Latest News

Thursday, May 29, 2008

Pendidikan yang Menguatkan Identitas Budaya



Seorang teman guru, di kantor, mengatakan suatu pernyataan yang sangat medok. Berkata dengan dialek yang ndeso, beda dengan dialek yang sudah biasa ada. Spontan, guru lain yang mendengar, tertawa terbahak, walaupun ada yang tersenyum simpul saja, mencoba menjaga perasaan si empunya yang membuat pernyataan. Cuma, kemudian, ada seorang yang tak mampu menahan diri. Berkata beliau,� Jangan ndeso ah, medok banget.� Perkataan ini membuat guru tadi tersipu.

Kejadian serupa pasti pernah terjadi di berbagai tempat lain. Tidak hanya di kantor-kantor tentunya. Di berbagai kampus, dimana banyak mahasiswa yang berasal dari daerah, pernyataan ndeso di pandang aneh dan dijadikan olok-olok. Sesuatu yang disayangkan.
Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Demikian bunyi pepatah. Pepatah itu mengisyaratkan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Suatu kelompok, berbeda dengan kelompok yang lain. Bahkan suatu komunitas, walaupun berada di wilayah yang sama, akan berbeda dengnan komunitas yang lain. Ini sudah lazim. Dan tentu saja bukan aib.
Pebedaan diantara komunitas disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa diantaranya adalah perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan pekerjaan, dan perbedaan kebiasaan. Suatu komunitas yang berisi orang-orang dengan profesi guru, akan berbeda dengan komunitas orang-orang yang berpenghasilan sebagai pedagang atau karyawan misalnya. Kebiasaan yang dilakukan akan berpengaruh pada pola pikir dan pola tindak. Ini suatu kepastian.
Kita, mestinya, bersyukur dengan perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan itu adalah kekayaan budaya yang kita miliki. Dengan pebedaan yang ada tiap komunitas akan kenal-mengenal dengan komunitas lain. Saling mempelajari budaya yang ada diantara komunitas. Kalau ini terjadi, wawasan kita akan lebih terbuka dan meluas.
Bayangkan jika kita hanya mempunyai satu kebudayaan, tidak bermacam-macam. Betapa menjemukannya hal itu. Jika kita analogikan dengan warna, keseragaman budaya adalah warna putih atau warna hitam saja. Sedangkan keaneragaman budaya layaknya warna merah, kuning, hijau, biru dan warna-warna lain termasuk hitam dan putih, saling bersebelahan. Warna-warni. Tentu yang warna-warni lebih sedap dipandang mata daripada yang hitam atau yang putih saja. Bukankah begitu?
Kemudian, memperlakukan suatu kebudayaan lebih rendah daripada kebudayaan lain, merupakan kesalahan yang fatal. Taruhlah kita memandang bahwa kebudayaan komunitas guru lebih tinggi daripada komunitas petani. Apakah guru bisa menghentikan ketergantungannya kepada petani? Guru bisa jadi lebih luas dalam pemahaman bermacam ilmu tapi belum tentu mereka mempunyai pengetahuan empirik mengenai bertani. Jika guru memandang rendah petani hingga hal ini membuat para petani sakit hati dan mereka tidak mau menjual hasil panen mereka pada para guru, siapkah para guru menanam padi untuk mencukupi kebutuhan asasi mereka? Ini hanya permisalan. Tapi menjadi penguat akan pentingnya kesalingtergantungan.
Nah, inilah manfaat terbesar dari keaneragaman. Dengan bebagai perbedaan akan tercipta sebuah kesalingtergantungan, yang akan saling dukung, saling menguatkan. Sebagaimana batu bata yang saling jalin menjalin menjadi tembok yang kukuh.
Maka, sebenarnya kita berkepentingan untuk mempertahankan perbedaan yang ada. Cuma perlu dicatat disini, bahwa perbedaan yang perlu kita lestarikan adalah pebedaan-perbedaan yang dalam posisi boleh kita lestarikan. Sepeti dalam hal berbahasa itu tadi. Sedangkan dalam hal pendidikan, misalnya, harus tetap ada kesetaraan. Pendidikan bagi para petani, misalnya, adalah pendidikan yang akan meningkatkan hasil produksi, perbaikan distribusi dan meluasnya pasar bagi hasil produksi serta manajemen pemasarannya. Sedangkan hal-hal yang �boleh� lainnya harus tetap dilestarikan sebagai identitas budaya komunitas.
Praktek yang terjadi di kantor guru, seperti yang saya tulis diawal, merupakan upaya, entah kita sadari atau tidak, untuk mengikis identitas budaya. Upaya untuk menyeragamkan budaya dengan terlebih dulu menanamkan rasa rendah diri dengan budaya sendiri. Kalau ini terus terjadi, banyak orang yang akan mengalami krisis identitas.
Lihatlah, betapa banyak orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia untuk kesehariannya. Mereka meninggalkan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia memang bahasa kita juga. Tapi meninggalkan bahasa Jawa yang menjadi akar budaya sendiri adalah perbuatan yang salah. Betapa ruginya kita, jika kita kedepan tidak lagi bisa berbahasa Jawa.
Lebih memprihatinkan lagi saat kita melihat banyak orang-orang yang kebarat-baratan. Berkata-kata dengan mencampuradukkan kosa kata bahasa Indonesia dengan kosakata bahasa Inggris. Seringkali ini dilakukan untuk menegaskan identitasnya sebagai orang yang intelek. Sesuatu yang salah kaprah.
Mestinya kita besar dengan budaya kita sendiri. Seperti yang sudah sering disampaikan, kita mestinya bepikir global tapi bertindak lokal. Identitas kita menunjukkan eksistensi kita. Menanggalkan identitas asli kita membuat kita layaknya air di daun talas. Terombang-ambing dalam budaya-budaya dunia yang dahsyat. Hingga akhirnya kita hancur karenanya.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai budaya, silahkan klik konsumtifisme di sini



Wednesday, May 28, 2008

MENYOAL PERAN LBB



Ujian Nasional diharapkan bisa menjadi media untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari dinaikkannya standar kelulusan minimal secara bertahap di setiap tahun. Dengan peningkatan standar kelulusan minimal itu, impian tentang terciptanya budaya belajar pada guru, siswa serta terbentuknya lingkungan pembelajaran yang kondusif di sekolah diharapkan akan terwujud. Celakanya, publik yang sudah terlampau lama hidup dengan pola konsumtif belum siap dengan kebijakan ini. Pola hidup konsumtiflah yang telah mengajari mereka untuk tidak perlu bersusah payah. Bahkan dalam belajar sekalipun. Karena segala sesuatu, pada zaman ini, bisa didapat dengan mudah dan cepat. Inilah zamannya untuk bisa mendapatkan semuanya secara instan!.

