
Tampaknya, tidak bijak bagi kita untuk berprasangka seperti itu. Kita harus selalu yakin dengan niat baik pemerintah. Bagaimanapun pendidikan yang baik adalah modal bagi kemajuan suatu bangsa. Jika pemerintah tidak mementingkan pendidikan, berarti pemerintah mengabaikan kemajuan bangsanya sendiri.
Pendidikan bermutu tergantung kepada guru. Jika guru sejahtera, kita bisa mengharapkan pendidikan bermutu akan kita raih. Tapi jika mereka tidak sejahtera, pendidikan yang bermutu akan sangat sulit terwujud. Bagaimana bisa terwujud jika guru tidak bisa mengajar secara optimal. Konsentrasi guru tidak hanya terfokus pada bagaimana mengajar dengan sebaik � baiknya, tetapi juga bagaimana agar gaji mereka cukup untuk makan sebulan. Konsentrasi mendua seperti ini tidak akan melahirkan hasil yang maksimal.
Perlu komitmen yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Perhatian kita seharusnya tidak pada jumlah uang yang harus dibayarkan kepada keseluruhan guru. Tapi, perhatian kita seharusnya lebih pada asumsi bahwa pendidikan adalah investasi bagi masa depan suatu bangsa. Gaji guru yang tak kunjung baik merupakan cerminan dari betapa minimnya investasi kita untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Di masa � masa mendatang �pertarungan� antar bangsa akan semakin sengit. Kita harus berbuat yang benar dan terarah agar bangsa kita tetap bisa eksis. Mudah � mudahan bangsa kita tidak tenggelam dalam �pertarungan� dahsyat itu.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik KOLEKTOR di sini.

Sunday, July 13, 2008

MENCEGAH KEPIKUNAN

Seorang nenek tetangga saya yang berusia tujuh lima tahun telah pikun. Penyakit pikunnya itu kerap kali membuat sanak familinya jengkel. Terkadang, nenek itu bepergian dan lama pulangnya. Familinya menjadi khawatir. Mereka pun sibuk mencari � cari sang nenek. Ternyata nenek tidak pergi jauh. Hanya beberapa ratus meter saja dari rumah. Lalu mengapa si nenek tidak juga pulang? Usut punya usut, ternyata sang nenek lupa jalan pulang ke rumah. Bingung katanya. Pikun, penyakit bagi yang lanjut usia.
Hari ini, saya membaca harian KOMPAS. Bukan headline yang menjadi perhatian saya. Tapi ulasan mengenai Daoed Yoesoef. Kolumnis yang saya suka tulisannya. Seorang mantan menteri pendidikan di era Soeharto. Saya baru tahu bagaimana wajah seorang Daoed Yoesoef, tadi. Dari KOMPAS minggu itu. Kalimat pertama yang ditulis dalam tulisan itu adalah bahwa tangga 8 Agustus yang akan datang, Daoed Yoesoef akan berusia 82 tahun. Sudah sangat lanjut. Akan tetapi, seperti yang ditulis di KOMPAS, tidak ada tanda usia lanjut padanya. Pikiran kritis dan jernihnya masih ada. Fisiknya pun masih terlihat kokoh. Nenek tetangga saya yang tujuh lima, sudah pikun. Mengapa bapak mantan menteri ini masih berpikiran jernih?
Daoed Yoesoef adalah seorang yang memiliki dua gelar doktor dari universitas di Paris. Nenek tetangga saya, saya tidak begitu tahu apakah dia pernah mengenyam bangku pendidikan atau tidak. Apakah pendidikan yang menyebabkan Daoed Yoesoef tidak pikun? Sepertinya ya. Professor Marian Diamond pernah melakukan eksperimen atas dua kelompok tikus. Kelompok tikus pertama, ditempatkan di sebuah lingkungan yang penuh dengan mainan. Sedang kelompok tikus kedua ditempatkan di lingkungan yang tidak ada mainannya. Ketika tiba saat yang ditentukan, kedua kelompok tikus itu dites dalam sebuah labirin. Ternyata tikus yang awalnya berada dalam lingkungan yang penuh mainan, lebih cepat menemukan jalan keluar daripada tikus yang ditempatkan di lingkungan yang miskin mainan.
Daoed Yoesoef sepanjang hidupnya selalu menggunakan otaknya untuk aktivitas � aktivitas intelektual. Aktivitas intelektual yang intens itu seolah mainan bagi tikus. Tidak seperti pakaian yang segera usang setelah lama dipakai, otak yang kerap dipakai malah semakin baru. Kerja � kerja intelektual maupun non intelektual akan menambah jaringan sel otak. Banyaknya jaringan itulah yang akan membuat otak semakin �sakti�.
Guru saya di SD dulu mengatakan bahwa otak manusia laksana pisau. Jika kita rajin mengasahnya, pisau itu akan semakin tajam. Tapi jika tidak, seperti pisau yang tumpul. Dua gelar doktor yang diraih Daoed Yoesoef adalah doktor dalam bidang Hubungan Internasional dan Keuangan Internasional serta dalam bidang Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan. Dua bidang yang agak berbeda ini, laksana mainan tikus dalam eksperimen Marian Diamond selanjutnya. Secara berkala Diamond mengganti mainan � mainan tikus. Dan hasilnya, tikus yang bermain dengan mainan � mainan berbeda itu, menjadi jauh lebih cerdas.
Kesimpulan Diamond, aktivitas yang variatif akan membuat otak manusia berfungsi lebih optimal. Aktivitas variatif yang saya maksud adalah aktivitas di luar kebiasaan yang sering dilakukan. Orang yang mau mengerjakan hal � hal baru, akan memiliki otak dengan fungsi maksimal.
Tetangga saya yang pikun, tidak melatih dirinya untuk terus mengerjakan hal � hal yang baru. Otaknya menjadi statis. Otak Daoed Yoesoef sangat dinamis. Dan kenyataannya, dia tidak pikun. Pelajaran yang bisa kita ambil, kita harus selalu bergairah untuk melakukan berbagai macam hal baru. Meskipun suatu pekerjaan terlihat remeh, secara tidak sadar bisa jadi itulah yang menyelamatkan diri kita dari kepikunan.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik RILEY di sini.

