Kalau anda pernah mendengarkan lagu � lagu mereka, anda akan tahu bahwa lagu � lagu itu tidaklah terlalu istimewa. Malahan, terkesan sederhana dan biasa saja. Tapi, menurut para pengamat musik, disitulah letak jawaban mengapa lagu � lagu mereka masih terus digemari bahkan oleh mereka yang baru berusia belasan tahun. Lagu � lagu yang ada sekarang cenderung rumit. Kerumitan � kerumitan itu membuat konsumen menjadi �lelah� mendengar yang kemudian, membuat mereka untuk mencari alternatif lain sebagai selingan.
Kita tahu bahwa manusia mempunyai rasa jenuh terhadap segala sesuatu. Manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu, meskipun itu merupakan kesenangannya, secara terus menerus tanpa jeda. Jika tiba saatnya, mereka akan jatuh pada titik jenuh. Di saat seperti inilah mereka perlu untuk berhenti dari aktivitas yang membuat jenuh dan melakukan hal lain. Musik � musik yang ada sekarang ini bisa jadi membuat beberapa konsumen jenuh dan mereka berpaling ke jenis musik lain.
Sekarang, jika musik Koes Ploes yang sederhana itu menjadi alternatif lain dari musik � musik yang biasa, dalam dunia pendidikan � jika boleh kita analogikan demikian � hal sedemikian itupun berlaku.
Saya tidak sedang menganalogikan musik Koes Ploes dengan pendidikan menggunakan kata �lama� atau �kuno�. Maksud saya, pendidikan tidak boleh menggunakan cara �lama� atau �kuno� agar tetap diminati sebagaimana musik Koes Ploes. Tapi saya menggunakan kata �sederhana� dalam menganalogikan kedua hal itu. Sistem pendidikan kita harus terus mengadopsi cara � cara yang sederhana agar tetap �diminati� dan berfungsi optimal.
Hanya, nampaknya pendidikan kita belum bisa dikatakan �sederhana�. Kesan saya dengan dunia pendidikan kita adalah bahwa kita harus belajar banyak. Bukan banyak belajar. Meskipun terkesan sama, kedua frase itu memiliki makna yang beda. �Belajar banyak� berarti kita harus belajar bermacam � macam hal. Cukup belajar macam � macam hal saja. Sedangkan banyak belajar berarti kita harus belajar bermacam � macam hal dengan tekun. Frase pertama menekankan pada kata �banyak� sedang frase kedua menekankan pada kata �tekun�.
Inilah buktinya. Lihatlah buku � buku pelajaran bagi siswa � siswa kita. Materi pelajaran di buku � buku itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada siswa dan guru untuk menghela nafas. Tidak ada waktu rehat dan mengendapkan materi � materi itu dalam pikiran kita. Satu materi selesai, sambung dengan materi lainnya. Layaknya lari estafet tanpa garis finish.
Meskipun kita belajar banyak hal, tapi jika kita tidak menekuni apa yang kita pelajari itu, yang terjadi adalah kita hanya sebatas banyak tahu. Akan tetapi kita tidak akan banyak bisa � jika tidak boleh dikatakan gagal. Anak � anak kita sudah belajar bahasa Inggris sedari SD. Tapi mengapa media massa selalu memberitakan tentang anak � anak yang gagal lulus ujian setiap tahunnya? Kurangkah belajar mereka? Oh, tidak. Mereka telah �belajar banyak� tapi, belum �banyak belajar�. Belajar apapun perlu adanya ketekunan. Ketekunan akan membawa kita kepada keahlian. Betapa banyak orang menjadi sangat ahli karena ketekunannya.
Tetangga saya, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, masih dipercaya banyak pihak untuk memeriksa catatan keuangan perusahaan mereka. Kakek yang jika berjalan terlihat sudah tidak tegak lagi ini, masih mampu menggantikan posisi anak � anak muda yang seharusnya sudah menggantikannya. Ketekunannya yang luar biasa itulah yang membuat beliau dijuluki �akuntan satu sen�. Predikat yang belum dimiliki oleh anak �anak muda yang �terlihat� cerdas dan energik.
Ketekunan membutuhkan latihan yang intensif dan lama. Perlu bertahun � tahun. Orang yang tekun, saya rasa juga mengalami rasa sakit yang sangat ketika mereka memulai ketekunan mereka. Banyak hal yang harus dikorbankan. Senang � senang, waktu luang dan santai � santai, harus mereka tinggalkan untuk mereka berikan untuk ketekunan. Tapi seperti pepatah � alah bisa karena biasa � saat ketekunan telah mendarah daging dengan mereka, mereka tidak merasa sakit lagi. Yang mereka rasakan hanyalah keasyikan. Mereka malah menikmatinya. Di saat inilah pohon ketekunan berbuah manis.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, pikirkan di sini.
