BUKU PELAJARAN DARI MASA KE MASA

Ketika saya masih SD, saya memakai buku belajar membaca yang tipis. Buku yang memiliki gambar hitam putih sederhana saja. Isinya mengenai sebuah keluarga. Anda tentu ingat siapa yang menjadi tokoh dalam buku pelajaran membaca itu. Benar. Dia adalah BUDI. Dalam buku itu, Budi dibantu kakaknya � WATI, Ibu dan Bapaknya. Kalimat dalam buku belajar membaca itu selalu diulang � ulang; INI BUDI, INI IBU BUDI, INI BAPAK BUDI, INI KAKAK BUDI, WATI KAKAK BUDI. Walaupun begitu, saya menganggapnya sebagai buku yang hebat. Saya bisa membaca dari buku itu, juga kakak dan adik saya, serta tentu saja semua orang.
Kalau tidak salah buku itu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Saya tidak perlu membeli buku itu. Saya tinggal pakai saja. Kakak saya yang naik ke kelas yang lebih tinggi tidak memerlukan buku itu lagi. Diwariskanlah buku itu padaku. Saya lihat, saat itu, banyak juga teman � teman sekolah yang memakai ulang buku warisan kakaknya. Tidak perlu beli.
Inilah keunggulan sistem pendidikan kita saat itu. Buku yang dipakai seseorang, bisa diwariskan kepada adik atau kerabat dekat. Meskipun harga buku saat itu tidak semahal sekarang, buku yang bisa diwariskan seperti ini sangat membantu ekonomi sebuah keluarga. Tiap ajaran baru, seorang bapak atau ibu yang memiliki anak usia sekolah tidak perlu dipusingkan dengan anggaran yang perlu disiapkan untuk membeli buku pelajaran. Buku � buku itu dipinjamkan oleh sekolah. Meskipun dari segi fisik, buku � buku itu sudah sobek di sana � sini karena dipakai secara bergantian, dan dari segi tema banyak mengundang kritikan, buku itu menjadi sejarah dalam benak setiap orang yang pernak memakainya. Termasuk saya.
Lambat laun, buku yang dipinjamkan perpustakaan, buku yang bisa diwariskan ini kehilangan pamor dan mulai ditinggalkan. Buku � buku lusuh itu sudah saatnya tutup usia. Harus diganti dengan buku � buku baru yang tidak lagi seperti buku INI BUDI. Buku � buku penggantinya Nampak lebih trendi. Bergambar warna � warni yang menarik hati. Tetapi walaupun dari segi tampilan � bahkan mungkin isi � buku � buku itu lebih baik, ternyata buku � buku itu layaknya kertas sekali pakai. Tidak bisa diwariskan. Tiap tahun terbit buku baru. Tiap tahun para orang tua harus menyiapkan uang untuk mendapatkannya. Meskipun mahal harganya, orang tua memaksa membelikannya. Sebab, Perpustakaan tidak lagi menyiapkannya.
Pemerintah merespon buku pelajaran yang mahal itu. Mereka menyiapkan dana untuk menyediakan buku bagi para pelajar. Terkenallah buku bantuan pemerintah itu sebagai BOS BUKU. Meskipun meringankan, BOS BUKU itu masih menyisakan keluhan lain; BOS BUKU hanya untuk tiga mata pelajaran saja yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan matematika. Yang lain tidak.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, digagas pula untuk menciptakan buku dalam format digital. Tentu akan lebih murah harganya. Pemerintah pun membeli hak cipta bagi beberapa ratus judul buku. Mengunggahkannya ke dalam beberapa website dan mempersilahkan kepada masyarakat untuk mengunduhnya. Penyediaan buku dalam pola seperti ini perlu kita apresiasi.
Tetapi, beberapa saat lalu saya mendapatkan informasi dari Koran bahwa lapak � lapak milik penjual buku bekas sangat ramai dengan pembeli yang mengharapkan mendapat buku pelajaran bekas bagi anaknya. Di Koran juga saya dapatkan bahwa mayoritas sekolah belum memanfaatkan buku yang diunduh dari internet karena belum ada sosialisasi tentangnya.
Buku � buku pelajaran pada saat saya kecil dulu, dipakai oleh jutaan orang di Indonesia. Memberikan informasi dan mencerdaskan banyak manusia Indonesia. Setelahnya, muncullah buku yang mahal. Setelahnya, muncullah buku sekali pakai. Setelahnya terbitlah buku dunia maya. Tapi, untuk yang terakhir, sampai kini buku itu belum juga dimanfaatkan. Saya khawatir buku digital ini pun berakhir nestapa bagi pelajar Indonesia.


Untuk membaca artikel yang terkait dengan artikel ini, silahkan klik ebook di sini.

Post a Comment

Previous Post Next Post