Keadaan ini terbaca oleh orang-orang cerdas yang dengan memukau menyulap pendidikan yang pada awalnya merupakan hak azasi setiap manusia, menjadi komoditi bisnis yang gemerlap dan relatif tak terjangkau. Untuk lebih memuluskan jalannya, mulailah digagas kemungkinan bekerjasama dengan pihak sekolah. Gayung bersambut, karena selain mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini, Guru akan terkurangi bebannya dan sekolah bisa lebih berharap akan kelulusan siswa yang seratus persen atau setidaknya mendekati angka itu.
Memang secara kasat mata LBB jauh lebih menarik dan efektif daripada sekolah. Tutor-tutor LBB tidak hanya cerdas tapi juga tampil simpatik, banyak senyum bahkan trendi dan gaul. Lebih dari itu mereka juga memberikan trik-trik jitu dalam menyelesaikan soal. Trik-trik ini melegakan hati karena, dalam menyelesaikan soal, lebih cepat dan relatif mudah. Penyelesaian soal diferensial misalnya. Guru di sekolah formal menggunakan beberapa tahap untuk bisa mendapatkan hasil akhir. Sedangkan trik � trik ampuh ini mampu menunjukkan �jalan pintas� yang tentu lebih cepat dan mudah untuk sampai dihasil akhir. Nyaman dan melegakan.
Tetapi, jika kita mau merenung beberapa saat, keuntungan finansial yang didapat sekolah, terkuranginya beban para guru dan leganya hati para siswa itu hanyalah keuntungan jangka pendek saja. Dalam jangka panjang, sesungguhnya itu adalah malapetaka. Mari kita renungkan.
Siswa yang terbiasa dengan kemudahan, bahkan dalam belajar, lambat laun akan membentuk mental yang soft (lembek). Pertanyaannya, akankah mereka kuat dalam persaingan global yang keras? Negara-negara seperti Korea, Jepang, atau Vietnam terkenal dengan kerja kerasnya. Saat ini mereka terus berkembang menjadi raksasa ekonomi Asia bahkan dunia. Bisakah pelajar kita yang soft mengejar laju mereka? Tidak. Kalau mental mereka tidak diperbaiki.
Sekarang mari kita lihat kerugian yang diakibatkan pola belajar instan bagi kinerja otak. Di Jepang dikenal istilah satori. Kosakata Jepang ini mengacu pada suatu keadaan ketika berpikir logis, imajinatif dan intuitif terjadi secara serempak. Potensi otak tereksploitasi secara maksimal pada orde ini. Sehingga hasil kerja yang didapat juga maksimal. Untuk sampai pada fase berpikir tingkat tinggi ini, orang harus bekerja keras dan mencintai apa yang dikerjakannya, melakukannya terus menerus, disiplin, tekun dan bersungguh-sungguh. Kemajuan Jepang, terwujud karena secara mayoritas pendukungnya bekerja dengan satori ini.
Di Amerika Serikat satori dikenal dengan sebutan flow. Inilah hasil penelitian Dr. Csikzentmihalyi, seorang ilmuwan, yang direkam oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berpengaruh; Emotional Intelligence, tentang flow: Dalam suatu studi terhadap 200 seniman setelah mereka lulus dari sekolah seni. Csikzentmihalyi menemukan bahwa yang menjadi pelukis-pelukis serius adalah mereka yang semasa mahasiswa menikmati kebahagiaan melukis itu sendiri. Mereka yang termotivasi memasuki sekolah seni karena mengejar mimpi ketenaran dan kekayaan, sebagian besar telah melenceng dari seni setelah lulus. Prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan pikiran.
Sebagaimana penelitian ilmuwan di atas, hasil belajar paling optimal akan didapat ketika belajar sudah menjadi budaya yang mendarah daging, bukan belajar yang hanya bertujuan agar lulus ujian. Maka praktis dalam jangka panjang tak ada yang diuntungkan dari belajar instan gaya LBB ini. Untuk itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah harus sesegera mungkin dirubah agar sekolah tetap menjadi institusi yang dapat menciptakan dan mengembangkan budaya belajar. Kegiatan pembelajaran di sekolah harus dirasakan nyaman oleh para siswa. Di samping itu, membangun ikatan emosional antara sekolah dan siswa, membangun hubungan yang baik antara guru dan siswa, serta menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar mutlak segera diwujudkan dan ditingkatkan. Karena sebuah penelitian melaporkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, ramah dan mereka mempunyai suara dalam pembuatan keputusan.
Guru, sebagai ujung tombak pendidikan harus berani beranjak dari comfort zone (zona nyaman) mereka. Jika selama ini guru masih saja merasa nyaman dengan pola lama dalam mendidik, seperti mengancam, melecehkan, atau bahkan memukul (bullying) untuk mendisiplinkan siswa, sudah saatnya para guru mengajar dengan simpatik, memahami siswa, mendengar dan menghargai mereka. Jika selama ini guru mengajar dengan teknik yang itu-itu saja, sudah saatnya bagi guru mengadopsi teknik pengajaran terbaru yang terbukti efektif. Harus diingat bahwa apa yang efektif 30 tahun yang lalu belum tentu berguna saat ini. Memang perlu tenaga ekstra untuk meninggalkan kenyamanan kita. Tapi semoga hal ini dapat mengembalikan martabat guru yang perlahan memudar.
Untuk membaca lebih jauh mengenai dampak negatif penyelenggaraan Ujian Nasional, silahkan klik di UJIAN NASIONAL di sini.



Memutus Budaya Copy Paste



Kemajuan teknologi telah meringankan beban kerja manusia di segala lini. Kehidupan manusia saat ini berkali lipat lebih mudah daripada satu dekade sebelumnya. Ini perlu kita syukuri. Hanya, harus selalu kita sadari bahwa keringanan yang didapat dari kemajuan teknologi itu merupakan buah dari ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Sebuah penemuan disusul penemuan baru yang lebih baik. Demikianlah.

Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak tahu atau tidak menyadari hal ini. Kemudahan�kemudahan yang kita dapatkan seringkali malah melenakan kita. Karena merasa bahwa segala sesuatu telah tersedia dan ��Ready to use�, kita cenderung terus menerus mengkonsumsi, hanya mengkonsumsi, dan lupa untuk memproduksi. Celakanya, kita tidak lagi sekedar lupa, sekarang kita malah malas memproduksi.
Lebih celaka lagi saat rasa malas ini kini juga telah menjadi-jadi dalam dunia pendidikan. Tunggu sebentar, saya tidak sedang membahas tentang para siswa yang lancung di ujian. Yang menuliskan materi-materi pelajaran dalam kertas-ketas kecil, dibangku-bangku, atau bahkan dipaha-paha mereka, untuk dijiplak saat ujian. Saya sedang membicarakan tentang para pendidik. Yang melakukan tindak penjiplakan. Saya dan anda pasti sudah tahu. Praktek tindak tak tepuji ini sudah seringkali terjadi dan menjadi rahasia umum. Berpikirlah dengan cara ini: keringanan hidup yang kita nikmati adalah hasil dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, mulanya, di pelajari di sekolah dari para guru. Nah, jika para guru tidak lagi bisa menjadi teladan dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bisakah murid � murid mengembangkan ilmu pengetahuan yang akan berguna bagi kehidupan manusia?

PENGUBAH DUNIA

Akio Morita, seorang pendiri SONY Corporation, menulis dalam bukunya: �Made in Japan��; �Ibuka dan aku seringkali mengatakan bahwa konsep perusahaan kami adalah sebagai penemu, perusahaan pandai yang akan membuat teknologi tinggi yang baru dengan cara cerdik�. Morita benar-benar jujur dengan apa yang ditulisnya. SONY Corporation bukanlah perusahan penjiplak yang hanya membuat dan memasarkan produk-produk yang diproduksi oleh perusahaan lain. Tapi SONY membuat inovasi-inovasi yang melahirkan produk-produk yang benar-benar baru. Anda telah mendengar kata �� walkman�? SONY adalah penemu dan yang memasarkan walkman untuk yang pertama kalinya.
SONY telah membuat �walkman� di akhir tahun lima puluhan. Sejak sekian tahun dari sekarang Jepang telah membuktikan kepada dunia bahwa mereka bukan bangsa penjiplak. Sedang kita, para guru, bahkan sampai saat ini tanpa malu-malu banyak menjiplak karya-karya orang lain, dengan sedikit perubahan, kemudian kita akui sebagai karya kita. Apakah ini patut?. Maka, tidak berkelebihan kiranya, jika demikian, KOMPAS (26 Mei 2008) menulis bahwa masyarakat kita meragukan kebangkitan indonesia.