Saturday, July 12, 2008

BELAJAR DAN BERLATIH

Belajar dan berlatih adalah dua hal yang harus dilakukan ketika seseorang berharap bisa menjadi penulis yang baik. Belajar dimaksudkan untuk mengkondisikan pikiran kita agar terbiasa berpikir. Berlatih dilakukan agar kita trampil. Betapa banyak orang yang cerdas tetapi belum juga berhasil mengekspresikan kecerdasannya itu dalam bentuk tulisan. Dan betapa banyak orang yang trampil menulis tapi tulisan � tulisannya bukan cerminan dari pengetahuan yang dimilikinya secara mendalam.
Orang yang trampil menulis tapi tidak didasari dengan ilmu yang dikuasainya melalui belajar, walaupun tulisannya panjang lebar dan menarik, seringkali kita dapatkan tulisan itu hanyalah kumpulan nukilan � nukilan dari berbagai tempat. Adakalanya nukilan itu disebutkan sumbernya, dan seringkali nukilan � nukilan itu tidak dituliskan sumbernya. Tulisan semacam ini, walaupun memukau bagi sebagian orang, akan dianggap sampah oleh orang � orang yang tahu.
Orang yang memiliki pengetahuan yang cukup tetapi tidak pernah berlatih menulis, tidak lebih baik daripada orang yang trampil menulis tetapi tidak memiliki pengetahuan. Orang yang belum terbiasa menulis, cenderung menulis sebuah karya tulis yang sulit dimengerti oleh pembacanya. Kesulitan itu mungkin disebabkan pemilihan kata yang kurang tepat, kelalaian dalam menempatkan tanda baca, mengulang � ulang pembahasan, tidak sistematis dan lain sebagainya.
N.H. Dini, seorang pengarang terkenal, mengomentari penulis � penulis muda yang banyak bermunculan saat ini sebagai penulis yang memiliki ketrampilan menulis tetapi sangat kurang belajar. Itulah sebabnya tulisan � tulisan mereka cenderung dangkal. Dini bisa membaca keadaan ini karena ia adalah seorang penulis yang juga seorang pembelajar.
Maka, kita tidak bisa hanya mengandalkan semangat menulis yang kita miliki. Kita juga harus menguatkan tekad kita untuk selalu belajar. Belajar dan berlatih. Belajar dan berlatih lagi, lagi dan lagi. Seperti yang telah ditulis Stephen R. Covey, aktivitas belajar dan berlatih yang berkesinambungan itu digambarkan dalam bentuk spiral yang terus melingkar ke atas. Belajar dan berlatih itu adalah proses yang akan terus menjadi proses. Tidak akan ada henti � hentinya.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik SINAU di sini.

Thursday, July 10, 2008

MAK EROT BERPULANG

Saya rasa tak ada seorangpun di negeri ini yang tidak kenal Mak Erot. Meskipun belum pernah memanfaatkan jasa beliau, nama Mak Erot sudah terlanjur populer sebagai pakarnya pengobatan tradisional khusus lelaki. Sebelum terkenal seperti sekarang banyak orang yang mencemooh praktek jasa yang dilakoninya. Tapi hasil akhir tetap merupakan sarana pengiklanan paling efektif. Saat semakin banyak orang yang merasakan manfaat dari pengobatan Mak Erot, kemudian testimoni itu beredar dari mulut ke mulut, cemoohan berubah menjadi berbondongnya pasien yang datang ke sana. Tapi, kemarin, sampailah kabar pada saya bahwa tanggal 5 Juli lalu, Mak Erot berpulang.
Berita itu membuat saya untuk mengetahui lebih jauh siapa Mak Erot. Ternyata, pakar pengobatan tradisional khusus pria ini lahir di Cigadog, Desa Caringin, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Beliau adalah buah hati dari suami-istri Boi dan Layi. Erot adalah memang nama yang diberikan oleh orang tuanya sejak lahir.
Lalu apa hubungan antara Mak Erot dengan blog saya ini? Tidak ada. Saya tegaskan bahwa saya bukan mantan pasien Mak Erot. Saya juga bukan pengagum beliau. Tapi nama tenar yang disandangnya, yang membuat saya mencari informasi tentang beliau, serta perjalanan hidupnya membuat saya mendapatkan pelajaran yang baik.
Praktek pelayanan jasa yang dijalani Mak Erot berlangsung sejak Jaman Jepang. Itu berarti berpuluh tahun sebelum saya lahir. Tapi orang � orang masih tetap memakai jasanya sampai sekarang. Bahkan bisa jadi pasien Mak Erot saat ini jauh lebih banyak daripada jaman dahulu diakibatkan semakin mudahnya orang berkomunikasi. Artinya, jika di Jaman Jepang berita tentang kemampuan Mak Erot hanya beredar dari mulut ke mulut yang sangat terbatas, saat ini berita bisa disebarkan melalui berbagai macam sarana informasi.
Jaman penjajahan dulu, pendidikan kita juga melahirkan banyak tokoh � tokoh yang disegani oleh dunia. Sebutlah misalnya Agus Salim yang luar biasa. Bertahun � tahun pula sekolah � sekolah kita diserbu pelajar � pelajar dari Malaysia. Kita juga mengirimkan guru � guru kita ke sana. Tapi sekarang pendidikan kita terus merosot ke titik yang paling bawah.
Keeksisan Mak Erot selama sekian puluh tahun bukan karena iklan yang masif, melainkan karena banyak orang yang telah membuktikan keefektifan metode Mak Erot dalam pengobatan. Mengapa Malaysia tidak lagi mengirimkan pelajar � pelajarnya ke Negara kita? Karena pendidikan kita tidak lagi menyandang kualitas yang bisa menjawab tantangan jaman. Mak Erot benar � benar bisa menjawab keinginan pasien. Beliau tenar karena kualitas. Bukan semata � mata karena iklan. Bukan karena pencitraan.
Sekarang lihatlah kasus Ujian Nasional. Standar Kelulusan akan ditingkatkan setiap tahunnya. Jika banyak yang lulus � meskipun semua orang tahu bahwa banyak kecurangan selama proses ujian agar para siswa lulus � kita menepuk dada karena merasa kualitas pendidikan kita naik. Tapi jika banyak yang tidak lulus kita masih juga menepuk dada karena merasa bahwa ujian nasional telah dilaksanakan secara jujur. Tapi yang sebenarnya tejadi kualitas pendidikan kita tidak naik secara signifikan.
Lihatlah betapa banyak sekarang ini sekolah � sekolah yang katanya berstandar internasional. Tapi setelah dilihat lebih jeli, standar internasional itu nama yang diberikan untuk pelajaran yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris yang pas � pasan. Kurikulum tetap kurikulum lama. Mak Erot mementingkan isi, bukan kulit. Sedang pendidikan kita lebih mementingkan kulit. Lebih mementingkan pencitraan � pencitraan yang menggelikan.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik GURU YANG BELAJAR di sini.

