Seorang teman guru, di kantor, mengatakan suatu pernyataan yang sangat medok. Berkata dengan dialek yang ndeso, beda dengan dialek yang sudah biasa ada. Spontan, guru lain yang mendengar, tertawa terbahak, walaupun ada yang tersenyum simpul saja, mencoba menjaga perasaan si empunya yang membuat pernyataan. Cuma, kemudian, ada seorang yang tak mampu menahan diri. Berkata beliau,� Jangan ndeso ah, medok banget.� Perkataan ini membuat guru tadi tersipu.
Kejadian serupa pasti pernah terjadi di berbagai tempat lain. Tidak hanya di kantor-kantor tentunya. Di berbagai kampus, dimana banyak mahasiswa yang berasal dari daerah, pernyataan ndeso di pandang aneh dan dijadikan olok-olok. Sesuatu yang disayangkan.
Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Demikian bunyi pepatah. Pepatah itu mengisyaratkan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Suatu kelompok, berbeda dengan kelompok yang lain. Bahkan suatu komunitas, walaupun berada di wilayah yang sama, akan berbeda dengnan komunitas yang lain. Ini sudah lazim. Dan tentu saja bukan aib.
Pebedaan diantara komunitas disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa diantaranya adalah perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan pekerjaan, dan perbedaan kebiasaan. Suatu komunitas yang berisi orang-orang dengan profesi guru, akan berbeda dengan komunitas orang-orang yang berpenghasilan sebagai pedagang atau karyawan misalnya. Kebiasaan yang dilakukan akan berpengaruh pada pola pikir dan pola tindak. Ini suatu kepastian.
Kita, mestinya, bersyukur dengan perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan itu adalah kekayaan budaya yang kita miliki. Dengan pebedaan yang ada tiap komunitas akan kenal-mengenal dengan komunitas lain. Saling mempelajari budaya yang ada diantara komunitas. Kalau ini terjadi, wawasan kita akan lebih terbuka dan meluas.
Bayangkan jika kita hanya mempunyai satu kebudayaan, tidak bermacam-macam. Betapa menjemukannya hal itu. Jika kita analogikan dengan warna, keseragaman budaya adalah warna putih atau warna hitam saja. Sedangkan keaneragaman budaya layaknya warna merah, kuning, hijau, biru dan warna-warna lain termasuk hitam dan putih, saling bersebelahan. Warna-warni. Tentu yang warna-warni lebih sedap dipandang mata daripada yang hitam atau yang putih saja. Bukankah begitu?
Kemudian, memperlakukan suatu kebudayaan lebih rendah daripada kebudayaan lain, merupakan kesalahan yang fatal. Taruhlah kita memandang bahwa kebudayaan komunitas guru lebih tinggi daripada komunitas petani. Apakah guru bisa menghentikan ketergantungannya kepada petani? Guru bisa jadi lebih luas dalam pemahaman bermacam ilmu tapi belum tentu mereka mempunyai pengetahuan empirik mengenai bertani. Jika guru memandang rendah petani hingga hal ini membuat para petani sakit hati dan mereka tidak mau menjual hasil panen mereka pada para guru, siapkah para guru menanam padi untuk mencukupi kebutuhan asasi mereka? Ini hanya permisalan. Tapi menjadi penguat akan pentingnya kesalingtergantungan.
Nah, inilah manfaat terbesar dari keaneragaman. Dengan bebagai perbedaan akan tercipta sebuah kesalingtergantungan, yang akan saling dukung, saling menguatkan. Sebagaimana batu bata yang saling jalin menjalin menjadi tembok yang kukuh.
Maka, sebenarnya kita berkepentingan untuk mempertahankan perbedaan yang ada. Cuma perlu dicatat disini, bahwa perbedaan yang perlu kita lestarikan adalah pebedaan-perbedaan yang dalam posisi boleh kita lestarikan. Sepeti dalam hal berbahasa itu tadi. Sedangkan dalam hal pendidikan, misalnya, harus tetap ada kesetaraan. Pendidikan bagi para petani, misalnya, adalah pendidikan yang akan meningkatkan hasil produksi, perbaikan distribusi dan meluasnya pasar bagi hasil produksi serta manajemen pemasarannya. Sedangkan hal-hal yang �boleh� lainnya harus tetap dilestarikan sebagai identitas budaya komunitas.
Praktek yang terjadi di kantor guru, seperti yang saya tulis diawal, merupakan upaya, entah kita sadari atau tidak, untuk mengikis identitas budaya. Upaya untuk menyeragamkan budaya dengan terlebih dulu menanamkan rasa rendah diri dengan budaya sendiri. Kalau ini terus terjadi, banyak orang yang akan mengalami krisis identitas.
Lihatlah, betapa banyak orang-orang yang menggunakan bahasa Indonesia untuk kesehariannya. Mereka meninggalkan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia memang bahasa kita juga. Tapi meninggalkan bahasa Jawa yang menjadi akar budaya sendiri adalah perbuatan yang salah. Betapa ruginya kita, jika kita kedepan tidak lagi bisa berbahasa Jawa.
Lebih memprihatinkan lagi saat kita melihat banyak orang-orang yang kebarat-baratan. Berkata-kata dengan mencampuradukkan kosa kata bahasa Indonesia dengan kosakata bahasa Inggris. Seringkali ini dilakukan untuk menegaskan identitasnya sebagai orang yang intelek. Sesuatu yang salah kaprah.
Mestinya kita besar dengan budaya kita sendiri. Seperti yang sudah sering disampaikan, kita mestinya bepikir global tapi bertindak lokal. Identitas kita menunjukkan eksistensi kita. Menanggalkan identitas asli kita membuat kita layaknya air di daun talas. Terombang-ambing dalam budaya-budaya dunia yang dahsyat. Hingga akhirnya kita hancur karenanya.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai budaya, silahkan klik konsumtifisme di sini
Post a Comment