AMATI, TIRU, MODIFIKASI
�Sebuah ide adalah kombinasi baru dari elemen-elemen lama�, Gordon Dryden menulis. Senada dengan pernyataan Dryden ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa: �Tidak ada yang baru dibawah matahari�. Ini mestinya memacu kita semua untuk tidak cukup menjadi plagiator. Sebab yang perlu kita lakukan hanyalah memodifikasi dari apa yang telah ada menjadi sesuatu yang benar-benar baru. Ketahuilah,�walkman� adalah kombinasi dari �earphone� dengan �radio transistor.�
Jika anda tertarik dengan penemuan tentang pengaruh musik klasik tehadap kecerdasan otak, mengapa anda tidak melakukan eksperimen atas gamelan jawa?. Bisa jadi gamelan jawa juga mempunyai dampak positif bagi otak. Meskipun tidak penting bagi anda untuk membuktikan hal itu. Sebab, tulisan yang anda buat sendiri dari hasil eksperimen, lebih penting. Karya tulis yang merupakan karya orisinil anda sendiri. Jika anda terpukau dengan tulisan tentang kritik terhadap kebijakan pemerintah yang menaikan harga BBM, Mengapa anda tidak menulis tentang betapa sulitnya posisi pemerintah ketika harga minyak dunia membumbung tinggi?. Akhirnya, anda mempunyai karya tulis anda sendiri.
Maka, sebenarnya, anda tidak perlu menjiplak. Anda bisa menulis karya anda sendiri. Saat ini, kita harus berusaha untuk memutus budaya plagiat. Jangan sampai berkepanjangan. Meskipun untuk itu, diperlukan usaha yang kuat.
Untuk membaca lebih jauh mengenai ketrampilan menulis, silahkan klik di Menulis
di sini. Juga di portofolio guru


Monday, May 26, 2008

Pelajaran dari Tim Uber Indonesia



Tim Uber Indonesia memang belum berhasil mengembalikan piala lambang supremasi bulu tangkis dunia itu kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tapi perjuangan tiap duta bulu tangkis kebanggaan kita itu menyisakan pelajaran.

Emosi kita terkuras saat menyaksikan final perebutan piala uber, beberapa saat lalu. Dengan bermandikan peluh, para pemain pilihan kita mencoba unggul dari tim China, negara yang sudah pernah sepuluh kali menjadi juara. Aksi serangan dan pertahanan dilakukan dengan sama sengitnya. Teriakan supporter; �Indonesia, Indonesia� dan juga nama-nama para pemain mengentalkan atmosfir perjuangan merebut kemenangan. Sesuatu yang wajar. Piala Thomas pernah singgah kembali ke tangan kita di tahun 2002 dan akhirnya direnggut lagi dari kita. Piala Uber berada dalam genggaman kita di tahun 1996 dan sampai saat ini belum juga berhasil kita rebut. Tim Uber yang berhasil masuk ke semi final, menjadi tumpuan harapan kita akan kejayaan.
Di saat-saat seperti inilah kita disatukan. Dalam momen-momen sedemikian, kita seolah disadarkan bahwa eksistensi kita sebagai sebuah negara perlu dibuktikan. Penonton yang ada di pinggiran lapangan, dan kita yang di depan televisi, memiliki emosi yang sama. Kemenangan adalah penentu martabat kita. Degup jantung kita seirama dan dalam tempo yang sama kita menahan nafas. Menunggu detik kemenangan tiba.
Sekarang marilah kita tengok pendidikan kita. Sebagaimana olahraga, pendidikan juga menentukan identitas bangsa. Prestasi-prestasi di bidang olahraga akan membuat kita disegani dunia. Begitu juga prestasi-prestasi di bidang pendidikan. Bahkan dampak dari prestasi pendidikan lebih luas lagi. Pendidikan yang maju akan meningkatkan kemakmuran bangsa.
Sayangnya, sebagaimana olahraga, kita belum melihat perbaikan yang menyentuh esensi pendidikan. Yang sering kita temui adalah, ganti menteri selalu ditandai dengan ganti kebijakan, ganti kurikulum. Kita selalu gegap gempita saat tahu bahwa indeks pendidikan kita jauh di bawah negara tetangga kita Malaysia. Tapi begitu berita itu tertelan waktu, kita lupa bahwa mutu pendidikan kita belum beranjak ke titik perbaikan. Tahun-tahun mendatang, berita miring tentang pendidikan kita kembali dilaporkan. Kita hingar-bingar lagi. Tapi kemudian, lupa lagi. Begitu seterusnya.
Kekalahan kita di perebutan piala Thomas dan Uber semestinya dievaluasi agar di waktu-waktu mendatang kita kembali merebut gelar juara. Jika kita melihat ke belakang. Apa yang dilakukan oleh Ivana Lie, oleh Haryanto Arbi. Tentunya fasilitas yang ada saat itu, tidak sebaik saat ini. Tapi mengapa kita tak sebaik Susy Susanti? Saya teringat saat Susy Susanti memenangkan piala Uber tahun 1996. Saat itu Susy kalah di set pertama, ketinggalan di set kedua, tapi akhirnya menang. Perjuangannya yang heroik membuat kita haru, dan menititikkan air mata. Saya bangga dan salut serta hormat kepada para pejuang piala Thomas dan Uber kita, keheroikan mereka di lapangan tak kalah membuat rasa haru yang luar biasa. Tapi, saya rasa wajar jika saya masih harus menahan kecewa karena kekalahan tim kita.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh EFA (Education for All) November 2007, peringkat pembangunan pendidikan kita turun dari peringkat 58 menjadi 62. Padahal peringkat Malaysia naik dari peringkat 62 menjadi 52. Laporan yang menyesakkan dada kita semua itu semakin menyudutkan kita saat pemerintah masih saja menyelenggarakan Ujian Nasional, sistem evaluasi pendidikan yang terus melahirkan kecurangan.
Dimasukkannya gaji guru kedalam anggaran pendidikan semakin menambah kekecewaan kita. Kita jadi ragu akan komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan. Berkurangnya anggaran untuk perpustakaan di saat masih banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan. Makin mahalnya harga buku karena mahalnya harga kertas, anak-anak kita yang terancam tertimpa bangunan sekolah yang bobrok, dan semakin mahalnya biaya masuk perguruan tinggi, bahkan yang Negeri, membuat kita khawatir kelak anak-cucu kita tidak mendapat pendidikan yang layak.
Sekali lagi, pendidikan nasional yang baik akan meningkatkan martabat bangsa. Maka mestinya, pendidikan mendapat prioritas pertama. Dukungan seluruh rakyat Indonesia untuk tim Thomas dan Uber, peluh yang terperas dari seluruh anggota tim untuk merebut kemenangan, dan jatuh-bangun mereka seharusnya menginspirasi kita semua. Menyemangati seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan pendidikan yang paling baik. Karena sebagaimana piala Thomas dan Uber, mutu pendidikan yang baik pun harus kita rebut dan perjuangkan.
Untuk membaca kondisi pendidikan Indonesia, silahkan klik mandegnya pendidikan di sini



