Tim Uber Indonesia memang belum berhasil mengembalikan piala lambang supremasi bulu tangkis dunia itu kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tapi perjuangan tiap duta bulu tangkis kebanggaan kita itu menyisakan pelajaran.
Emosi kita terkuras saat menyaksikan final perebutan piala uber, beberapa saat lalu. Dengan bermandikan peluh, para pemain pilihan kita mencoba unggul dari tim China, negara yang sudah pernah sepuluh kali menjadi juara. Aksi serangan dan pertahanan dilakukan dengan sama sengitnya. Teriakan supporter; �Indonesia, Indonesia� dan juga nama-nama para pemain mengentalkan atmosfir perjuangan merebut kemenangan. Sesuatu yang wajar. Piala Thomas pernah singgah kembali ke tangan kita di tahun 2002 dan akhirnya direnggut lagi dari kita. Piala Uber berada dalam genggaman kita di tahun 1996 dan sampai saat ini belum juga berhasil kita rebut. Tim Uber yang berhasil masuk ke semi final, menjadi tumpuan harapan kita akan kejayaan.
Di saat-saat seperti inilah kita disatukan. Dalam momen-momen sedemikian, kita seolah disadarkan bahwa eksistensi kita sebagai sebuah negara perlu dibuktikan. Penonton yang ada di pinggiran lapangan, dan kita yang di depan televisi, memiliki emosi yang sama. Kemenangan adalah penentu martabat kita. Degup jantung kita seirama dan dalam tempo yang sama kita menahan nafas. Menunggu detik kemenangan tiba.
Sekarang marilah kita tengok pendidikan kita. Sebagaimana olahraga, pendidikan juga menentukan identitas bangsa. Prestasi-prestasi di bidang olahraga akan membuat kita disegani dunia. Begitu juga prestasi-prestasi di bidang pendidikan. Bahkan dampak dari prestasi pendidikan lebih luas lagi. Pendidikan yang maju akan meningkatkan kemakmuran bangsa.
Sayangnya, sebagaimana olahraga, kita belum melihat perbaikan yang menyentuh esensi pendidikan. Yang sering kita temui adalah, ganti menteri selalu ditandai dengan ganti kebijakan, ganti kurikulum. Kita selalu gegap gempita saat tahu bahwa indeks pendidikan kita jauh di bawah negara tetangga kita Malaysia. Tapi begitu berita itu tertelan waktu, kita lupa bahwa mutu pendidikan kita belum beranjak ke titik perbaikan. Tahun-tahun mendatang, berita miring tentang pendidikan kita kembali dilaporkan. Kita hingar-bingar lagi. Tapi kemudian, lupa lagi. Begitu seterusnya.
Kekalahan kita di perebutan piala Thomas dan Uber semestinya dievaluasi agar di waktu-waktu mendatang kita kembali merebut gelar juara. Jika kita melihat ke belakang. Apa yang dilakukan oleh Ivana Lie, oleh Haryanto Arbi. Tentunya fasilitas yang ada saat itu, tidak sebaik saat ini. Tapi mengapa kita tak sebaik Susy Susanti? Saya teringat saat Susy Susanti memenangkan piala Uber tahun 1996. Saat itu Susy kalah di set pertama, ketinggalan di set kedua, tapi akhirnya menang. Perjuangannya yang heroik membuat kita haru, dan menititikkan air mata. Saya bangga dan salut serta hormat kepada para pejuang piala Thomas dan Uber kita, keheroikan mereka di lapangan tak kalah membuat rasa haru yang luar biasa. Tapi, saya rasa wajar jika saya masih harus menahan kecewa karena kekalahan tim kita.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh EFA (Education for All) November 2007, peringkat pembangunan pendidikan kita turun dari peringkat 58 menjadi 62. Padahal peringkat Malaysia naik dari peringkat 62 menjadi 52. Laporan yang menyesakkan dada kita semua itu semakin menyudutkan kita saat pemerintah masih saja menyelenggarakan Ujian Nasional, sistem evaluasi pendidikan yang terus melahirkan kecurangan.
Dimasukkannya gaji guru kedalam anggaran pendidikan semakin menambah kekecewaan kita. Kita jadi ragu akan komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan. Berkurangnya anggaran untuk perpustakaan di saat masih banyak sekolah yang belum memiliki perpustakaan. Makin mahalnya harga buku karena mahalnya harga kertas, anak-anak kita yang terancam tertimpa bangunan sekolah yang bobrok, dan semakin mahalnya biaya masuk perguruan tinggi, bahkan yang Negeri, membuat kita khawatir kelak anak-cucu kita tidak mendapat pendidikan yang layak.
Sekali lagi, pendidikan nasional yang baik akan meningkatkan martabat bangsa. Maka mestinya, pendidikan mendapat prioritas pertama. Dukungan seluruh rakyat Indonesia untuk tim Thomas dan Uber, peluh yang terperas dari seluruh anggota tim untuk merebut kemenangan, dan jatuh-bangun mereka seharusnya menginspirasi kita semua. Menyemangati seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan pendidikan yang paling baik. Karena sebagaimana piala Thomas dan Uber, mutu pendidikan yang baik pun harus kita rebut dan perjuangkan.
Untuk membaca kondisi pendidikan Indonesia, silahkan klik mandegnya pendidikan di sini
Post a Comment