Adakah orangtua yang menyesal karena telah menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi? Ada. Seseat setelah pengumuman guru honorer yang diangkat menjadi CPNS dipasang. Setelah tersebar berita Si Suto yang sukwan guru TK diangkat. Si Nolo yang honorer guru SD diangkat. Si Dhadhap dan Waru yang bertahun-tahun berstatus GTT di SMP dan SMA diangkat menjadi bakal CPNS, seorang ibu mendatangi saya dan berkata, �Bayangkan mas, guru-guru honorer itu lho. Banyak lho yang dulu kuliahnya hanya di perguruan tinggi ecek-ecek. Masuk kuliahnya cuma formalitas. Pokoknya mau membayar SPP pasti lulus. Lha, sekarang jadi guru PNS. Mau jadi apa negara ini. Rugi dong saya menyekolahkan anak saya sampai ke luar kota. Sudah masuknya susah, lulusnya susah. Tambah lagi biayanya, besar, eee�. nanti keluar kuliah pasti susah jadi guru. Lha wong lowongannya telah diisi oleh guru-guru honor itu. Iya to? Rugi pokoknya. Rugi. Saya hanya manggut-manggut. Diam seribu bahasa. Alhamdulillah ibu itu tidak menanyakan dimana kuliah saya dulu. Karena bukan kebetulan kalau saya dulu juga hanya kuliah di sekolah tinggi ecek-ecek. Untung saja.
MORAL HAZARD
Tugas seorang guru tidaklah ringan, butuh keahlian tersendiri. Setiap guru harus mempunyai kecerdasan interpersonal. Jenis kecerdasan inilah yang akan menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Mengapa demikian? Karena guru mengajar manusia. Seorang guru kadang diterima oleh anak didiknya. Tetapi, kadang juga tidak. Taruhlah anda adalah seorang guru yang jenius. Tapi murid-murid anda tidak menyukai anda. Apakah anda akan berhasil dalam mengajar? Kemungkinannya kecil.
Selayaknya, profesi guru didapat setelah menempuh pendidikan guru yang serius dan berkualitas. Atas spesialisasi ilmu yang diampunya, guru harus mumpuni. Mestinya kita tidak lagi mendengar adanya guru text book. Tetapi selain itu, sertifikat mengajar yang mereka dapat pun harus benar-benar mewakili kemampuan yang dimiliki. Selebihnya, adalah masalah jam terbang. Masalah banyaknya pengalaman berdiri di depan kelas untuk mengajar.
Kalau saat ini marak bermunculan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang berani mengeluarkan ijazah dan sertifikat mengajar yang tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur kemampuan mengajar seorang guru, ini disebabkan kondisi masyarakat kita. Beberapa tahun terakhir, profesi guru menjadi profesi yang banyak diminati. Padahal sebelumnya banyak yang mencemooh mahasiswa ilmu keguruan. IKIP (saat itu) dipandang sebelah mata oleh anak-anak lulusan SMA. Menjadi insinyur atau pengacara adalah cita-cita yang banyak dipilih. Gengsi mereka terangkat jika mereka diterima di Fakultas Teknik atau Hukum. Menjadi guru? Amit-amit deh!. Tetapi keadaan berbalik. Ketika tiba saat dimana insinyur dan sarjana hukum pun susah mendapatkan pekerjaan, profesi guru dilirik. Berbondong-bondong mereka mencari akta IV untuk mendapatkan syarat mengajar.
Sadar dengan hal ini, banyak pihak yang kemudian membuka sekolah-sekolah untuk calon guru. Banyak yang berkualitas tapi tak sedikit yang bermutu rendah. Sayangnya, banyak juga yang memilih untuk sekolah di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang rendah mutunya. Karena biasanya mereka tidak menetapkan standar mutu yang ketat. Bersekolah di perguruan tinggi seperti ini dijamin cepat lulus.
Tapi, apakah ada ruginya bagi kita yang telah menyekolahkan anak-anak kita di sekolah tinggi yang terbaik hanya karena mereka yang telah bersekolah di sekolah tidak bermutu ternyata malah lebih cepat mendapatkan pekerjaan? Saya tunda dulu jawabannya. Hanya saja, perlu berkali-kali kita tanamkan keyakinan pada diri kita bahwa siapapun yang menjadi guru karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya sangat dia inginkan, atau siapapun juga yang menjadi guru dengan cara-cara yang tidak terpuji, sebenarnya mereka tidak akan pernah bisa mengajar dengan sepenuh hati. Sebenarnya mereka tidak memiliki moral yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengajar.