Monday, May 19, 2008

LEBIH DARI SEKEDAR GURU



Adakah orangtua yang menyesal karena telah menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi? Ada. Seseat setelah pengumuman guru honorer yang diangkat menjadi CPNS dipasang. Setelah tersebar berita Si Suto yang sukwan guru TK diangkat. Si Nolo yang honorer guru SD diangkat. Si Dhadhap dan Waru yang bertahun-tahun berstatus GTT di SMP dan SMA diangkat menjadi bakal CPNS, seorang ibu mendatangi saya dan berkata, �Bayangkan mas, guru-guru honorer itu lho. Banyak lho yang dulu kuliahnya hanya di perguruan tinggi ecek-ecek. Masuk kuliahnya cuma formalitas. Pokoknya mau membayar SPP pasti lulus. Lha, sekarang jadi guru PNS. Mau jadi apa negara ini. Rugi dong saya menyekolahkan anak saya sampai ke luar kota. Sudah masuknya susah, lulusnya susah. Tambah lagi biayanya, besar, eee�. nanti keluar kuliah pasti susah jadi guru. Lha wong lowongannya telah diisi oleh guru-guru honor itu. Iya to? Rugi pokoknya. Rugi. Saya hanya manggut-manggut. Diam seribu bahasa. Alhamdulillah ibu itu tidak menanyakan dimana kuliah saya dulu. Karena bukan kebetulan kalau saya dulu juga hanya kuliah di sekolah tinggi ecek-ecek. Untung saja.
MORAL HAZARD
Tugas seorang guru tidaklah ringan, butuh keahlian tersendiri. Setiap guru harus mempunyai kecerdasan interpersonal. Jenis kecerdasan inilah yang akan menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Mengapa demikian? Karena guru mengajar manusia. Seorang guru kadang diterima oleh anak didiknya. Tetapi, kadang juga tidak. Taruhlah anda adalah seorang guru yang jenius. Tapi murid-murid anda tidak menyukai anda. Apakah anda akan berhasil dalam mengajar? Kemungkinannya kecil.
Selayaknya, profesi guru didapat setelah menempuh pendidikan guru yang serius dan berkualitas. Atas spesialisasi ilmu yang diampunya, guru harus mumpuni. Mestinya kita tidak lagi mendengar adanya guru text book. Tetapi selain itu, sertifikat mengajar yang mereka dapat pun harus benar-benar mewakili kemampuan yang dimiliki. Selebihnya, adalah masalah jam terbang. Masalah banyaknya pengalaman berdiri di depan kelas untuk mengajar.
Kalau saat ini marak bermunculan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang berani mengeluarkan ijazah dan sertifikat mengajar yang tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur kemampuan mengajar seorang guru, ini disebabkan kondisi masyarakat kita. Beberapa tahun terakhir, profesi guru menjadi profesi yang banyak diminati. Padahal sebelumnya banyak yang mencemooh mahasiswa ilmu keguruan. IKIP (saat itu) dipandang sebelah mata oleh anak-anak lulusan SMA. Menjadi insinyur atau pengacara adalah cita-cita yang banyak dipilih. Gengsi mereka terangkat jika mereka diterima di Fakultas Teknik atau Hukum. Menjadi guru? Amit-amit deh!. Tetapi keadaan berbalik. Ketika tiba saat dimana insinyur dan sarjana hukum pun susah mendapatkan pekerjaan, profesi guru dilirik. Berbondong-bondong mereka mencari akta IV untuk mendapatkan syarat mengajar.
Sadar dengan hal ini, banyak pihak yang kemudian membuka sekolah-sekolah untuk calon guru. Banyak yang berkualitas tapi tak sedikit yang bermutu rendah. Sayangnya, banyak juga yang memilih untuk sekolah di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang rendah mutunya. Karena biasanya mereka tidak menetapkan standar mutu yang ketat. Bersekolah di perguruan tinggi seperti ini dijamin cepat lulus.
Tapi, apakah ada ruginya bagi kita yang telah menyekolahkan anak-anak kita di sekolah tinggi yang terbaik hanya karena mereka yang telah bersekolah di sekolah tidak bermutu ternyata malah lebih cepat mendapatkan pekerjaan? Saya tunda dulu jawabannya. Hanya saja, perlu berkali-kali kita tanamkan keyakinan pada diri kita bahwa siapapun yang menjadi guru karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya sangat dia inginkan, atau siapapun juga yang menjadi guru dengan cara-cara yang tidak terpuji, sebenarnya mereka tidak akan pernah bisa mengajar dengan sepenuh hati. Sebenarnya mereka tidak memiliki moral yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengajar.
GURU YANG INSPIRATIF
Maka, apa yang akan dihasilkan oleh guru minus moral yang semestinya mereka miliki? Sering kita mendengar dan melihat banyaknya murid yang tidak disiplin, banyak membantah dan acuh tak acuh dengan kewajiban akademis mereka. Menurut anda, apa yang menyebabkan mereka seperti itu? Alasan yang seringkali dikemukakan adalah, mereka nakal atau malas itu karena dari sononya. Mereka memang demikian. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Tuhan sengaja menciptakan anak-anak itu sebagai pelengkap kehidupan. Layaknya siang yang harus bersanding dengan malam. Kalau ini yang diyakini, tidak akan ada perubahan yang terjadi pada anak-anak yang bermasalah itu. Padahal, bisa jadi mereka adalah anak-anak yang penuh bakat luar biasa.
Kalaupun mereka memang benar-benar malas atau nakal, bukankah kewajiban guru untuk mengembalikan sifat dasar mereka yang positif? Yang rajin dan baik? Saya jadi teringat paradigma yang ditawarkan oleh Stephen Covey. Paradigma itu berbunyi; Dari dalam ke luar. Murid-murid kita nakal. Kita �gregetan� dengan kemalasan mereka. Mereka itulah sumber masalah di sekolah kita. Demikian anggapan kita.
Covey melihat dari sisi lain. Nyatanya, memang anak-anak kita bengal. Tapi kita, guru mereka, punya kekuatan jiwa untuk menunjukkan bahwa sebenarnya mereka adalah anak-anak yang baik. Dan tidak sepantasnya mereka menjadi anak-anak yang menyandang tingkah laku yang akan merendahkan martabat mereka sendiri. Kita punya kemampuan untuk terus menerus menguatkan mereka bahwa mereka mampu menjadi orang-orang yang diharapkan oleh orang tua mereka dan hakikatnya oleh diri mereka sendiri.
Kemampuan kita untuk menguatkan mereka membutuhkan usaha kita untuk merubah diri kita sendiri berpikir dan bersikap positif kepada mereka dengan keikhlasan yang sepi pamrih. Inilah yang dimaksud Covey dengan paradigma dari dalam ke luar. Jika kita ingin orang lain berubah, kita harus pertama-tama yang berubah. Sikap ini akan membuka pikiran dan menerbitkan inspirasi. Sebaliknya, jika kita terus mencari-cari kesalahan mereka, tidak akan muncul dari dalam diri kita keinginan untuk merubah diri. Karena yang terpatri dalam keyakinan kita adalah bahwa mereka salah sedangkan kita pusat kebenaran. Yang terjadi, kita berada di pihak yang menyalahkan dan mereka menuding kita tidak bisa memahami mereka. Bagai lingkaran setan yang tak jelas mana ujung pangkal, permasalahan tidak akan pernah bisa teruraikan
ASKETISME
Sudahkah kita sedemikian halnya? Mau berubah sebelum menginginkan perubahan? Jangan-jangan malah tidak. Padahal, sebagaimana bunyi pepatah Arab, orang yang tidak memiliki, tidak akan dapat memberi. Belum lagi kalau menyinggung masalah keilmuan yang kita miliki. Sudah kompetenkan kita? Seorang guru saya di SD dulu ada yang sangat disegani oleh murid-murid yang pintar apalagi yang bodoh. Dihormati oleh murid-murid yang baik sekaligus yang berandalan. Apa yang dikerjakan oleh guru saya itu abadi terekam adalam benak kami sampai saat ini. Beliau orang yang sederhana tapi rapi. Tegas dan lugas. Sangat menguasai apa yang diajarkannya. Kami selalu dapat hal baru setiap kali beliau mengajar. Tekadnya yang kuat untuk terus belajar tercermin dalam sikap disiplin dan penghargaannya atas waktu. Pribadi yang menjaga martabat. Kami merasa kehilangan ketika samapai pada kami kabar tentang wafatnya.
Saat ini kita mungkin juga merasa ada yang hilang dari pribadi-pribadi guru. Tidak semua memang, tapi cukup dominan. Kita merasa bahwa sikap untuk terus belajar berangsur hilang. Kita sudah merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Umumnya, usai kuliah, usai juga aktifitas akademis. Kita tidak lagi rajin membaca, tidak lagi menulis, kita tidak lagi mendalami bidang ilmu yang kita ampu. Padahal apa yang kita pelajari dahulu akan sangat mungkin tidak lagi relevan saat ini.
Motivasi untuk terus belajar perlu selalu diperbarui. Bahkan, untuk saat ini, sepertinya seorang guru tidak cukup dengan belajar tentang hal-hal dalam bidang keilmuannya saja. Harus ada tekad yang kuat untuk juga belajar hal-hal yang baru. Karena hanya dengan itu seorang guru dapat bernilai lebih.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai aksi mengajar guru, silahkan klik di pengalaman mengajar di sini.