Kita tahu bahwa manusia mempunyai rasa jenuh terhadap segala sesuatu. Manusia tidak bisa melakukan segala sesuatu, meskipun itu merupakan kesenangannya, secara terus menerus tanpa jeda. Jika tiba saatnya, mereka akan jatuh pada titik jenuh. Di saat seperti inilah mereka perlu untuk berhenti dari aktivitas yang membuat jenuh dan melakukan hal lain. Musik � musik yang ada sekarang ini bisa jadi membuat beberapa konsumen jenuh dan mereka berpaling ke jenis musik lain.
Sekarang, jika musik Koes Ploes yang sederhana itu menjadi alternatif lain dari musik � musik yang biasa, dalam dunia pendidikan � jika boleh kita analogikan demikian � hal sedemikian itupun berlaku.
Saya tidak sedang menganalogikan musik Koes Ploes dengan pendidikan menggunakan kata �lama� atau �kuno�. Maksud saya, pendidikan tidak boleh menggunakan cara �lama� atau �kuno� agar tetap diminati sebagaimana musik Koes Ploes. Tapi saya menggunakan kata �sederhana� dalam menganalogikan kedua hal itu. Sistem pendidikan kita harus terus mengadopsi cara � cara yang sederhana agar tetap �diminati� dan berfungsi optimal.
Hanya, nampaknya pendidikan kita belum bisa dikatakan �sederhana�. Kesan saya dengan dunia pendidikan kita adalah bahwa kita harus belajar banyak. Bukan banyak belajar. Meskipun terkesan sama, kedua frase itu memiliki makna yang beda. �Belajar banyak� berarti kita harus belajar bermacam � macam hal. Cukup belajar macam � macam hal saja. Sedangkan banyak belajar berarti kita harus belajar bermacam � macam hal dengan tekun. Frase pertama menekankan pada kata �banyak� sedang frase kedua menekankan pada kata �tekun�.
Inilah buktinya. Lihatlah buku � buku pelajaran bagi siswa � siswa kita. Materi pelajaran di buku � buku itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada siswa dan guru untuk menghela nafas. Tidak ada waktu rehat dan mengendapkan materi � materi itu dalam pikiran kita. Satu materi selesai, sambung dengan materi lainnya. Layaknya lari estafet tanpa garis finish.
Meskipun kita belajar banyak hal, tapi jika kita tidak menekuni apa yang kita pelajari itu, yang terjadi adalah kita hanya sebatas banyak tahu. Akan tetapi kita tidak akan banyak bisa � jika tidak boleh dikatakan gagal. Anak � anak kita sudah belajar bahasa Inggris sedari SD. Tapi mengapa media massa selalu memberitakan tentang anak � anak yang gagal lulus ujian setiap tahunnya? Kurangkah belajar mereka? Oh, tidak. Mereka telah �belajar banyak� tapi, belum �banyak belajar�. Belajar apapun perlu adanya ketekunan. Ketekunan akan membawa kita kepada keahlian. Betapa banyak orang menjadi sangat ahli karena ketekunannya.
Tetangga saya, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, masih dipercaya banyak pihak untuk memeriksa catatan keuangan perusahaan mereka. Kakek yang jika berjalan terlihat sudah tidak tegak lagi ini, masih mampu menggantikan posisi anak � anak muda yang seharusnya sudah menggantikannya. Ketekunannya yang luar biasa itulah yang membuat beliau dijuluki �akuntan satu sen�. Predikat yang belum dimiliki oleh anak �anak muda yang �terlihat� cerdas dan energik.
Ketekunan membutuhkan latihan yang intensif dan lama. Perlu bertahun � tahun. Orang yang tekun, saya rasa juga mengalami rasa sakit yang sangat ketika mereka memulai ketekunan mereka. Banyak hal yang harus dikorbankan. Senang � senang, waktu luang dan santai � santai, harus mereka tinggalkan untuk mereka berikan untuk ketekunan. Tapi seperti pepatah � alah bisa karena biasa � saat ketekunan telah mendarah daging dengan mereka, mereka tidak merasa sakit lagi. Yang mereka rasakan hanyalah keasyikan. Mereka malah menikmatinya. Di saat inilah pohon ketekunan berbuah manis.
Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, pikirkan di sini.
Post a Comment