Mengajar di Sekolah Terpencil

Awalnya, penulis berangkat mengajar ke sekolah yang berada di lapisan paling luar dari kota�tempat dimana penulis tinggal�dengan semangat meluap-luap seorang mahasiswa keguruan yang belum lama berselang lulus kuliah. Usia muda yang masih dibalut idealisme tinggi membuatnya tidak merasa lelah melewati jalanan berliku dan naik turun untuk sampai ke sekolah menengah pertama itu. Bahkan semangatnya masih saja membara ketika dia berdiri di depan kelas, mengajari cara mencari gagasan utama dari sebuah paragraf di suatu jenis teks bahasa inggris. Semangat yang seolah tidak akan pernah luntur. Setidaknya selama minggu-minggu pertama mengajar.

Pengalaman serupa sedikit banyak pasti pernah dialami oleh guru-guru yang mengajar di sekolah terpencil. Kekurang tahuan akan letak geografis sekolah, minimnya pemahaman terhadap latar belakang budaya siswa, dan faktor-faktor penentu lainnya, biasanya, membuat seorang guru yang baru kali pertama mengajar di sekolah pelosok, mengorganisir pembelajaran dan menetapkan target yang bisa dikatakan terlalu di awang-awang (baca: terlalu muluk-muluk) bagi siswa-siswa desa itu. Semangat yang luar biasa dari guru�diawal-awal mengajar�perlahan menurun ketika mengetahui tingkat partisipasi siswa yang rendah, malasnya mereka belajar, sering datang terlambat, bahkan bolos, sampai lantai kelas yang penuh lumpur di musim hujan.

Hal ini lambat laun membuat guru �ketularan� malas dan kehilangan semangat mengajar. Tertanam dalam benak para guru bahwa anak-anak desa itu memang payah. Mereka memang bodoh dari sananya. Sehingga apapun metode mengajarnya, tidak akan melahirkan hasil yang maksimal. Sejak itu, proses mengajar hanya menjadi suatu rutinitas yang dilakukan sebatas menggugurkan kewajiban.

Padahal fakta-fakta tidak selalu dapat mencerminkan realitas sebenarnya. Oleh sebab itu, semestinya, para guru yang bertugas di sekolah terpencil berusaha mengumpulkan informasi-informasi dari tiap siswanya mengenai apa-apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dikerjakan oleh seorang siswa. Yang jika semua informasi telah terkumpulkan, seorang guru dapat melakukan proses pembelajaran yang paling tepat dengan kondisi yang ada.

Umumnya, masalah-masalah yang menjadi penyebab dari minimnya tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi geografis. Daerah terpencil seringkali belum terjangkau aliran listrik. Kalaupun ada, seperti yang sering terjadi di daerah penulis, listrik seringkali padam di malam hari. Ketiadaan penerangan banyak menjadi alasan para siswa untuk tidak mengerjakan PR atau tidak belajar meskipun keesokan harinya mereka akan mendapatkan ulangan harian.

Yang juga seringkali didapati adalah banyak siswa yang harus menempuh jarak kiloan meter dengan berjalan kaki untuk sampai di lokasi sekolah. Ketika sekolah dimulai pada pukul tujuh, mereka harus sudah berangkat dari rumahnya pada pukul lima pagi. Berjalan kaki dengan membawa obor untuk menerangi jalan yang dilaluinya. Sepagi itu, tentu mereka tidak sempat untuk sarapan. Kondisi lelah setelah berjalan jauh dan perut yang masih kosong membuat mereka mengantuk dan tidak bisa berpikir optimal di jam-jam pelajaran. Keadaan bertambah berat ketika musim hujan.

Berikutnya adalah kemiskinan. Yang terakhir ini membawa akibat-akibat yang cukup serius bagi umumnya siswa-siswa di sekolah terpencil. Ketika seorang anak menyadari bahwa dirinya miskin, dia akan cenderung merasa ketakutan, cemas dan murung daripada teman sebayanya yang berkecukupan (Duncan dan Garret:1994). Maka, dimaklumi jika banyak anak-anak yang tidak berperan serta secara aktif di dalam kelas. Keadaan ekonomi keluarga membuat mereka tidak begitu percaya diri untuk ambil bagian dalam proses pembelajaran. Bila hal ini berlanjut, mekanisme belajar dari tiap siswa akan berhenti.

Kemudian, yang sering terjadi, anak-anak yang terhenti mekanisme belajarnya ini dicap sebagai anak bodoh baik secara langsung (lisan) atau tidak langsung (perlakuan). Padahal belum tentu demikian. Bisa jadi mereka hanya belum bisa memahami suatu pembahasan karena terhentinya mekanisme belajar tadi. Bukan karena mereka bodoh. Buktinya, fisikawan Indonesia, Yohanes Surya, berkeliling ke seluruh penjuru nusantara, mencari anak-anak yang cerdas untuk dilatih menghadapi perlombaan-perlombaan fisika tingkat dunia. Jika anak-anak di pelosok bodoh, tidak mungkin Yohanes Surya akan melakukan hal itu.