Wednesday, July 9, 2008

SISWA KITA MEROKOK!

Saya tidak perlu lagi membeberkan dampak negatif rokok bagi perokok dan bukan perokok. Semua orang sudah tahu itu. Bahkan para perokok berat pun sadar bahwa tiap hisapan dari rokok, akan sangat berpengaruh bagi kesehatannya dalam jangka panjang ataupun pendek. Tapi saya akan mengetengahkan pada anda semua sisi lain dari rokok. Berbeda dengan pengetahuan tentang dampak rokok yang merusak kesehatan, tidak semua orang tahu sisi yang ini.
Dari berita kita tahu bahwa saat ini terjadi ketegangan antara Amerika serikat dengan Iran. Ketegangan ini bermula dari adanya bukti bahwa Iran telah mengembangkan reaktor nuklir. Amerika menghendaki agar Iran menghentikan proyek nuklir itu karena Amerika khawatir kalau � kalau, di masa mendatang � Iran akan mengembangkan reaktor nuklir itu menjadi senjata nuklir yang berdaya musnah massif. Iran menolak.
Tapi, lucunya, meskipun terjadi konflik serius antara Amerika dan Iran, ekspor Amerika ke Iran meningkat 10 kali lipat selama Bush berkuasa. Dan, ternyata, ekspor rokok menempati rangking pertama. John McCain, kandidat presiden rival Barrack Obama, menanggapi berita ini dengan gurauan, "Itu salah satu cara membunuh mereka". Meskipun disampaikan dengan nada gurauan, kalimat McCain itu mengingatkan saya pada sesuatu.
Sesuatu itu adalah perang candu (1839-1842). Perang candu diawali dengan penyelundupan opium oleh Inggris ke China. Saat banyak warga China yang kemudian kecanduan dengan opium, timbul keprihatinan penguasa China saat itu. Konsumsi candu ditengarai mampu menghabiskan kekayaan Negara dan melemahkan mental para pemuda China. Jika secara mental pemuda � pemuda China lemah, maka pertahanan Negara pasti juga akan ikut melemah. Ini sebetulnya agenda tersembunyi Inggris � mereka akan dengan sangat mudahnya menguasai China. Untungnya pemerintah segera tanggap dengan hal ini dan kemudian memberlakukan pelarangan candu serta memusnahkan candu yang ada. Rokok, meskipun daya rusaknya tidak sehebat opium, berpotensi besar untuk melemahkan para pemuda kita.
Sekarang mari kita lihat berapa banyak siswa kita yang mengkonsumsi rokok. Banyak. Banyak sekali. Kita tidak perlu data � data resmi untuk membuktikan hal ini. Tapi lihatlah sekeliling anda. Anda, seperti juga saya pasti akan prihatin. Sekarang bukan hanya anak SMA yang merokok. Anak SD pun sudah mengkonsumsi rokok. Kalau keadaan ini terus berkembang, apakah anda bisa membayangkan situasi yang akan kita alami di masa depan? Negara yang lemah hanya akan menjadi bulan � bulanan Negara kuat.
Merokok, saat ini, tidak lagi populer di Negara � Negara Eropa dan Amerika. Mereka memberlakukan aturan merokok dengan sangat ketat. Tapi mengapa produsen rokok mereka seperti Marlboro masih juga eksis sampai sekarang? Karena konsumsi rokok di luar Amerika dan Eropa sangat besar. Betapa ironis. Kita memberikan kekayaan kita pada mereka dan di saat yang sama mereka juga melemahkan kita secara sistematis.
Mengapa banyak anak � anak kita yang merokok? Mereka meniru lingkungan mereka. Lihatlah iklan � iklan rokok, dalam bentuk billboard, yang ada di jalanan. Bukankah mereka mendominasi ruang � ruang publik itu? Para orang tua bahkan guru juga tidak segan � segan merokok di depan anak � anak mereka. Contoh yang bagus untuk ditiru. Dan lihatlah, betapa rokok begitu bebasnya diperjual belikan bahkan saat yang membeli itu anak di bawah umur. Di Negara � Negara maju rokok tidak diperbolehkan untuk dijual kepada mereka yang masih di bawah umur. Lihatlah trotoar yang anda berjalan di atasnya, betapa banyak puntung rokok yang anda temukan selama perjalanan. Di Negara � Negara maju, orang tidak lantas bisa merokok di sembarang tempat. Rokok adalah versi lain dari perang candu. Anak � anak kita sudah menjadi korban. Kita harus waspada.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik SEKOLAH PREMAN di sini.

