Dampak Negatif Kontes Idola

Ketika SD kampung saya mengadakan lomba ala Pildacil, saya baru sadar. Ternyata acara kontes-kontesan semacam ini berpengaruh luas. Acara ini punya banyak penggemar, dan punya daya dorong yang besar agar sang penggemar menirunya. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelum lomba ala Pildacil, sebuah SMA di kota saya mengadakan lomba menyanyi ala Mama Mia. Lengkap dengan komentator dan juri vote lock segala.

Selintas, acara tiruan ini cukup menghibur. Ada anak yang lupa ditengah-tengah ceramahnya. Bahkan ada yang tidak berbicara sama sekali karena kelewat grogi. Walaupun, banyak juga yang mampu membawakannya dengan gemilang. Kepolosan anak-anak ini jadi tontonan. Mampu membuat orang tua tersenyum geli sekaligus bangga.

Sepintas lalu, acara kontes-kontesan seperti ini membawa efek yang positif. Acara ini melatih anak berani tampil di muka umum, ajang untuk menyalurkan bakat. Coba kita lihat apa yang mesti dilakukan anak untuk tampil di Pildacil, mereka berusaha menghafal ayat Al-Qur�an, Hadist-Hadist atau do�a-do�a. Bukankah ini positif? Begitu pula kontes-kontesan ala AFI. Yang disebut, acara ini mampu memfasilitasi pesertanya untuk mengekspresikan diri, memperluas pergaulan dan mengajari pentingnya kerja keras.

Bisa jadi efek-efek positif itu memang ada. Tapi tidak berlebihan kiranya jika kita katakan bahwa efek-efek positif yang ada tidak sebanding dengan dampak negatifnya. Benar, efek positif itu hanya ada di permukaanya saja. Jika kita selami secara obyektif, acara semacam ini merusak.

Dimana Sisi Rusaknya?

Tulisan ini, saya tujukan untuk kontes-kontes idola yang diikuti oleh anak seumuran SD. Kontes idola yang saya maksudkan adalah kontes-kontes seperti AFI Junior, Idola Cilik, bahkan Pildacil. Mengapa fokus saya lebih pada kontes-kontes yang diikuti anak-anak seumuran SD dan bukan, kontes-kontes yang diikuti oleh peserta yang lebih dewasa? Saya jawab, karena usia SD adalah usia-usia penting. Usia-usia yang akan sangat menentukan kehidupan selanjutnya dari seorang anak manusia.

Untuk yang pertama, mari kita renungkan dampak negatif yang hanya ada di masing-masing kontes. Lalu, pada gilirannya nanti kita akan diskusikan juga efek-efek negatif yang umumnya ada pada tiap kontes.

Setiap orang yang pernah melihat acara Idola Cilik akan tahu dampak negatifnya. Simaklah lagu-lagu yang dibawakan oleh para pesertanya. Semuanya lagu-lagu orang dewasa. Bukan cuma lirik lagu yang terlalu rumit. Melodi lagunya pun cukup kompleks untuk anak seusia mereka. Anak-anak memang bisa mengucapkan kata-kata di lagu itu. Tapi belum tentu mereka faham dengan maknanya.

Lagu-lagu ciptaan Bu Kasur atau A.T. mahmud jauh lebih tepat bagi anak-anak. Kedua, pengarang lagu anak-anak itu menulis lagu yang selaras dengan perkembangan kejiwaan seorang anak. Melodi lagu ciptaan mereka sederhana. Kata yang digunakan untuk lirik, lugas dan dipahami anak-anak. Simaklah lagu Naik Delman, Balonku atau lagu anak-anak yang lain. Bandingkan dengan lagu Sebelum Cahaya-nya Letto misalnya. Betapa bedanya.

Sekarang kita lihat gaya mereka di atas panggung. Saya pernah melihat peserta Idola Cilik yang bergoyang dangdut. Hot sekali. Pinggul dan dadanya meliuk-liuk layaknya penyanyi dangdut dewasa. Kita harus prihatin. Saat beberapa waktu lalu kita dibuat heboh dengan goyang ngebor-nya Inul, saat ini anak-anak kita ngegol tak kalah panas.

Berikutnya, perhatikan pakaian yang mereka kenakan. Anak-anak yang lugu itu tidak lagi tampak sebagai anak-anak. Bagi saya, pakaian-pakaian itu tidak pantas bagi mereka. Apakah tidak ada yang tahu bahwa pakaian pun akan berpengaruh pada kejiwaan seorang anak? Anak-anak yang awalnya nyaman berpakaian kaos, yang memudahkan mereka bergerak aktif, kini harus mengenakan pakaian yang �berat�. Pakaian orang dewasa yang �ribet�.