Celakanya, anak-anak yang dicap sebagai anak bodoh tadi kemudian melakukan tindakan-tindakan kenakalan yang merepotkan. Tekanan-tekanan psikologis dari kondisi keluarga yang miskin, kondisi geografis yang keras, dan sekolah yang tidak bersahabat, memaksa mereka untuk melakukan perilaku yang menyimpang sebagai pelarian.

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Ada beberapa cara yang sudah dipraktekkan. Cara pertama adalah dengan banyak memarahi dan menghukum anak-anak bermasalah itu demi terpeliharanya ketertiban. Dalam jangka pendek, anak-anak yang bermasalah itu nampaknya dapat ditertibkan. Mereka menjadi baik karena ketatnya peraturan. Tapi siapa berani menjamin mereka tidak akan berbuat onar di luar sekolah. Nilai akademis mereka pun tetap buruk. Seperti memangkas rumput dan tidak mencabutnya hingga ke akar-akarnya. Yang jamak diketahui, banyak memarahi dan banyak menghukum hanya akan berdampak positif sementara saja.

Cara yang kedua adalah dengan membangun hubungan yang positif dengan anak-anak bermasalah itu. Inilah pengalaman seorang guru bahasa Inggris, teman guru penulis di sekolah yang sama, dalam menghadapi muridnya yang bermasalah. Teman guru itu mengajar di kelas IX. Setiap harinya, ada saja guru kelas VIII yang mengeluhkan kelakuan seorang muridnya. Anak itu selalu berbuat keributan di sekolah: berkelahi dengan teman, mengganggu teman sebangkunya ketika pelajaran sampai berbuat tidak sopan kepada guru sering dilakukannya. Berita-berita negatif tentang anak ini sampai kepada guru bahasa Inggris IX itu. Ketika anak nakal itu akhirnya duduk di kelas IX, dia belum juga insyaf.

Berbeda dengan guru lain, guru bahasa Inggris ini tidak pernah mengeluhkan perilaku buruk murid itu. Dia memperlakukan anak itu sebagaimana memperlakukan anak-anak lain. Tidak memarahinya, tidak juga menghukumnya. Dia ramah kepadanya dan juga tertawa bersamanya. Setiap bertanya, guru itu juga bertanya kepadanya. Walaupun murid itu masih saja berbuat jelek, dia bersikap lebih kooperatif dalam pelajaran bahasa inggris.

Hingga saat ketika sang guru memberi tugas untuk mengarang tentang keluarga setiap murid dalam bahasa Inggris dan membacakannya di depan kelas. Saat anak itu membacakan karyanya yang banyak salah dalam tata bahasa tetapi bisa dimengerti, sang guru memberikan komentar yang merubah sikap negatif murid itu selanjutnya.

Dalam karyanya anak bermasalah itu menceritakan bahwa ibu dan adiknya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, lalu ayahnya menikah lagi. Dia yang tidak betah tinggal bersama ayahnya memilih tinggal bersama neneknya. Dia mengatakan bahwa dia rindu kepada ibu dan adiknya. Usai karyanya dibaca, sang guru mengatakan bahwa dia tidak menyangka kalau si murid memiliki hati yang sedemikian lembut. Sangat berbeda dengan penampilannya yang sangar. Bahkan sang guru sangat menghargai perasaan sang murid dan mengatakan bahwa setiap orang pada dasarnya mempunyai perilaku yang baik. Sejak saat itu kelakuannya berubah. Memang nilai-nilainya tidak berubah secara dramatis. Tapi jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kebanyakan orang tua siswa di sekolah terpencil, yang secara ekonomi kurang, pergi merantau untuk mencari penghidupan. Banyak siswa yang tinggal dengan kakek atau neneknya karena bapak ibunya pergi merantau. Kurangnya pengawasan orang tua membuat anak-anak itu salah bergaul dan menjadi pengacau di sekolah. Tetapi, seperti yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris di atas, selalu ada yang bisa dilakukan. Yaitu, membangun ikatan emosional yang positif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan bahkan siswa dengan staf karyawan.

Hamre dan Pianta (2005) mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah berisiko akan melahirkan hasil maksimalnya ketika guru dapat menanggapi kebutuhan, suasana hati, minat dan kemampuan siswa, dapat menciptakan suasana kelas yang positif, banyak canda ria dan kegairahan, hangat dan memperlakukan siswa secara positif, serta manajemen ruang kelas yang baik. Ketika persyaratan diatas terpenuhi, sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa bermasalah itu. Di saat itulah potensi mereka yang luar biasa muncul dan berkembang.


Post a Comment

Previous Post Next Post