Monday, July 7, 2008

SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL

Di sebuah sekolah anu di wilayah Negara Indonesia kita tercinta dibukalah program Sekolah Berstandar Internasional. Banyak yang tertarik meskipun juga banyak yang acuh tak acuh saja. Yang tertarik, cepat � cepat mereka mencari berbagai informasi mengenai program itu. Menyiapkan segala sesuatu yang disyaratkan untuk bisa masuk terdaftar di sana. Kita patut gembira melihat gairah yang ditunjukkan masyarakat pada program sekolah internasional semacam itu. Sebab yang demikian ini merupakan cermin dari semakin tingginya kesadaran masyarakat kita akan sebuah pendidikan yang bermutu.
Jika dilihat dari nama yang disematkan pada program pendidikan ini, kita tahu bahwa yang menjadi daya tarik masyarakat adalah kata Internasional. Publik percaya bahwa �mutu� terletak di luar sana. Bukan di dalam kita. Orang � orang kita akan sangat bangga bila mereka bisa bersekolah di luar negeri. Mutu pendidikan di luar negeri jauh lebih baik dari mutu pendidikan negeri sendiri. Begitu asumsinya. Tapi asumsi ini bukan Cuma isapan jempol belaka. Banyak data � data yang menguatkan hal itu. Maka, jika di negeri sendiri kita bisa menyelenggarakan sebuah pendidikan dengan standar internasional, bisa dipastikan mutunya melebihi sekolah yang berstandar nasional (SSN) saja.
Hanya saja, kegairahan mendapatkan mutu pendidikan yang baik ini harus dibayar dengan harga yang tidak murah. Di sekolah anu, yang saya dengar, siswa yang diterima di sekolah standar internasional itu harus membayar uang masuk sebesar Rp. 10.000.000,-. Fantastis! Apalagi untuk ukuran sekolah menengah. Selain itu, anak � anak yang diterima juga harus siap � siap membekali dirinya dengan laptop. Nantinya, piranti canggih nan mahal ini akan digunakan untuk membantu proses belajar mengajar. Luar biasa.
Keinginan kita untuk mendapatkan yang bermutu adalah reaksi wajar akibat informasi yang kita dapatkan secara intens bahwa keadaan dunia saat ini menuntut kemampuan ekstra. Dunia tidak lagi memandang kapabilitas yang setengah � setengah. Dunia membutuhkan kapabilitas yang ekstrem. Asumsi yang terbentuk di benak kita kemudian adalah: untuk bisa eksis di pertarungan dunia saat ini, kita harus benar � benar kapabel. Bersekolah di sekolah yang bermutu dan bisa diakui secara internasional, adalah usaha agar kita mencapai keeksisan itu.
Hanya saja, kita harus tetap kritis. �Ojo grusa � grusu� kata orang Jawa. Semua harus kita cermati dengan seksama terlebih dahulu sebelum kita mengambil keputusan. Yang kita yakini, jika sebuah sekolah sudah berstandar internasional, sudah pasti output dari sekolah itu juga telah memenuhi standar yang ditetapkan nasional. Bukankah begitu? Nanti dulu. Mari kita ajukan beberapa pertanyaan, kemudian beri tanda centang untuk jawaban ya, dan beri tanda silang untuk jawaban tidak, untuk mengetes seberapa internasionalkah sekolah yang akan kita masuki. Perlu diketahui bahwa pertanyaan � pertanyaan yang saya tulis di bawah ini merupakan pertanyaan yang saya buat dan saya gunakan untuk saya pribadi. Bukan pertanyaan � pertanyaan standar untuk mengukur mutu sekolah internasional.
Pertanyaan pertama, apakah sekolah yang berstandar internasional itu memiliki guru � guru yang benar � benar mempunyai kompetensi, mempunyai minat besar untuk terus belajar, dan telah teruji dedikasinya untuk dunia pendidikan? [ v ] [�]
Pertanyaan kedua, apakah kurikulum yang diterapkan pada sekolah berstandar internasional itu sesuai dengan kurikulum internasional? [ v ] [�]
Pertanyaan ketiga, apakah sekolah dimaksud telah memiliki sarana � sarana yang disayaratkan dari sebuah sekolah yang berstandar nasional? [ v ] [�]
Pertanyaan keempat, apakah tes untuk memasuki sekolah standar internasional itu bisa benar � benar bisa dipertanggungjawabkan dari sisi mutu butir soal dan dalam pelaksanaannya? [ v ] [�]
Empat pertanyaan saja. Jika dari keempat pertanyaan itu anda memiliki empat tanda centang, sepertinya anda perlu mempertimbangkan untuk masuk ke sekolah itu. Namun jika anda memiliki dua tanda silang atau lebih dari pertanyaan � pertanyaan di atas. Abaikan saja sekolah itu. Bersekolahlah di sekolah dimana orang kebanyakan juga sekolah di sana. Sebab sekolahan semacam itu tidak akan memberikan kelebihan yang dijanjikan. Sekolahan semacam ini hanya akan menciptakan jurang pemisah di antara kita. Mereka yang bersekolah di sana, karena merasa membayar lebih, menyandang predikat yang berkilau, mendapat fasilitas yang beda, akan merasa berbeda dengan teman � teman kebanyakan lainnya. Tong kosong nyaring bunyinya. Belum bertaji, ingin bertarung. Kesombongan seperti ini memalukan.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, KREATIF di sini.