Pembaca, sekarang mari kita beralih ke Pildacil. Dalam kontes ini ada satu dampak negatif yang saya lihat. Begini, saya tegaskan disini bahwa tidak semua orang punya hak untuk berbicara masalah agama (baca: Islam). Yang punya hak adalah mereka yang telah mempunyai ilmu tentang agama ini secara memadai. Tetapi hal ini diabaikan oleh pengelola televisi. Mereka melihat hal ini sebagai peluang untuk memperoleh pemirsa yang sebanyak-banyaknya. Mereka menjadikan agama sebagai komoditi yang menguntungkan. Tuntunan menjadi tontonan. Sedikit banyak pemikiran ini akan menular pada anak-anak kita. Orientasi mereka belajar agama adalah untuk mendapatkan popularitas dan materi. Ini kesalahan yang besar dan fatal.

Dampak Negatif Lainnya

Inilah dampak negatif yang umum ada di tiap acara kontes-kontesan. Pertama, tiap acara kontes pasti menyertakan penggunaan SMS dari pemirsa sebagai bentuk dukungan terhadap peserta favorit. Tidak hanya sampai disini, SMS yang masuk akan diundi untuk mendapatkan hadiah jutaan rupiah. Tidakkah kita mengindahkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa SMS serupa ini sebagai bentuk judi? Anak-anak kita dalam usianya yang teramat dini telah diajari berjudi.

Kedua, apapun yang dilakukan anak-anak di panggung pasti merupakan ajaran orang dewasa di sekeliling mereka. Mulai dari pemilihan lagu, pakaian, gaya di panggung dan perkataan-perkataan mereka merupakan petunjuk dari orang tua. Tahukah kita apa dampaknya bagi anak-anak jika segala sesuatu yang mereka lakukan merupakan arahan, pilihan, dan pengaruh dari orang tua?

Stephen Covey menyebut dampak negatif dari hal di atas sebagai kodependensi. Anak-anak akan berfikir bahwa hanya pihak yang memegang otoritaslah yang berhak memutuskan apa yang harus dikerjakan. Mereka hanya akan menunggu perintah. Padahal, kita semua tahu bahwa tiap anak punya potensi untuk menjadi kreatif. Tapi semua tindakan negatif dari orang-orang dewasa telah mematikan potensi mereka untuk bertindak secara independen.

Ketiga, lagu-lagu, pakaian bahkan gaya yang ditiru habis habis dari orang dewasa membuat anak-anak kita menjadi dewasa lebih cepat. Ingatkah kita pada pepatah yang berbunyi: Perjalanan seribu mil, dimulai dengan langkah pertama? Pepatah ini mengajarkan pada kita bahwa semua yang ada di dunia ini berjalan melalui proses. Seperti anak tangga yang harus dititi satu demi satu. Jika kita tidak sabar dan ingin segera sampai dipuncak tangga dengan cara melompatinya, hal ini akan berakibat buruk. Sartono Mukadis, seorang Psikolog. Pernah menulis bahwa Seseorang kini telah memiliki pengetahuan dan kesadaran seksual di usia 12 sampai 13 tahun. Padahal 20 tahun yang lalu seseorang baru memilikinya di usia 15 sampai 17 tahun. Dan celakanya lagi, seseorang kini baru mandiri ketika berumur 23 sampai 25 tahun, padahal 20 tahun yang lalu mereka sudah mandiri ketika berumur 20 sampai 23 tahun. Siapa yang tidak menganggap ini sebagai bencana?

Solusi

Mengetahui itu semua, kita harus memperhatikan semua yang dikonsumsi oleh anak-anak kita. Selama ini kita baru memperhatikan asupan gizi pada mereka. Kita teledor dalam memperhatikan segala asupan yang akan berpengaruh pada mental mereka.

Sebagai pengganti acara TV yang belum juga membaik, kita punya banyak buku-buku bermutu, sudahkah kita kenalkan anak-anak kita pada buku-buku itu? Kalaupun bukan dengan buku masih sedikit tersisa film kartun dan tayangan-tanyangan yang baik bagi perkembangan anak-anak kita. Dampingi anak-anak kita menonton Dora the exploler atau Go Diego go. Ke dua film kartun ini bagus.

Untuk acara-acara kontes-kontesan, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak menontonnya. Mudah-mudahan anak-anak kita juga meniru perilaku kita ini. Mudah-mudahan kita tidak latah dengan membuat acara serupa itu di sekolah atau di kampung-kampung kita sendiri. Sebab, acara kontes-kontesan seperti itu, sejatinya adalah racun yang meluluhlantakkan moral dan potensi anak-anak kita.
Silahkan baca lebih lanjut mengenai dampak negatif televisi di televisi di sini.

Post a Comment

Previous Post Next Post