Latest News

Wednesday, May 28, 2008

MENYOAL PERAN LBB



Ujian Nasional diharapkan bisa menjadi media untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari dinaikkannya standar kelulusan minimal secara bertahap di setiap tahun. Dengan peningkatan standar kelulusan minimal itu, impian tentang terciptanya budaya belajar pada guru, siswa serta terbentuknya lingkungan pembelajaran yang kondusif di sekolah diharapkan akan terwujud. Celakanya, publik yang sudah terlampau lama hidup dengan pola konsumtif belum siap dengan kebijakan ini. Pola hidup konsumtiflah yang telah mengajari mereka untuk tidak perlu bersusah payah. Bahkan dalam belajar sekalipun. Karena segala sesuatu, pada zaman ini, bisa didapat dengan mudah dan cepat. Inilah zamannya untuk bisa mendapatkan semuanya secara instan!.

Keadaan ini terbaca oleh orang-orang cerdas yang dengan memukau menyulap pendidikan yang pada awalnya merupakan hak azasi setiap manusia, menjadi komoditi bisnis yang gemerlap dan relatif tak terjangkau. Untuk lebih memuluskan jalannya, mulailah digagas kemungkinan bekerjasama dengan pihak sekolah. Gayung bersambut, karena selain mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini, Guru akan terkurangi bebannya dan sekolah bisa lebih berharap akan kelulusan siswa yang seratus persen atau setidaknya mendekati angka itu.
Memang secara kasat mata LBB jauh lebih menarik dan efektif daripada sekolah. Tutor-tutor LBB tidak hanya cerdas tapi juga tampil simpatik, banyak senyum bahkan trendi dan gaul. Lebih dari itu mereka juga memberikan trik-trik jitu dalam menyelesaikan soal. Trik-trik ini melegakan hati karena, dalam menyelesaikan soal, lebih cepat dan relatif mudah. Penyelesaian soal diferensial misalnya. Guru di sekolah formal menggunakan beberapa tahap untuk bisa mendapatkan hasil akhir. Sedangkan trik � trik ampuh ini mampu menunjukkan �jalan pintas� yang tentu lebih cepat dan mudah untuk sampai dihasil akhir. Nyaman dan melegakan.
Tetapi, jika kita mau merenung beberapa saat, keuntungan finansial yang didapat sekolah, terkuranginya beban para guru dan leganya hati para siswa itu hanyalah keuntungan jangka pendek saja. Dalam jangka panjang, sesungguhnya itu adalah malapetaka. Mari kita renungkan.
Siswa yang terbiasa dengan kemudahan, bahkan dalam belajar, lambat laun akan membentuk mental yang soft (lembek). Pertanyaannya, akankah mereka kuat dalam persaingan global yang keras? Negara-negara seperti Korea, Jepang, atau Vietnam terkenal dengan kerja kerasnya. Saat ini mereka terus berkembang menjadi raksasa ekonomi Asia bahkan dunia. Bisakah pelajar kita yang soft mengejar laju mereka? Tidak. Kalau mental mereka tidak diperbaiki.
Sekarang mari kita lihat kerugian yang diakibatkan pola belajar instan bagi kinerja otak. Di Jepang dikenal istilah satori. Kosakata Jepang ini mengacu pada suatu keadaan ketika berpikir logis, imajinatif dan intuitif terjadi secara serempak. Potensi otak tereksploitasi secara maksimal pada orde ini. Sehingga hasil kerja yang didapat juga maksimal. Untuk sampai pada fase berpikir tingkat tinggi ini, orang harus bekerja keras dan mencintai apa yang dikerjakannya, melakukannya terus menerus, disiplin, tekun dan bersungguh-sungguh. Kemajuan Jepang, terwujud karena secara mayoritas pendukungnya bekerja dengan satori ini.
Di Amerika Serikat satori dikenal dengan sebutan flow. Inilah hasil penelitian Dr. Csikzentmihalyi, seorang ilmuwan, yang direkam oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berpengaruh; Emotional Intelligence, tentang flow: Dalam suatu studi terhadap 200 seniman setelah mereka lulus dari sekolah seni. Csikzentmihalyi menemukan bahwa yang menjadi pelukis-pelukis serius adalah mereka yang semasa mahasiswa menikmati kebahagiaan melukis itu sendiri. Mereka yang termotivasi memasuki sekolah seni karena mengejar mimpi ketenaran dan kekayaan, sebagian besar telah melenceng dari seni setelah lulus. Prestasi kreatif bergantung pada totalitas hati dan pikiran.
Sebagaimana penelitian ilmuwan di atas, hasil belajar paling optimal akan didapat ketika belajar sudah menjadi budaya yang mendarah daging, bukan belajar yang hanya bertujuan agar lulus ujian. Maka praktis dalam jangka panjang tak ada yang diuntungkan dari belajar instan gaya LBB ini. Untuk itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah harus sesegera mungkin dirubah agar sekolah tetap menjadi institusi yang dapat menciptakan dan mengembangkan budaya belajar. Kegiatan pembelajaran di sekolah harus dirasakan nyaman oleh para siswa. Di samping itu, membangun ikatan emosional antara sekolah dan siswa, membangun hubungan yang baik antara guru dan siswa, serta menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar mutlak segera diwujudkan dan ditingkatkan. Karena sebuah penelitian melaporkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya memuaskan, menantang, ramah dan mereka mempunyai suara dalam pembuatan keputusan.
Guru, sebagai ujung tombak pendidikan harus berani beranjak dari comfort zone (zona nyaman) mereka. Jika selama ini guru masih saja merasa nyaman dengan pola lama dalam mendidik, seperti mengancam, melecehkan, atau bahkan memukul (bullying) untuk mendisiplinkan siswa, sudah saatnya para guru mengajar dengan simpatik, memahami siswa, mendengar dan menghargai mereka. Jika selama ini guru mengajar dengan teknik yang itu-itu saja, sudah saatnya bagi guru mengadopsi teknik pengajaran terbaru yang terbukti efektif. Harus diingat bahwa apa yang efektif 30 tahun yang lalu belum tentu berguna saat ini. Memang perlu tenaga ekstra untuk meninggalkan kenyamanan kita. Tapi semoga hal ini dapat mengembalikan martabat guru yang perlahan memudar.
Untuk membaca lebih jauh mengenai dampak negatif penyelenggaraan Ujian Nasional, silahkan klik di UJIAN NASIONAL di sini.



No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post