BUKU PELAJARAN DARI MASA KE MASA

Ketika saya masih SD, saya memakai buku belajar membaca yang tipis. Buku yang memiliki gambar hitam putih sederhana saja. Isinya mengenai sebuah keluarga. Anda tentu ingat siapa yang menjadi tokoh dalam buku pelajaran membaca itu. Benar. Dia adalah BUDI. Dalam buku itu, Budi dibantu kakaknya � WATI, Ibu dan Bapaknya. Kalimat dalam buku belajar membaca itu selalu diulang � ulang; INI BUDI, INI IBU BUDI, INI BAPAK BUDI, INI KAKAK BUDI, WATI KAKAK BUDI. Walaupun begitu, saya menganggapnya sebagai buku yang hebat. Saya bisa membaca dari buku itu, juga kakak dan adik saya, serta tentu saja semua orang.
Kalau tidak salah buku itu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya tidak perlu membeli buku itu. Saya tinggal pakai saja. Kakak saya yang naik ke kelas yang lebih tinggi tidak memerlukan buku itu lagi. Diwariskanlah buku itu padaku. Saya lihat, saat itu, banyak juga teman � teman sekolah yang memakai ulang buku warisan kakaknya. Tidak perlu beli.
Inilah keunggulan sistem pendidikan kita saat itu. Buku yang dipakai seseorang, bisa diwariskan kepada adik atau kerabat dekat. Meskipun harga buku saat itu tidak semahal sekarang, buku yang bisa diwariskan seperti ini sangat membantu ekonomi sebuah keluarga. Tiap ajaran baru, seorang bapak atau ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak perlu dipusingkan dengan anggaran yang perlu disiapkan untuk membeli buku pelajaran. Buku � buku itu dipinjamkan oleh sekolah. Meskipun dari segi fisik, buku � buku itu sudah sobek di sana � sini karena dipakai secara bergantian, dan dari segi tema banyak mengundang kritikan, buku itu menjadi sejarah dalam benak setiap orang yang pernak memakainya. Termasuk saya.
Lambat laun, buku yang dipinjamkan perpustakaan, buku yang bisa diwariskan ini kehilangan pamor dan mulai ditinggalkan. Buku � buku lusuh itu sudah saatnya tutup usia. Harus diganti dengan buku � buku baru yang tidak lagi seperti buku INI BUDI. Buku � buku penggantinya Nampak lebih trendi. Bergambar warna � warni yang menarik hati. Tetapi walaupun dari segi tampilan � bahkan mungkin isi � buku � buku itu lebih baik, ternyata buku � buku itu layaknya kertas sekali pakai. Tidak bisa diwariskan. Tiap tahun terbit buku baru. Tiap tahun para orang tua harus menyiapkan uang untuk mendapatkannya. Meskipun mahal harganya, orang tua memaksa membelikannya. Sebab, Perpustakaan tidak lagi menyiapkannya.
Pemerintah merespon buku pelajaran yang mahal itu. Mereka menyiapkan dana untuk menyediakan buku bagi para pelajar. Terkenallah buku bantuan pemerintah itu sebagai BOS BUKU. Meskipun meringankan, BOS BUKU itu masih menyisakan keluhan lain; BOS BUKU hanya untuk tiga mata pelajaran saja yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan matematika. Yang lain tidak.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, digagas pula untuk menciptakan buku dalam format digital. Tentu akan lebih murah harganya. Pemerintah pun membeli hak cipta bagi beberapa ratus judul buku. Mengunggahkannya ke dalam beberapa website dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengunduhnya. Penyediaan buku dalam pola seperti ini perlu kita apresiasi.
Tetapi, beberapa saat lalu saya mendapatkan informasi dari Koran bahwa lapak � lapak milik penjual buku bekas sangat ramai dengan pembeli yang mengharapkan mendapat buku pelajaran bekas bagi anaknya. Di Koran juga saya dapatkan bahwa mayoritas sekolah belum memanfaatkan buku yang diunduh dari internet karena belum ada sosialisasi tentangnya.
Buku � buku pelajaran pada saat saya kecil dulu, dipakai oleh jutaan orang di Indonesia. Memberikan informasi dan mencerdaskan banyak manusia Indonesia. Setelahnya, muncullah buku yang mahal. Setelahnya, muncullah buku sekali pakai. Setelahnya terbitlah buku dunia maya. Tapi, untuk yang terakhir, sampai kini buku itu belum juga dimanfaatkan. Saya khawatir buku digital ini pun berakhir nestapa bagi pelajar Indonesia.


Untuk membaca artikel yang terkait dengan artikel ini, silahkan klik ebook di sini.

Saturday, July 5, 2008

MARI BERLIBUR

Berlibur itu penting. Bahkan sepenting kita bekerja. Benarkah demikian? Simaklah kembali kisah Archimedes ketika ia menemukan teori fisikanya yang kita kenal sebagai hukum Archimedes. Dimana Archimedes menemukan ide dari teorinya? Bukan di ruang kerjanya, bukan di perpustakaan, bukan pula di sekolah. Dia menemukannya di bak mandi ketika ia membersihkan badannya. Anda pasti terkekeh saat ingat bagaimana Archimedes berlari telanjang dan berteriak, �Eureka, eureka�, tanpa sadar karena kegembiraan yang luar biasa.
Lalu apa hubungan antara kisah Archimedes dengan pentingnya liburan bagi kita? Hubungannya terletak pada kesantaiannya. Saat anda berlibur, anda santai. Jangan remehkan saat santai anda. Ia berguna. Teorinya begini; jika anda bekerja dengan pikiran anda, kerja yang keras, anda bekerja dengan pikiran sadar anda. Meskipun ini baik, tapi bukan yang terbaik. Otak anda bekerja dengan baik dalam kondisi berpikir bawah sadarnya. Maka, ada baiknya jika anda telah berpikir keras, anda berhenti sejenak dan membiarkan pikiran bawah sadar anda yang bekerja. Pikiran bawah sadar inilah yang melahirkan hukum Archimedes.
Saya tidak menafikan kerja keras. Bahkan kerja keras adalah kewajiban yang harus dilalui oleh pelajar dan orang � orang yang bekerja dengan menggunakan pikirannya. Cuma kerja keras pikiran kita itu membutuhkan kerja otak bawah sadar untuk melahirkan hasil yang optimal. Di saat santailah otak bawah sadar kita beroperasi. Helmholtz, seorang fisikawan, mengatakan bahwa jika kita berpikir keras, maka kita akan mengalami tiga fase. Fase pertama adalah fase inkubasi. Yang kedua adalah fase saturasi dan yang ketiga adalah fase pencerahan. Menurut Helmholtz, untuk bisa mencapai fase pencerahan ini, seseorang harus berpikir dengan keras dan kontinyu. Setelah sampai pada titik jenuh yang ekstrem, tibalah kita pada fase pencerahan itu. Bahkan, kadang kita menemukan jawaban dari yang kita pikirkan itu tanpa sadar. Bukan hanya Archimedes saja yang bisa kita jadikan contoh untuk hal ini. Gell � mann, seorang fisikawan peraih hadiah nobel, tanpa sadar berbicara mengenai isospin pecahan saat ia berceramah di Princeton. Ucapan tanpa sadarnya itulah yang selama ini dia cari � cari. Dan berkat itu ia mendapatkan hadiah nobel. Kerja keras adalah titian pertama, sedang yang kedua adalah bersantai.
Nah, itulah sekelumit alasan mengapa bersantai itu penting bagi kita. Sekarang mari kita bicarakan tentang liburan kita. Kemana kita akan berlibur? Ketika BBM naik, otomatis biaya untuk berlibur pun akan naik. Bahkan seolah tak ada sesuatupun barang ataupun jasa yang tidak naik karena dampak kenaikan BBM itu. Kalau itu masalahnya, sebetulnya masih ada tempat � tempat murah yang bisa kita kunjungi untuk berlibur.
Berlibur tentu saja tidak hanya ke Mall atau daerah wisata yang sudah terkenal mahal segala sesuatunya. Kita bisa berlibur kemana saja dengan biaya yang murah atau yang gratis. Liburan ke kebun binatang, atau taman � taman hiburan atau museum itu murah. Bahkan kalau kita berlibur ke tempat � tempat seperti itu, kita masih berada dalam suasana edukasi yang kental. Kalau tempat itu masih terlalu berat bagi pikiran anda, anda boleh mencoba liburan yang gratis. Ke pantai misalnya. Atau hiking ke bukit yang ada di belakang rumah anda. Keringat yang anda keluarkan akan memberikan energi positif bagi kerja pikir anda berikutnya.
Dari Koran, saya menemukan sebuah tempat liburan yang mempunyai tiga keuntungan sekaligus bagi kita. Tidak hanya murah, tapi juga bernuansa edukasi dan tetap menyenangkan. Ia ada di Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Di planetarium ini pengunjung yang masuk hanya dikenai tarif Rp. 7.000,- saja bagi orang dewasa dan Rp. 3.500,- bagi anak � anak. Bagi guru dan siswa tarif semurah itu akan membawa manfaat yang besar. Kita akan belajar dalam suasana yang santai, tanpa sadar kalau kita sedang belajar. Yang paling menarik, menurut Koran itu, adalah gedung pertunjukan yang ada di planetarium itu. Di sana mereka bisa melihat film tiga dimensi tentang tata surya yang memberikan pengalaman sensasional. Saya juga melihat TV yang menayangkan sebuah berita tentang tempat liburan yang disana kita bisa belajar segala sesuatu tentang dinosaurus. Tak tanggung � tanggung, wahana ini gratis untuk guru dan 50 % tarif untuk pelajar.
Taman Ismail Marzuki hanya contoh saja tentang tempat liburan yang murah dan membawa banyak manfaat serta inspirasi. Saya tidak merekomendasikannya bagi anda yang berada di luar Jakarta. Karena tentu sangat mahal bagi anda untuk menjangkau Jakarta. Di tempat anda sendiri pasti ada tempat � tempat yang pas bagi liburan anda. Yang terpenting adalah, anda merasa rileks dengan liburan anda. Kenyamanan yang anda dapatkan saat liburan ini, akan memberi energi positif bagi kerja pikir anda. Maka mari kita berlibur.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, gairah berubah di sini.