TRAMPIL MENULIS DENGAN ngeBLOG



Menulis adalah salah satu jalan untuk berbagi informasi, menyampaikan pendapat dan berekspresi. Rangkaian kata-kata yang ditulis dengan tepat bahkan berkali lipat lebih efektif dalam mempengaruhi orang dibandingkan dengan kata-kata yang disampaikan secara lisan. Kefektifan ini terjadi karena informasi tertulis bisa ditransformasikan ke orang banyak diberbagai tempat dalam satu waktu. Sedangkan upaya dokumentasi atas tulisan juga sangat mudah. Betapa banyak sumber tertulis yang diwariskan oleh pendahulu-pendahulu kita. Yang dari informasi tertulis itu kita belajar dan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu.
Kelebihan transformasi informasi secara lisan adalah bersamaan dengan tersampaikannya pesan, tersampaikan juga emosi pembicara yang akan membuat pesan menjadi lebih berbobot dan membantu pendengar untuk meresapi makna pesan untuk kemudian menerimanya sebagai kebenaran yang patut dianut. Contoh untuk apa yang saya paparkan di atas adalah pidato-pidato Presiden Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno. Banyak orang yang terpukau dengan pidato Sang Presiden setiap kali beliau membawakannya di atas podium � demikian informasi sejarah yang sampai kepada kita. Banyak para saksi yang mengatakan bahwa faktor yang membuat pidato Presiden Soekarno seringkali memukau adalah kefasihan beliau dalam berkata-kata dan pemilihan kata yang tepat. Sebenarnya, lebih dari itu, Presiden Soekarno juga memuati tiap kata-kata itu dengan emosi yang mendalam. Seperti pepatah, sesuatu yang berasal dari hati akan diterima di hati, sedang sesuatu yang hanya berasal dari mulut juga hanya akan mampir di telinga. Ir. Soekarno paham benar dengan hal ini dan beliau adalah salah seorang yang berhasil dalam menerapkannya.
Muatan emosi dalam informasi tertulis bukannya tidak ada. Tetapi kadarnya tentu lebih besar di informasi yang disampaikan secara lisan jika dibandingkan dengan informasi tertulis. Beberapa saat lalu, saya mengikuti �Kuliah� yang disampaikan oleh Bill Gates, pendiri Microsoft Corporation. Saya pernah membaca buku yang ditulis dengan sangat apik oleh Bill Gates. Buku itu membawa semangat baru dalam diri saya. Tetapi, saya mendapatkan semangat yang meluap-luap ketika mengikuti �kuliah� dia tentang pentingnya teknologi informasi bagi pendidikan di televisi secara langsung. Belakangan saya tahu bahwa emosi tidak hanya termuat dalam kata-kata yang dia ucapkan. Melainkan juga melalui manner si pembicara. Sekali lagi, itulah kelebihan dari informasi yang disampaikan secara lisan.
Cuma, seperti yang telah saya tulis di muka, informasi tertulis tetap punya kelebihan lain. Informasi tertulis mudah didokumentasikan oleh kebanyakan orang dan juga mudah untuk diwariskan. Informasi lisan, kebalikannya tidak semua orang bisa mengikuti pidato seseorang. Tidak tiap orang bisa merekam isi pidato itu untuk kemudian didengar atau ditonton ulang. Sedang informasi tertulis memiliki kemungkinan untuk dibaca dan dipelajari orang banyak bahkan untuk betahun-tahun ke depan.
Untuk itu sudah selayaknya bagi guru untuk belajar dan mengembangkan keterampilan menulis. Tulisan-tulisan yang merupakan cetakan gagasan dari guru untuk dipelajari oleh orang lain. Tulisan-tulisan yang akan membawa banyak manfaat bagi orang lain. Meskipun seperti yang sering kita dengar, untuk menulis dan membuat tulisan yang bagus tidaklah mudah. Banyak para guru yang mengatakan bahwa mereka telah menulis dan mengirimkannya kepada beberapa media masa, bahkan kepada majalah Media Pendidikan kita tercinta ini, tapi tidak juga di muat. Kenyataan ini membuat para guru putus asa dan berhenti menulis.
Berhenti di tengah jalan seperti ini tentu tidak baik bagi perkembangan kualitas tulisan seorang. Penulis terbaik sekalipun pasti pernah berkali-kali mengalami kegagalan. Tapi hanya sedikit guru yang benar-benar memahami bahwa untuk menjadi penulis yang baik diperlukan proses yang lama. Diperlukan juga motivasi, masukan-masukan atau kritikan yang konstruktif terhadap tulisan yang telah dibuat. Sayangnya, mekanisme ini belum berjalan. Media masa pun tentu tidak pernah memberitahu mengapa tulisan seseorang tidak dimuat. Apalagi memberi masukan.
Tetapi seiring perkembangan teknologi informasi, masih ada yang bisa kita lakukan untuk mengasah keterampilan menulis kita. Bayangkanlah, bagaimana jika kita menerbitkan sendiri tulisan � tulisan kita agar bisa dibaca oleh orang di seluruh dunia? Bahkan orang-orang tidak hanya membaca tulisan kita tetapi juga mengkritisi atau memberi masukan mengenai tulisan kita. Bisakah? Melalui Blog tentu bisa.
Apakah Blog itu ? Blog adalah sebuah ruang dalam internet yang disediakan oleh sebuah domain secara gratis yang bisa kita fungsikan sebagai website pribadi. Dalam blog, kita bisa menuliskan pemikiran-pemikiran kita terhadap segala sesuatu untuk mendapatkan tanggapan dari orang yang telah membacanya. Tanggapan-tanggapan itu bisa berupa kritikan terhadap isi artikel ataupun model penulisannya atau bahkan pujian terhadap tulisan anda.
APJII melaporkan bahwa sampai akhir tahun 2007, terdapat 25 juta orang Indonesia yang menggunakan internet. Artinya, jika kita menulis dan menerbitkan tulisan kita melalui blog, akan ada banyak orang yang membaca dan memberi tanggapan terhadap tulisan itu. Tapi ingat, 25 juta itu adalah angka yang ada di Indonesia. Kalau kita membicarakan pengguna internet yang ada di seluruh dunia, tentu akan lebih banyak lagi.
Kemudian Internet World Stats December 2007 Report juga melaporkan bahwa banyak orang Indonesia yang telah memanfaatkan blog untuk menyampaikan pikiran-pikiran mereka secara tertulis. Rinciannya, terdapat 247.000 orang yang memiliki blog di blogspot, 125.000 di Wordpress dan 75.000 di penyedia blog lain. Jika seperempat saja dari pengguna blog itu menyambangi blog anda dan membaca serta mengomentari dan memberi masukan terhadap tulisan anda, bayangkanlah beberapa orang yang akan terinspirasi tulisan anda dan betapa banyak masukan positif bagi perkembangan kualitas tulisan anda.
Selain itu blog juga memotifasi anda untuk terus menulis. Begitu anda tahu bahwa ada sekian orang yang telah membaca artikel anda, semangat menulis anda akan terus terjaga. Semakin sering anda menulis semakin baik tulisan anda.
Selebihnya, saya mengharapkan bahwa guru yang telah menulis di blog kemudian membuat komunitas blogger yang akan saling membaca, saling mengkritik, saling memberi masukan terhadap tulisan-tulisan yang dibuat sesama anggota komunitas. Transformasi pemikiran yang beraneka ragam ini akan terus mengasah ketrampilan menulis guru dan juga mengasah kekritisan guru.
Maka, tunggu apalagi? Segera mendaftarlah ke Blogger.com, ke wordpress.com atau ke multiply.com untuk memiliki blog anda sendiri. Kemudian menulislah dengan merdeka. Suatu saat nanti anda akhirnya akan menemukan diri anda sebagai penulis yang jauh lebih baik.


