TERAPI DESTRUKTIF?

Eksekusi mati yang terus beruntun beberapa minggu ini membuat saya berpikir. Jika para terdakwa yang mendapatkan vonis eksekusi mati itu mau beberapa saat untuk berpikir tentang risiko yang akan dihadapinya ketika akan melakukan pembunuhan terhadap korbannya, tentu dia tidak akan mendekam di penjara dan mendapatkan vonis yang berat itu.
Pembunuhan yang dilakukan terdakwa terhadap korbannya, beberapa diantaranya diawali kemarahan. Kemarahan menggelapkan mata mereka. Kemarahan yang meluap � luap telah mematikan pikiran sehat mereka. Terjadilah pembunuhan yang kemudian mereka sesali.
Rasa marah dimiliki oleh setiap orang. Dan kita tidak bisa menghilangkan kemarahan dalam diri kita. Dalam beberapa keadaan, kita membutuhkan kemarahan. Pastinya, dalam kadar tertentu. Kemarahan dalam kadar yang tepat, dalam kondisi dan dengan alasan yang tepat pula akan memberikan dampak positif. Contohnya, kemarahan yang kita tujukan kepada anak kita yang tidak disiplin atau melakukan pelanggaran. Kemarahan kita, kita niatkan untuk memperbaiki keadaan mereka. Kemarahan yang seperti ini akan menjadi pelajaran bagi anak � anak kita.
Tapi jika seringkali marah, bahkan dengan alasan yang sulit untuk diterima, kemarahan seperti ini akan sangat kontraproduktif bahkan membahayakan. Untuk itulah kita harus mengendalikan kemarahan kita. Bukan malah dengan mengumbarnya.
Cuma, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kemarahan tidak untuk kita kendalikan. Kita harus melampiaskan rasa marah kita agar kemarahan yang kita rasakan tidak berdampak negatif bagi kesehatan kita. Di Spanyol, banyak orang yang melakukan pengrusakan agar kemarahan mereka mereda. Malahan, mereka menyebut pengrusakan yang mereka lakukan itu sebagai terapi bagi kemarahan. Terapi destruktif (destructotherapy) ini diyakini bisa melegakan dan menghilangkan kemarahan. Terapi yang ditemukan di tahun 2003 oleh tiga orang pengusaha warga Spanyol ini bahkan masih dilakukan warga Spanyol sampai sekarang.
Benarkah pengrusakan bisa menjadi terapi? Saya rasa tidak. Sekali seseorang melakukan pengrusakan, dia akan cenderung untuk melakukan pengrusakan lagi di lain waktu dengan dalih untuk meredakan rasa marahnya. Bisa jadi mereka menjadi lega setelah melakukan pengrusakan. Tetapi tetap saja kita tidak bisa mengendalikan rasa marah kita jika suatu saat kita mendapatkan sesuatu yang memicu rasa marah itu. Seharusnya, saat seseorang mendapati kondisi yang bisa memicu kemarahannya, dia akan berpikir apakah marahnya itu bisa dibenarkan. Apakah kemarahan yang dilakukannya itu beralasan. Apakah waktunya tepat bagi dirinya melampiaskan rasa marah itu. Jika mekanisme berpikir ini berjalan, berarti seseorang telah bisa mengendalikan rasa marahnya. Inilah yang disebut Goleman sebagai kecerdasan emosi. Terapi destruktif tidak bisa memenuhi hal ini.
Pengendalian rasa marah hanya bisa dicapai hanya dengan latihan intensif atas kemarahan yang muncul atas berbagai pemicu yang ada. Melampiaskan rasa marah dengan melakukan tindakan destruktif dengan tujuan untuk melegakan, tidak akan menjadikan seseorang cerdas secara emosi. Bahkan, kelegaan yang didapat pun hanya sementara saja.


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik CERDAS EMOSI di sini.

Post a Comment

Previous Post Next Post