WAHAI GURU, BELAJARLAH!

Adakah anak bermasalah di kelas anda? Ya, ada beberapa. Apakah anda merasa terganggu dengan adanya anak itu? Seringkali ya. Apakah anda khawatir kalau � kalau anak bermasalah itu akan mempengaruhi teman � temannya yang lain nantinya? Benar, kekhawatiran itu ada. Kira � kira apa yang menyebabkan anak itu menjadi masalah bagi anda, teman � temannya dan sekolah? Saya rasa lingkungan anak itulah biang keladi dari berbagai permasalahan yang mereka lakukan. Orang tua yang bercerai, lingkungan pergaulan yang buruk, media � media yang berperan merusak mental mereka. Atau jika tidak demikian, sepertinya kita harus katakan bahwa mereka memang terlahir untuk menjadi sumber masalah. Apakah anak � anak itu mempunyai harapan untuk berubah? Sulit sepertinya, saya rasa sekolah bukan tempat yang cocok untuk mereka.
Paragraf diatas adalah rekaan saya saja. Perihal anak � anak nakal dan bermasalah saya rasa bisa ditemui di mana saja. Di kota ataupun di desa, sama saja. Setiap tahun akan selalu ada begundal � begundal pengacau suasana. Dan tiap tahun kita selalu dibuat repot karenanya. Ketika masalah ini didiskusikan, yang muncul adalah dialog � dialog di atas. Nampaknya, tidak ada solusi bagi permasalahan itu. Jalan sudah buntu. Tak ada lagi pemecahannya.
Bayangkanlah tentang sebuah sekolah yang tahun ini tidak berhasil meluluskan semua siswanya. Ajukan satu pertanyaan saja kepada guru mereka, mengapa anak � anak itu tidak lulus? Pasti anda akan temui guru yang mengatakan bahwa anak � anak itu pemalas. Mereka tidak mau jika disuruh belajar. Biar saja mereka tidak lulus. Ini akan menjadi pelajaran setimpal bagi mereka dan teman � teman mereka.
Memang benar bahwa ada hal � hal di luar yang mempengaruhi anak didik kita sehingga kebaikan atau keburukan menjadi dominan dalam diri mereka. Tapi kita tidak boleh menafikan apa yang ada dalam tiap diri manusia, dialah hati nurani. Hati nurani bekerja seperti mercusuar yang menyinari kegelapan. Ketika seseorang berbuat keburukan, bisa jadi karena hati nurani mereka sedang redup atau mati. Tugas dari orang � orang di sekeliling mereka lah untuk mengembalikan cahaya nurani itu. Akan tetapi, tiap manusia mempunyai ego. Tidak semua manusia bisa menerima nasihat. Tapi mereka bisa tersentuh oleh keteladanan.
Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pelacur di sebuah kota. Orang � orang di kota itu memperlakukan dia sebagaimana seorang pelacur diperlakukan. Ada banyak pelecehan � pelecehan yang sebetulnya tidak pantas. Hingga akhirnya tibalah seorang laki � laki di kota itu. Lelaki itu tidak memperlakukan sang pelacur sebagaimana orang � orang lain memperlakukannya. Dia memperlakukan pelacur itu sebagaimana memperlakukan seorang wanita terhormat. Begitu yang terus dilakukannya dalam waktu yang lama. Di akhir kisah, pelacur itu tobat dan meninggalkan dunia yang selama ini melecehkan martabat dirinya. Apa yang dilakukan sang lelaki telah membuat sinar nuraninya kembali terang. Dia sadar bahwa dia masih layak untuk diperlakukan sebagaimana seorang yang terhormat dengan memperbaiki keadaannya.
Sebagaimana sang lelaki kita mestinya mampu menjadi pemicu hidupnya nurani anak didik kita. Seringkali kita menyalahkan anak � anak kita. Tapi kita tidak pernah mencoba untuk bertanya pada diri kita sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan mereka. Kita seringkali mengeluhkan kemalasan mereka, tapi kita tidak pernah mencontohkan kerajinan kepada mereka. Kita seringkali menghukum mereka karena tidak mengerjakan PR, tapi kita tidak mau disalahkan jika kita terlambat masuk kelas. Kita menuding mereka atas keburukan nilai yang mereka dapat tapi kita sendiri lupa bahwa ilmu yang kita miliki masih perlu terus diperbarui.
Mestinya kita sibuk dengan diri kita sendiri. Tidak malah sibuk dengan aib orang lain. Mestinya kita mau bersusah � susah memperbarui ilmu kita, bersusah � susah untuk disiplin dalam mengembangkan diri. Meminimalkan kemarahan dan meningkatkan empati. Karena dengan begitu kita bisa menjadi pemantik mercu suar dalam diri anak didik kita.
Mendidik diri kita sendiri dengan keras dan lunak juga lembut kepada anak didik kita akan menumbuhkan kepercayaan mereka kepada kita. Jika mereka sudah percaya kepada kita, mereka akan meniru apa yang kita lakukan. Kita, di mata mereka, layaknya seorang selebritis yang ditiru segala tingkah lakunya. Ada kabar nyata yang meriwayatkan seorang guru yang mendapatkan kepercayaan murid � muridnya. Banyak dari murid � murid itu yang meniru bentuk tulisan sang guru. Padahal tulisan sang guru itu jelek. Begitulah. Jika kita sudah mampu menggerakkan nurani mereka, kita tidak perlu lagi memerintah dan melarang ini itu kepada mereka. Mereka sudah menemukan jalan mereka sendiri.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, guru teladan di sini.