Sunday, May 11, 2008

Mutu Pendidikan Indonesia, Diakui Dunia ( 2 )



Bagaimana dengan praktek pembelajaran di sekolah � sekolah Indonesia?. Anda akan menemukan suatu lingkungan yang benar � benar punya gairah tinggi untuk belajar. Mari kita lihat pertama dari guru � gurunya. Semua guru mempunyai jam belajar yang sangat banyak. Rata � rata seorang guru mengajar selama dua belas jam sehari. Setelah itu mereka mengasah atau menambah ilmu mereka. Perpustakaan penuh dengan guru sampai jam tujuh malam. Di sana para guru menelaah berbagai buku yang berkaitan dengan pelajaran yang mereka ampu ataupun ilmu � ilmu diluar bidang mereka. Mereka tidak hanya asyik berkutat dengan bidang ilmu mereka saja.
Sejak satu dekade terakhir, paradigma para guru telah berubah total. Sebelumnya, mereka merasa cukup dengan ilmu mereka. Tak ada kepedulian mereka terhadap ilmu di luaran. Tapi kini jauh berbeda. Ini sejak mereka mengetahui dan memahami hasil penelitian Profesor Marian Diamond. Mereka benar-benar mengikuti hasil eksperimen Profesor Marian Diamond terhadap sejumlah tikus. Dalam eksperimen itu Profesor Diamond membagi tikus-tikus yang dimilikinya ke dalam dua kelompok. Satu kelompok ditempatkan pada sebuah lingkungan yang benar-benar banya sebuah ruang kosong. Sedang kelompok yang satunya lagi ditempatkan dalam sebuah ruang yang kaya dengan mainan-mainan.
Setelah beberapa saat berada dalam ruangan, kedua kelompok tikus ini dilepaskan menuju suatu labirin yang rumit. Tikus yang berasal dari kotak kosong tanpa sesuatupun nampak kebingungan keluar dari labirin. Sedang kelompok tikus yang berasal dari kotak yang kaya dengan mainan perangsang otak, mampu keluar dari labirin itu dengan cepat. Kesimpulan Profesor dari eksperimen ini adalah bahwa otak akan mampu bekerja secara optimal saat otak itu menerima stimulasi secara intens.
Guru-guru di negeri ini, kemudian menganalogikan orang yang merasa cukup dengan ilmunya dan merasa puas bekerja dalam lingkup bidang ilmunya sebagaimana tikus yang berada di kotak yang �miskin�. Untuk menjadi orang yang berotak cemerlang seseorang harus menstimulasi otaknya dengan hal-hal baru. Hal-hal di luar kebiasaan yang telah merekan lakukan. Maka, anda tidak perlu heran ketika menyaksikan guru bahasa sedang berdiskusi dengan guru fisika mengenai Nanoteknologi dalam bahsa Inggris yang fasih. Di lain saat, anda juga menemukan seorang guru matematika berlatih dengan keras melempar cakram, dipandu oleh seorang guru olah raga. Anda juga pasti takjub ketika melihat seorang guru kesenian, di sela-sela jadwal mengajarnya, mengamati organ dalam seekor katak di laboratorium IPA.
Tetapi begitulah, tiap guru berhasrat tinggi untuk belajar hal-hal baru. Tiap menit yang berlalu pasti dipenuhi dengan aktifitas menuntut ilmu penuh ketekunan. Dalam gedung perpustakaan yang sepi seringkali seorang murid menjumpai hal-hal yang tidak lazim, yang dilakukan oleh seorang guru. Ada guru, sudah lanjut usianya, menaiki tangga untuk mendapatkan buku di rak paling atas. Sampai di atas dibuka-bukanya buku yang telah diambil untuk memastikan bahwa buku yang berada di tangannya itu adalah buku yang tepat. Tapi disaat dia membaca separagraf yang menarik hatinya dan paragraf-paragraf berikutnya tambah mengusik kengintahuannya, tanpa sadar dia telah membaca buku dengan berdiri di atas anak tangga selama berjam-jam.
Ada juga sebuah kisah yang menarik tentang seorang guru yang tengah asyik menelaah buku. Sebuah buku tebal tengah dibacanya. Beberapa jam telah dihabiskannya. Tiba-tiba saja sebuah rak buku yang kakinya keropos dimakan usia ambruk disamping tempat duduknya. Anehnya sang guru tetap tidak bergeming dari tempat duduknya. Melanjutkan sisa bukunya tanpa sadar bahwa nyawanya bisa saja terancam jika rak yang sarat dengan buku itu menimpa dirinya.
Kedua kondisi yang dialami oleh kedua guru itu adalah kondisi flow. Yaitu suatu kondisi dimana otak telah melakukan fungsinya secara optimal, sehingga hal-hal di luar itu terabaikan. Untuk mencapai keadaan flow diperlukan latiha yang berat dan lama. Seseorang perlu tekun dan mencintai apa yang dilakukannya untuk bisa meraih ini. Bahagianya, kalau seseorang bekerja dalam keadaan flow, bisa dipastikan hasil kerjanya akan luar biasa bagus. Guru-guru di negeri ini hampir delapan puluh persen telah terbiasa belajar dan bekerja dalam kondisi flow.
Sekarang mari kita tengok keadaan para pelajarnya. Tidak ada yang aneh dari para pelajar ini. Mereka tidak terjebak dalam aktifitas belajar yang terlalu ketat sehingga seolah tak ada waktu untuk melakukan hal-hal lain. Selain belajar, anak-anak muda dari sekolah di negeri ini masih bisa bersosialisasi di tempat-tempat umum bersama-sama teman sebayanya. Berolah raga juga masih meraka lakukan secara teratur. Pendeknya, para pelajar itu tidak kehilangan masa muda karena harus terus belajar dalam waktu yang lama.
Tetapi lihatlah saat mereka harus menyelesaikan tugas akademis, entah belajar untuk menghadapi ujian atau membuat laporan-laporan. Seorang siswa bisa belajar atau mengerjakan tugas selama hampir 20 jam non-stop. Hanya tersisa empat jam saja untuk tidur dan melakukan aktifitas lain. Mereka benar-benar bekerja keras tanpa keterpaksaan. Nampaknya �virus� flow juga telah menjangkiti mereka. Di saat-saat sibuk seperti ini anda akan banyak menemukan siswa yang tertidur di perpustakaan atau laboratorium. Tapi tidak lama kemudian petugas perpustakaan dan laboratorium pasti menemukan mereka dan membangunkan mereka. Para siswa itu akan berterima kasih, pergi ke kamar mandi dan kembali bekerja atau pulang jika pekerjaan mereka telah selesai.
Pemandangan menyejukkan juga bisa kita lihat di halaman sekolah yang nyaris mirip hutan kecil. Ada siswa-siswa yang duduk di rerumputan membaca buku atau mengerjakan tugas menggunakan laptop, milik sendiri atau mereka pinjam dari perpustakaan secara gratis. Ada juga sekelompok kecil siswa yang duduk di bawah pohon teduh, berdiskusi tentang suatu permasalahan. Dan di sebuah pojok ada juga sekelompok yang tengah berlatih drama atau musik. Iklim belajar yang sedemikian kondusif ini semakin meneduhkan halaman yang memang sudah teduh.
Demikian kesan saya tentang pendidikan di negeri yang diteladani negeri-negeri yang lain di berbagai belahan dunia ini. Yang saya tulis ini adalah kesan yang bisa saya tangkap. Bisa jadi ada banyak hal lain yang belum saya ketahui. Maka berkunjunglah ke negeri ini dan lihatlah dengan mata kepala anda sendiri. Bisa jadi anda akan temukan kesan-kesan lain yang belum bisa saya tangkap. Tapi, anda dan saya pasti sepakat bahwa kesan anda atau kesan saya tentang pendidikan di negeri ini adalah kesan yang benar-benar positif.
Silahkan baca sindiran saya terhadap pendidikan Indonesia di mutu pendidikan di sini.