GURU YANG INSPIRATIF
Maka, apa yang akan dihasilkan oleh guru minus moral yang semestinya mereka miliki? Sering kita mendengar dan melihat banyaknya murid yang tidak disiplin, banyak membantah dan acuh tak acuh dengan kewajiban akademis mereka. Menurut anda, apa yang menyebabkan mereka seperti itu? Alasan yang seringkali dikemukakan adalah, mereka nakal atau malas itu karena dari sononya. Mereka memang demikian. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Tuhan sengaja menciptakan anak-anak itu sebagai pelengkap kehidupan. Layaknya siang yang harus bersanding dengan malam. Kalau ini yang diyakini, tidak akan ada perubahan yang terjadi pada anak-anak yang bermasalah itu. Padahal, bisa jadi mereka adalah anak-anak yang penuh bakat luar biasa.
Kalaupun mereka memang benar-benar malas atau nakal, bukankah kewajiban guru untuk mengembalikan sifat dasar mereka yang positif? Yang rajin dan baik? Saya jadi teringat paradigma yang ditawarkan oleh Stephen Covey. Paradigma itu berbunyi; Dari dalam ke luar. Murid-murid kita nakal. Kita �gregetan� dengan kemalasan mereka. Mereka itulah sumber masalah di sekolah kita. Demikian anggapan kita.
Covey melihat dari sisi lain. Nyatanya, memang anak-anak kita bengal. Tapi kita, guru mereka, punya kekuatan jiwa untuk menunjukkan bahwa sebenarnya mereka adalah anak-anak yang baik. Dan tidak sepantasnya mereka menjadi anak-anak yang menyandang tingkah laku yang akan merendahkan martabat mereka sendiri. Kita punya kemampuan untuk terus menerus menguatkan mereka bahwa mereka mampu menjadi orang-orang yang diharapkan oleh orang tua mereka dan hakikatnya oleh diri mereka sendiri.
Kemampuan kita untuk menguatkan mereka membutuhkan usaha kita untuk merubah diri kita sendiri berpikir dan bersikap positif kepada mereka dengan keikhlasan yang sepi pamrih. Inilah yang dimaksud Covey dengan paradigma dari dalam ke luar. Jika kita ingin orang lain berubah, kita harus pertama-tama yang berubah. Sikap ini akan membuka pikiran dan menerbitkan inspirasi. Sebaliknya, jika kita terus mencari-cari kesalahan mereka, tidak akan muncul dari dalam diri kita keinginan untuk merubah diri. Karena yang terpatri dalam keyakinan kita adalah bahwa mereka salah sedangkan kita pusat kebenaran. Yang terjadi, kita berada di pihak yang menyalahkan dan mereka menuding kita tidak bisa memahami mereka. Bagai lingkaran setan yang tak jelas mana ujung pangkal, permasalahan tidak akan pernah bisa teruraikan
ASKETISME
Sudahkah kita sedemikian halnya? Mau berubah sebelum menginginkan perubahan? Jangan-jangan malah tidak. Padahal, sebagaimana bunyi pepatah Arab, orang yang tidak memiliki, tidak akan dapat memberi. Belum lagi kalau menyinggung masalah keilmuan yang kita miliki. Sudah kompetenkan kita? Seorang guru saya di SD dulu ada yang sangat disegani oleh murid-murid yang pintar apalagi yang bodoh. Dihormati oleh murid-murid yang baik sekaligus yang berandalan. Apa yang dikerjakan oleh guru saya itu abadi terekam adalam benak kami sampai saat ini. Beliau orang yang sederhana tapi rapi. Tegas dan lugas. Sangat menguasai apa yang diajarkannya. Kami selalu dapat hal baru setiap kali beliau mengajar. Tekadnya yang kuat untuk terus belajar tercermin dalam sikap disiplin dan penghargaannya atas waktu. Pribadi yang menjaga martabat. Kami merasa kehilangan ketika samapai pada kami kabar tentang wafatnya.
Saat ini kita mungkin juga merasa ada yang hilang dari pribadi-pribadi guru. Tidak semua memang, tapi cukup dominan. Kita merasa bahwa sikap untuk terus belajar berangsur hilang. Kita sudah merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Umumnya, usai kuliah, usai juga aktifitas akademis. Kita tidak lagi rajin membaca, tidak lagi menulis, kita tidak lagi mendalami bidang ilmu yang kita ampu. Padahal apa yang kita pelajari dahulu akan sangat mungkin tidak lagi relevan saat ini.
Motivasi untuk terus belajar perlu selalu diperbarui. Bahkan, untuk saat ini, sepertinya seorang guru tidak cukup dengan belajar tentang hal-hal dalam bidang keilmuannya saja. Harus ada tekad yang kuat untuk juga belajar hal-hal yang baru. Karena hanya dengan itu seorang guru dapat bernilai lebih.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai aksi mengajar guru, silahkan klik di pengalaman mengajar di sini.
Post a Comment