Friday, July 4, 2008

SAYA LIHAT, SAYA PIKIR

Tanpa sengaja matanya menatap kotak korek api yang tergeletak di meja. Diambilnya kotak kertas itu. Diamatinya dan beberapa saat kemudian pikirannya melayang mencari � cari jawaban. Mengapa kertas tipis itu bisa menjadi sedemikian kokoh saat menjadi kotak? Dikait � kaitkannya kotak korek api itu dengan prinsip � prinsip konstruksi yang memang menjadi bidangnya. Terciptalah fondasi sarang laba � laba. Konstruksi yang terbukti kuat bahkan saat gelombang tsunami di Aceh menerjangnya. Begitulah riwayat cerita ditemukannya fondasi sarang laba � laba yang ditemukan oleh Ir. Sutjipto, seorang calon gubernur Jawa Timur dari PDI Perjuangan.
Siang itu sangat terik. Seorang lelaki duduk di bawah pohon apel yang sedang berbuah untuk sekedar melarikan diri dari panas matahari. Bersandar ia di dahannya yang besar dan kokoh sambil memandangi buah apel yang sudah ranum siap dipanen. Terbayang dalam benaknya, betapa enak jika di siang terik ini dia bisa mencicipi barang satu dua buah apel. Pasti rasa buah itu akan beberapa kali lebih enak jika dibandingkan dengan ketika dimakan dalam cuaca yang tidak panas. Saat dia tenggelam dalam bayangan kenikmatan itulah tiba � tiba jatuhlah sebuah apel yang ranum benar � benar dekat dengan tempat dimana ia duduk. Diambilnya buah itu, digosok � gosoknya dengan ujung pakaiannya dan siap untuk memakannya. Tapi, beberapa detik sebelum dimakan, terlintas dalam pikirannya. Mengapa apel itu jatuh ke tanah? Tidak jatuh ke langit atau melayang � layang di udara saja? Kini dia tenggelam dengan pikiran itu. Lupa dengan apel yang akan dimakannya beberapa menit sebelumnya. Lelaki itu adalah Isaac Newton. Penemu Teori Relativitas yang termasyhur.
Suatu saat, sebuah perusahaan sedang melakukan rapat untuk menemukan cara baru dalam membuka kaleng makanan. Cara yang telah dipraktekkan saat itu cenderung tidak efisien dan sulit. Cara baru yang lebih sederhana dan harus murah pasti akan menarik minat konsumen dan mendatangkan keuntungan berlipat bagi perusahaan. Setelah beberapa jam berdiskusi dan belum juga menemukan cara itu, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Minum kopi dan makan makanan kecil. Tiba � tiba terdengar salah seorang rekan mereka berbicara dengan setengah berteriak. Mengapa tidak membuat kaleng yang bisa dibuka seperti ketika kita mengupas pisang? Rekan mereka tadi sedang makan pisang saat lintasan pemikiran itu mampir. Kembali mereka berdiskusi dengan gairah baru. Riwayat ini disebut � sebut sebagai awal mulanya kaleng dibuka dengan membuka cincin penarik yang dipasang diatas lempengan, yang segera membuka jika kita menariknya.
Tiga kisah nyata diatas merupakan contoh dari sekian banyak contoh tentang bagaimana sebuah penemuan baru ditemukan. Umumnya, berbagai hal baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia ditemukan dengan cara mengkait � kaitkan sesuatu yang ditemui dan dialami dengan benda � benda yang nantinya berguna. Sesuatu yang ditemui itu terkadang merupakan sesuatu yang remeh dan diabaikan orang. Lihatlah Sutjipto, seorang politikus, yang mengkaitkan kotak korek api dengan konstruksi bangunan. Atau kaitan antara pisang dengan pembuka kaleng. Tapi jika anda memikirkan kegunaan teori relativitas bagi perkembangan manusia selanjutnya, anda akan berpendapat bahwa sebetulnya tidak ada yang remeh di dunia ini. Mengutip perkataan seorang tokoh dalam novel rekaan, The Jurassic Park, bahwa Tuhan Telah Menciptakan Segala Sesuatu dengan Sangat Detil, nampaknya sudah saatnya bagi kita untuk mengkait � kaitkan segala yang kita temui dengan kemungkinan � kemungkinan yang akan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Mulai saat ini, berusahalah untuk mengkait � kaitkan. Jika anda menemukan sampah organik, kemungkinan apa yang bisa kita ciptakan darinya. Apakah anda akan menguburkannya ke dalam tanah dan membiarkannya menjadi pupuk? Bagaimana jika anda merebusnya? Bagaimana jika kita menumbuknya sampai lembut? Bagaimana jika disimpan dalam tong? Baru saja kita dapatkan berita tentang orang yang membuat pot bunga cantik dari bahan Styrofoam.
Jika anda ingin mandi air panas di cuaca dingin yang lama tapi anda tidak ingin memboroskan uang anda untuk membeli bahan bakar minyak yang sekarang mahal, Apakah sabun bisa membantu anda mewujudkan keinginan anda itu? Bagaimana dengan getah pohon � pohon tertentu. Pinus misalnya, bisakah?
Jika anda telah memiliki informasi yang cukup untuk mewujudkan keinginan anda, tentu semuanya akan jauh lebih mudah. Seorang siswa SMP menemukan alat detektor tsunami. Meskipun sederhana dan belum teruji, teori yang digunakannya perlu kita apresiasi. Di masa � masa mendatang kehidupan manusia membutuhkan banyak hal untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, lebih nyaman dan lebih aman. Serta, tentu saja, lebih murah dan aman bagi lingkungan. Selama ini orang � orang Eropa dan Amerika lah yang menjadi pelopor dalam berbagai inovasi. Bagaimana dengan kita? Sistem pendidikan kita yang harus menjawabnya


Untuk membaca artikel yang berkaitan dengan artikel ini, silahkan klik ingin berubah di sini.


