Ujian Nasional Melanggengkan Budaya Korupsi



"Jangan ragukan itu, dan kami siap,� ujar ketua KPK, Antasari Azhar, 18 Desember yang lalu. Bapak Ketua KPK itu menegaskan telah membangun komitmen untuk terus berjuang memberantas korupsi. Dan dia tidak main-main. Sejumlah koruptor memang telah nyata-nyata ditahannya.
Pujian atas kinerja yang hebat itu bertebaran. Rasa salut dan bangga serta optimisme akan terpenuhinya harapan hilangnya korupsi dari bumi pertiwi merebak. Meskipun begitu harus diingat bahwa di negeri ini, korupsi tidaklah semacam pohon yang baru saja bertunas. Korupsi sudah menjadi layaknya pohon besar yang akarnya menghujam bumi dan daun-daun rindangnya mampu menahan sinar matahari. Pohon seperti ini tidak akan mati hanya karena dipotong dahan dan rantingnya. Perlu dibabat habis hingga ke akar-akarnya. Konsistensi dan kontinuitas tindakan pemberantasan adalah jalan tunggal agar korupsi benar-benar hilang.
Maka, betapa berat tugas KPK. Bahkan di masa-masa mendatang, tugas mereka belum tentu akan menjadi lebih ringan. Kalau di paragraf terdahulu saya menganalogikan korupsi sebagai pohon besar nan rindang. Di masa depan, korupsi akan dianalogikan sebagai sel kanker yang menjalar cepat dan memusingkan kepala. Akan ada banyak orang yang putus asa. Rakyat kecil akan menangis darah karena beban yang terus bertambah dan menghimpit hidup. Kekacauan di mana-mana. Sebentar lagi akan melahirkan chaos yang mengerikan.
Mengapa saya begitu pesimis? karena kejujuran yang menjadi benteng dari perilaku korup sekarang ini telah semakin memudar. Sebagai guru, saya juga melihat semakin tipisnya kejujuran di lembaga-lembaga pendidikan kita. Mari kita tengok pelaksanaan Ujian Nasional beberapa saat lalu. Bacalah koran, tonton televisi, dengarkanlah radio. Apakah berita-berita yang ada telah steril dari berita tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan oknum dalam pelaksanaan Ujian Nasional? Sudahkah pembaca terhormat?
Saya melihat televisi di hari pertama ujian. Ada soal yang bocor. Peserta Ujian nampaknya tenang di bangkunya masing-masing. Kelihatan serius benar menyelesaikan butir-butir soal. Tetapi dalam tenang ternyata tangannya, secara cepat dan nyaris tak terdeteksi pengawas ruangan, melempar-lemparkan gulungan kertas berisi jawaban atas sejumlah soal ujian.
Saya mendengar tentang jawaban soal ujian yang beredar di telepon seluler milik peserta ujian. HP yang telah dimatikan nada deringnya ini diselipkan di dalam kaos kaki. Tidak terlihat karena HP tipe terbaru bisa berukuran sangat tipis. SMS yang masuk bisa dirasakan dari getaran HP. Tiga empat siswa mendapatkan transferan jawaban ini. Selanjutnya, mereka bertugas untuk menyebarkannya kepada teman-teman sekelasnya.
Ironisnya, kecurangan-kecurangan seperti ini seringkali didesain oleh guru-gurunya sendiri. Ketidakjujuran telah diajarkan. Guru yang seharusnya mengajarkan ilmu, telah mengajarkan sesuatu yang akan menghancurkan martabat mereka sebagai guru dan sesuatu yang akan merusak mental para siswa. Martabat guru rusak karena siswa akan meremehkan mereka. Kata-kata mereka tidak di dengar, perintah-perintah mereka tak diindahkan. Mental siswa rusak kerena mereka akan terbiasa mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu. Mereka tidak akan tahu bahwa proses berkali lipat lebih penting daripada hasil.
Anak-anak yang sekarang menjadi peserta ujian adalah penerus-penerus kita di kemudian hari. Kalau hari ini kita dibuat begitu geram dengan banyaknya uang negara yang diselewengkan, di masa depan mungkin anak-anak itu yang akan membuat orang lain geram dengan perilaku korup mereka.
Apa yang mereka alami saat ujian nasional dan persinggungan mereka dengan bermacam birokrasi yang korup mempola pikiran mereka bahwa segala hal �bisa diatur�. Peraturan seketat apapun bisa �dibicarakan�. Bahwa, bahkan Undang-Undang sekalipun, akan tunduk pada setumpuk ratusan ribu rupiah.
Semuanya berawal dari ketidakjujuran. Dan sekali lagi kita sayangkan saat sekolah pun telah mengajarkan ketidakjujuran. Ilmu yang seharusnya menjadi �mata� bagi yang �buta�, telinga bagi yang �tuli�, dan �tangan� serta �kaki� bagi yang �lumpuh�, menjadi sekedar hiasan yang tidak akan menjadi sebab bagi perubahan dan pencerahan.
Maka, kita patut bergembira ketika ada sebuah sekolah yang membiarkan kantin sekolahnya kosong tanpa penunggu. Siswa yang jajan dibiarkan untuk menyantap makanan di kantin dan membayar harga dari makanan-makanan itu dengan meletakkan uangnya di sebuah kotak mirip kotak infak. Tidak ada yang mengawasi mereka selain diri mereka sendiri. Sekolah ini mengajarkan kejujuran dari hal-hal kecil seperti itu.
Terakhir, saya tidak mau terjebak dalam perdebatan tentang perlu tidaknya Ujian Nasional. Perdebatan mengenai hal itu sudah terlampau panjang. Hanya saja, menurut saya, kita tidak perlu melakukan rekayasa. Biarkan saja murid-murid bekerja dengan kemampuan mereka sendiri. Kalau kemudian mereka tidak lulus, pengalaman ini akan menjadi pelajaran moral yang penting bagi kehidupan mereka di kemudian hari.
Sebuah sekolah mesti tabah ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak dari murid-muridnya yang tidak lulus. Kejadian ini sebaiknya dijadikan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.
Mungkin, sekolah yang sedikit meluluskan siswanya akan dijuluki sekolah nomor dua, atau guru-gurunya akan dijuluki sebagai guru yang gagal. Tapi esensinya, ini adalah sebuah proses. Siswa-siswa yang tidak lulus akan menjadi martir. Dari siswa-siswa yang tidak lulus itu, siswa-siswa yang kelak akan menghadapi ujian, akan berusaha lebih keras dan berhati-hati. Guru-guru yang dicap gagal akan menjadi pondasi bagi pendidikan Indonesia yang lebih bermutu.
Pendidikan bermutu memang �berharga mahal� dan membutuhkan banyak �korban�. Tapi dengan begitu kita yakin bahwa anak cucu kita kelak akan lebih bangga menjadi orang Indonesia.


Post a Comment

Previous Post Next Post