Wednesday, May 7, 2008

Mutu Pendidikan Indonesia, Diakui Dunia ( 1 )



Semua jenjang sekolah di negeri ini memulai aktifitas pembelajarannya jam tujuh pagi. Semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing dengan tertib. Tak seorangpun yang terlambat. Tiap pagi, anak-anak sekolah itu dijemput sebuah bis yang senyaman busway. Angkutan sekolah yang mewah ini, berjalan cepat tanpa hambatan di jalur khusus. Jalur khusus yang lurus mulus. Bukan yang rusak dan berlubang di tiap sentinya.
Bis sekolah ini kemudian memasuki halaman sekolah yang lebarnya sama dengan dua kali lapangan bola. Halaman seluas itu dipenuhi dengan pohon mahoni, sawo, dan klengkeng. Pohon mangga dan durian juga ada. Tanah dimana pohon-pohon itu tumbuh, kecuali tanah untuk jalan tentunya, terdapat rumput hijau yang tebal. Rata tersebar, tidak sebagian-sebagiannya. Di bawah pohon yang rindang teduh, beberapa diantaranya, terdapat kran-kran air yang siap minum. Bebarapa tahun lalu air kran jenis ini hanya ada di Singapura, dibaca, dilihat orang-orang dari media masa. Tapi saat ini, telah ada di depan mata.
Bis berhenti cukup di halamannya. Murid � murid lalu berhamburan keluar. Menggendong tas � tas di punggung � punggung mereka dan berjalan menuju kelas. Ya, mereka berjalan saja ke arah kelas. Dengan berjalan menempuh sekian meter menuju kelas, tanpa terasa, karena dibarengi gelak tawa, canda, mereka telah berolahraga. Memasok oksigen ke otak, membantu kinerjanya agar lebih siap memproses informasi baru yang mereka dapat dari sang guru.
Demikian para murid, begitu pula sang guru. Bedanya para guru berjalan dari rumah mereka masing � masing. Tidak dari halaman sekolah. Benarkah? Untuk apa berbohong. Para guru itu berjalan dari rumah mereka, karena rumah mereka berjarak sepuluh meter saja dari komplek sekolah. Peraturan di negeri ini, ketika seseorang menjadi guru, mereka harus bersedia tinggal di rumah dinas yang disediakan oleh negara. Mereka harus tinggal di sana sampai mereka pensiun.
Meskipun bukan rumah mewah, tapi cukup besar dan luas. Ada empat kamar tidur. Satu ruang keluarga, satu ruang tamu, dapur, tiga kamar mandi, satu ruang perpustakaan lengkap dengan bukunya. Taman, ada di depan, dibelakang juga. Listrik dan air ditanggung Negara. Juga telepon. Bahkan Negara menanggung juga biaya langganan dua Koran nasional dan sambungan internet.
Guru ditempatkan dalam sebuah komplek yang berdekatan dengan sekolah agar kinerja mereka maksimal. Walaupun itu hanya salah satu faktor saja sebenarnya. Jarak yang dekat membuat guru tidak mungkin terlambat mengajar.
Rumah � rumah dinas guru selalu berpindah tangan dari seorang guru yang pensiun kepada guru yang menggantikannya. Selanjutnya, para guru pensiunan itu akan menempati rumah yang masih juga dibangunkan Negara untuk mereka. Fasilitas � fasilitas sama dengan rumah dinas dan rekening � rekening, dalam batas penggunaan tertentu, juga ditanggung oleh Negara. Cuma, bangunan � bangunan rumah bagi para pensiunan guru itu, model dan catnya tidak boleh dirubah. Ini ketentuan Negara. Bangunan rumah ini juga berada di lingkungan yang didiami penduduk dengan profesi beda � beda. Tidak sama dengan rumah dinas yang bertetanggakan sesama guru. Karena model dan warna yang sedemikian, rumah � rumah itu dijuluki sebagai Rumah Guru.
Uang pensiunan yang diterima oleh guru yang sudah purna tugas adalah dua pertiga dari jumlah gaji guru ketika masih aktif. Pendidikan anak dari seorang guru dibiayai dari harta Negara. Seorang anak guru terbebas dari biaya pendidikan sejak dari SD sampai dengan Universitas. Hanya saja, ketentuan ini berlaku dalam jangka waktu proses pendidikan yang wajar. Artinya, jika seorang anak guru belum lulus dari sebuah sekolah atau universitas setelah tiga atau empat tahun, biaya pendidikan akan dikembalikan kepada orang tua.
Anda tahu berapa gaji guru di Negara ini? Gaji guru sebulan cukup untuk biaya hidup selama tiga bulan. Guru, sangat makmur di Negara ini. Banyak anak � anak muda yang mengidamkan jadi guru kelak di kemudian hari. Para ibu menina bobokan anak � anaknya dengan nyanyian � nyanyian tentang harapan mereka agar sang anak menjadi guru. Doa � doa dilantunkan siang dan malam agar anak � anak mampu mengangkat martabat keluarga melalui profesi guru. Tapi untuk menjadi guru tidaklah mudah. Seorang pelamar harus lulusan dari sebuah universitas yang terakreditasi dan minimal mempunyai IPK tiga setengah. Ada serangkaian tes yang harus dilalui. Mulai dari tes tulis, lisan sampai praktek. Pengujinya pun tidak cukup satu. Untuk lulus tes, seorang pelamar harus mendapatkan sertifikat kelulusan dari semua penguji yang memang sudah diakui kredibilitasnya. Memang berat. Tapi ini semua dilakukan untuk menjaga mutu guru.
Tapi seorang yang telah lulus tes guru tidak serta merta menjadi guru dengan berbagai fasilitas diatas. Mereka harus menjalani masa training selama dua tahun. Masa training ini tidak kalah beratnya. Jika dalam masa training ini seseorang dinyatakan tidak layak, dia tidak akan menjadi seorang guru selamanya. Tidak sistem saudara atau titip � titipan disini. Yang benar � benar layak akan menjadi guru, yang tidak layak tidak akan menjadi guru meskipun dia adalah bagian dari keluarga yang berpengaruh ataupun kaya.
Di Negara ini tidak ada pendidikan gratis. Tapi biaya pendidikan sangat terjangkau. Seorang anak yang sangat miskinlah satu � satunya yang dapat mengenyam pendidikan gratis. Biaya yang dibayar oleh seorang murid tidak untuk membiayai sekolah. Biaya sekolah ditanggung Negara. Uang dari para murid itu digunakan untuk membeli buku � buku yang nantinya akan mengisi perpustakaan sekolah. Maka kalau anda sempat mampir di perpustakaan sekolah mana saja, saya pastikan anda akan ternganga � nganga. Perpustakaan sekolah, umumnya megah dua tiga lantai, berpendingin dan rak � raknya setinggi tiga sampai empat meter. Didalamnya terdapat juga seratusan komputer yang tersambung dengan jaringan internet. Para siswa bebas menggunakannya selama dua puluh empat jam non stop. Benar, perpustakaan buka selama dua puluh empat jam penuh. Dijaga oleh para penjaga dengan sistem shift yang disiplin.
Inilah sedikit yang bisa ditampung oleh dua lembar kertas mengenai pendidikan di negeri ini. Masih diperlukan satu rem kertas lagi untuk menuliskan keseluruhannya. Yang sedikit ini sebagai gambaran saja. Lain kali kita akan membacanya lebih jauh dan lebih lengkap. Masih tentang ini, pendidikan negeri kita yang belum ada duanya di dunia.
Silahkan baca lanjutannya di pendidikan bermutu di sini.