Thursday, July 3, 2008

GAIRAH UNTUK BERUBAH

Saya heran dengan grup band legendaris Koes Ploes. Grup band ini terbentuk ketika saya belum lagi lahir. Tapi mengapa sampai sekarang masih banyak juga yang menyukai lagu � lagu mereka? Di pinggir � pinggir jalan sampai ke acara � acara kampanye partai politik, lagu � lagu Koes Ploes masih juga didendangkan. Bahkan saat begitu gencarnya industri musik tanah air yang mengusung lagu � lagu rumit dan mudah, diputar di radio, televisi ataupun Ipod, jenis lagu � lagu yang bisa jadi belum pernah dibayangkan oleh bapak � bapak kita, Koes Ploes masih saja menarik banyak penggemar � penggemar baru.
Kalau anda pernah mendengarkan lagu � lagu mereka, anda akan tahu bahwa lagu � lagu itu tidaklah terlalu istimewa. Malahan, terkesan sederhana dan biasa saja. Tapi, menurut para pengamat musik, disitulah letak jawaban mengapa lagu � lagu mereka masih terus digemari bahkan oleh mereka yang baru berusia belasan tahun. Lagu � lagu yang ada sekarang cenderung rumit. Kerumitan � kerumitan itu membuat konsumen menjadi �lelah� mendengar yang kemudian, membuat mereka untuk mencari alternatif lain sebagai selingan.
Kita tahu bahwa manusia mempunyai rasa jenuh terhadap segala sesuatu. Manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu, meskipun itu merupakan kesenangannya, secara terus menerus tanpa jeda. Jika tiba saatnya, mereka akan jatuh pada titik jenuh. Di saat seperti inilah mereka perlu untuk berhenti dari aktivitas yang membuat jenuh dan melakukan hal lain. Musik � musik yang ada sekarang ini bisa jadi membuat beberapa konsumen jenuh dan mereka berpaling ke jenis musik lain.
Sekarang, jika musik Koes Ploes yang sederhana itu menjadi alternatif lain dari musik � musik yang biasa, dalam dunia pendidikan � jika boleh kita analogikan demikian � hal sedemikian itupun berlaku.
Saya tidak sedang menganalogikan musik Koes Ploes dengan pendidikan menggunakan kata �lama� atau �kuno�. Maksud saya, pendidikan tidak boleh menggunakan cara �lama� atau �kuno� agar tetap diminati sebagaimana musik Koes Ploes. Tapi saya menggunakan kata �sederhana� dalam menganalogikan kedua hal itu. Sistem pendidikan kita harus terus mengadopsi cara � cara yang sederhana agar tetap �diminati� dan berfungsi optimal.
Hanya, nampaknya pendidikan kita belum bisa dikatakan �sederhana�. Kesan saya dengan dunia pendidikan kita adalah bahwa kita harus belajar banyak. Bukan banyak belajar. Meskipun terkesan sama, kedua frase itu memiliki makna yang beda. �Belajar banyak� berarti kita harus belajar bermacam � macam hal. Cukup belajar macam � macam hal saja. Sedangkan banyak belajar berarti kita harus belajar bermacam � macam hal dengan tekun. Frase pertama menekankan pada kata �banyak� sedang frase kedua menekankan pada kata �tekun�.
Inilah buktinya. Lihatlah buku � buku pelajaran bagi siswa � siswa kita. Materi pelajaran di buku � buku itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada siswa dan guru untuk menghela nafas. Tidak ada waktu rehat dan mengendapkan materi � materi itu dalam pikiran kita. Satu materi selesai, sambung dengan materi lainnya. Layaknya lari estafet tanpa garis finish.
Meskipun kita belajar banyak hal, tapi jika kita tidak menekuni apa yang kita pelajari itu, yang terjadi adalah kita hanya sebatas banyak tahu. Akan tetapi kita tidak akan banyak bisa � jika tidak boleh dikatakan gagal. Anak � anak kita sudah belajar bahasa Inggris sedari SD. Tapi mengapa media massa selalu memberitakan tentang anak � anak yang gagal lulus ujian setiap tahunnya? Kurangkah belajar mereka? Oh, tidak. Mereka telah �belajar banyak� tapi, belum �banyak belajar�. Belajar apapun perlu adanya ketekunan. Ketekunan akan membawa kita kepada keahlian. Betapa banyak orang menjadi sangat ahli karena ketekunannya.
Tetangga saya, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, masih dipercaya banyak pihak untuk memeriksa catatan keuangan perusahaan mereka. Kakek yang jika berjalan terlihat sudah tidak tegak lagi ini, masih mampu menggantikan posisi anak � anak muda yang seharusnya sudah menggantikannya. Ketekunannya yang luar biasa itulah yang membuat beliau dijuluki �akuntan satu sen�. Predikat yang belum dimiliki oleh anak �anak muda yang �terlihat� cerdas dan energik.
Ketekunan membutuhkan latihan yang intensif dan lama. Perlu bertahun � tahun. Orang yang tekun, saya rasa juga mengalami rasa sakit yang sangat ketika mereka memulai ketekunan mereka. Banyak hal yang harus dikorbankan. Senang � senang, waktu luang dan santai � santai, harus mereka tinggalkan untuk mereka berikan untuk ketekunan. Tapi seperti pepatah � alah bisa karena biasa � saat ketekunan telah mendarah daging dengan mereka, mereka tidak merasa sakit lagi. Yang mereka rasakan hanyalah keasyikan. Mereka malah menikmatinya. Di saat inilah pohon ketekunan berbuah manis.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, pikirkan di sini.

Tags

Recent Post