Pendidikan yang Jalan di Tempat



�Tak perlu takut berjalan lambat.
Yang ditakutkan adalah diam di tempat�
- Pepatah China kuno -



"Lelaki itu bodoh luar biasa�. Demikian kalimat awal dari kisah klasik Timur Tengah yang menjadi favorit saya. Kalimat ini seolah menjadi kesimpulan akhir dari seorang yang kelak akan ditulis sejarah sebagai ulama besar yang disegani. Di masa-masa awal dari aktifitas menuntut ilmunya, lelaki dalam kisah ini memang teramat pandir. Ketika teman-teman sekelasnya sudah mampu memahami keseluruhan isi dari sebuah kitab, si pelajar pandir ini belum juga paham satu bab pun. Dia pun diolok-olok. Banyak orang yang meramalkannya sebagai lelaki tanpa masa depan intelektual yang cerah. Lambat laun, kepandiran dan olokan dari orang sekeliling membuatnya putus asa dalam menuntut ilmu. Dia keluar dari sekolah.
Bebas dari aktifitas belajar membuat lelaki ini mempunyai banyak waktu luang. Dihabiskannya waktu-waktu senggang itu untuk bermain-main dan bepergian. Berikutnya, shohibul hikayat bertutur bahwa suatu hari dia sampai pada tepian sebuah kali yang berair terjun. Duduklah ia di dekat air terjun itu sambil memandangi gerojokannya yang riuh.
Tanpa sengaja matanya menangkap tetesan-tetesan air yang jatuh di atas batu hitam yang besar. Diperhatikannya batu itu lebih seksama. Nampaklah olehnya bahwa batu itu terdapat lubang kecil di atasnya. Saat tetesan-tetesan air tadi ternyata jatuh tepat di lubang batu, pahamlah sang lelaki bahwa yang membuat lubang adalah sang air yang menetes dari ketinggian. Tetesan yang tidak seberapa itu, karena konsisten menetes di tempat yang sama, mampu melubangi batu kali yang keras.
Peristiwa yang tanpa disengaja tertangkap mata oleh sang lelaki itu, membawa dirinya pada perenungan yang dalam. �Jika air setetes demi setetes, mampu melubangi batu, tidakkah otakku menjadi tajam karena ku asah dengan ilmu setiap waktu?� Kira-kira demikian yang diucapkan sang lelaki dalam hatinya. Penemuan ini membuatnya girang luar biasa. Semangat menuntut ilmunya kembali menggelora.
Saat itu juga ia bangkit, berkemas untuk kembali ke sekolahnya dahulu. Dia kembali belajar dan belajar dengan tekun dan sabar. Hari berganti hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, ketekunan sang lelaki membuahkan hasil, kecerdasannya perlahan-lahan terkuak. Dan inilah �meskipun dalam penisbatan ini terjadi pro dan kontra- Ibnu Hajar Al Asqolani (Ibnu = Anak, Hajar = Batu) seorang ulama Islam terkemuka.
Di lain masa, tersebutlah seorang lelaki yang diperintah penguasa untuk menyelesaikan permasalahan besar yang telah berlangsung bertahun-tahun; sungai nil meluap dan membanjiri perkampungan warga. Sayang, walaupun dia telah berusaha dengan bermacam usaha, dia gagal. Disebabkan rasa takut jika kegagalannya akan membuat sang penguasa murka dan menghukumnya, lelaki ini berpura-pura gila. Lama dia melakukan sandiwara ini, tiga tahun. Celakanya, orang-orang di sekitar lelaki ini merasa takut jikalau sewaktu-waktu si lelaki gila mengamuk. Karena khawatir akan merusak keamanan, lelaki yang berpura-pura gila ini dimasukkan ke dalam ruang yang terkunci. Pada pintu yang dikunci rapat, terdapat kaca kecil yang digunakan untuk mengintai dan mengawasi dirinya. Demikianlah, beberapa saat, kehidupan yang harus dijalani sang lelaki.
Hingga akhirnya saat itu tiba. Nasib menuntun sang lelaki untuk memperhatikan fenomena optik yang terjadi dari cahaya luar ruangan yang melewati lubang kaca. Fenomena ini terus dipelajarinya hingga melahirkan teori optik yang banyak berguna bagi kehidupan manusia. Sang lelaki adalah Al Haitsam, ilmuwan Arab yang dipanggil Alhazen oleh dunia barat.
Saya terpikir dan menulis kisah kedua lelaki di atas setelah melihat begitu banyaknya guru-guru yang memberikan kunci jawaban dari soal Ujian Nasional kepada siswa-siswinya. Kecurangan ini mereka lakukan dengan dalih menolong siswa-siswi itu agar lulus. Mereka tidak tega jika siswa-siswi itu gagal.
Dalih yang sepintas manusiawi ini sebetulnya racun yang disuntikkan ke dalam mental para siswa. Kecurangan ini akan membentuk mental �mencari jalan pintas�. Ketika mental ini terbentuk, learning society atau masyarakat pembelajar tidak akan pernah terbentuk.
Dua tokoh yang saya tulis di atas mewakili banyak orang yang bermental pembelajar. Bagi orang dengan mental pembelajar, kegagalan adalah satu dari mata rantai pembelajaran. Saat belajar, ada saat ketika mereka mengalami kegagalan. Tetapi kegagalan tidak menghentikan mereka. Mereka terus belajar hingga keberhasilan menghampiri mereka.
Edison, ketika berulang kali gagal, berkata, �Saya tidak gagal, tetapi saya telah menemukan berbagai cara yang tidak mungkin efektif�. Banyak guru yang bangga murid-muridnya seratus persen lulus. Banyak siswa yang mengatakan bahwa jerih payah mereka selama ini telah terbayar. Tetapi jika yang sebenarnya hal itu adalah buah dari kecurangan, sejatinya kebanggaan mereka semu. Mental pembelajar tak pernah lahir, pendidikan jalan di tempat.


Post a Comment

Previous Post Next Post