Saturday, May 3, 2008

Buruk Rupa? Pakailah Topeng!



Jika anda seorang lelaki yang merasa tidak tampan. Atau anda seorang wanita yang bisa dikatakan tidak cantik. Sambutlah dengan sukacita dan gembira sebuah produk paling mutakhir untuk masalah anda yang satu ini. Produk yang sangat murah, gampang membersihkan dan memakainya serta ramah lingkungan. Greenpeace tidak akan mempersoalkannya karena berbagai penelitian yang mendalam telah membuktikan bahwa produk ini tidak bermula dari hutan yang dirusak, atau pemakaian bahan bakar yang melubangi ozon. Tidak ada sumber atau aliran air yang tercemar. Seratus persen tidak berdampak pada peningkatan pemanasan global.
Produk ini juga telah dibuktikan keampuhannya oleh berjuta orang. Bisa jadi para pemakai produk ini berada di sekeliling anda. Bisa jadi anda sering berinteraksi dan bersosialisasi dengan mereka. Bahkan bisa jadi orang yang disamping anda saat ini adalah pemakainya. Tapi anda tidak mengetahuinya. Ya. Inilah keunggulan berikutnya dari produk ini. Tidak akan ada yang tahu saat anda memakainya. Anda sendiri pun lambat laun akan terbiasa memakainya sehingga seolah-olah anda tidak pernah memakainya. Anda tertarik? Bergabunglah dengan berjuta orang di luar sana yang telah lebih dulu mengenakannya. Bergabunglah untuk sebuah pengalaman baru yang tidak akan anda lupakan.
Tetapi, tunggu dulu, sebelum anda benar-benar memutuskan untuk memahami ini, ada baiknya anda mencermati hal-hal berikut ini :
Pertama, Kenali Masalah Anda
Apa definisi dari buruk rupa? Beberapa ciri berikut ini akan membantu anda mendefinisikannya :
- Jika anda tampak bodoh � bahkan anda sendiripun paham akan hal ini, karena hidung anda yang pesek atau besar dan berbentuk seperti sadel sepeda kumbang.
- Mata anda yang kelewat besar (jawa: mlorok) hingga seperti mata leak yang menonjol.
- Jika gigi anda besar-besar, tidak teratur atau tonggos dan kerap berbau kentut.
- Jika pipi anda penuh jerawat, bopengan, berpanu kurap atau korengan.
- Jika dahi anda nonong dan selebar landasan pesawat terbang.
- Mulut anda selebar mulut sumur.
Kedua, Produk ini bersifat Permanen
Begitu anda memutuskan untuk memakai produk ini, produk ini akan terpasang secara permanen dan menjadi bagian dari anda. Anda akan tidur, berdiri, berjalan, duduk, mandi, makan, minum dan buang air bersamanya. Tapi tak perlu khawatir sebab produk ini nyaman dipakai.
Ketiga, Produk ini membutuhkan adaptasi anda
Pertama anda memakai produk ini, anda akan merasakan debar jantung anda yang keras. Anda akan dilanda rasa was-was. Sulit tidur dan tidak bergairah, dalam beberapa kasus juga ditemui pengguna kehilangan nafsu makan. Tetapi ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Setelahnya anda akan merasa seperti sedia kala.
Keempat, Efektifitas produk ini berfariasi
Produk ini akan sangat efektif ketika anda berada dalam lingkungan yang menggunakan produk serupa. Walaupun anda tidak bisa mengenali orang-orang yang menggunakan produk ini, jika anda merasa tentram di suatu lingkungan, berarti anda berada di lingkungan pengguna. Tetapi jika anda merasa tidak nyaman dan resah gelisah di suatu lingkungan, berarti berada di sebuah lingkungan yang penggunanya teramat kecil atau mungkin steril dari pengguna produk. Tapi anda tidak perlu cemas sebab bisa dipastikan bahwa delapan dari sepuluh orang di sekitar anda memakai produk ini. Artinya, kemungkinan anda berkumpul bersama orang yang bukan pengguna sangat kecil.
Kelima, Terdapat banyak pilihan yang bisa dipakai
Apakah anda menginginkan lay out artis, penyanyi, atau pemain sinetron. Politisi atau pejabat, profesor atau akademisi jempolan, ahli agama atau orang-orang suci, tersedia. Semuanya tersedia komplet dan siap pakai.
Keenam, Keluhan atas penggunaan produk sangat kecil
Komplain atas produk ini hampir-hampir tidak ada. Jika produk ini mempunyai sisi cela yang berarti, pasti pengguna atas produk ini tidak akan sebanyak saat ini.
Ketujuh, Pemakaian atas produk ini bebas pajak
Anda tidak akan dibebani pajak apapun dari pemakaian produk ini. Sehingga uang anda akan tetap tersimpan di rekening-rekening bank yang anda miliki dan tidak akan berkurang untuk membiayai pajak penggunaan produk.
Kedelapan, Dalam beberapa kasus, produk ini bahkan mendatangkan uang.
Benar. Banyak pengguna yang melaporkan bahwa mereka mendapatkan uang karena menggunakan produk. Bahkan pengguna lama, telah mengumpulkan berratus ribu dari pemakaian produk ini.
Anda tertarik? Hubungi alamat berikut ini untuk mengisi formulir perjanjian dan mendapatkan produk. Proses ini tidak memakan waktu lama dan bertele-tele. Semudah membalikkan telapak tangan.
TOPENG. Jawaban bagi perkembangan zaman.
Iklan layanan maksiat ini dipersembahkan oleh :
PT. JUALLBELLI HARRGADIRRI.
Alamat :
Jl. Muka Badak No. 01, Sembarangtempat, Antarnagari.
Pemesanan tidak dapat melalui telepon, pos atau surat elektronik. Produsen tidak memiliki website apapun. Website yang mengatasnamakan produsen adalah klaim yang ilegal dan melanggar hukum.


Tags

Recent Post