Latest News

Wednesday, April 30, 2008

Pendidikan yang Jalan di Tempat



�Tak perlu takut berjalan lambat.
Yang ditakutkan adalah diam di tempat�
- Pepatah China kuno -



"Lelaki itu bodoh luar biasa�. Demikian kalimat awal dari kisah klasik Timur Tengah yang menjadi favorit saya. Kalimat ini seolah menjadi kesimpulan akhir dari seorang yang kelak akan ditulis sejarah sebagai ulama besar yang disegani. Di masa-masa awal dari aktifitas menuntut ilmunya, lelaki dalam kisah ini memang teramat pandir. Ketika teman-teman sekelasnya sudah mampu memahami keseluruhan isi dari sebuah kitab, si pelajar pandir ini belum juga paham satu bab pun. Dia pun diolok-olok. Banyak orang yang meramalkannya sebagai lelaki tanpa masa depan intelektual yang cerah. Lambat laun, kepandiran dan olokan dari orang sekeliling membuatnya putus asa dalam menuntut ilmu. Dia keluar dari sekolah.
Bebas dari aktifitas belajar membuat lelaki ini mempunyai banyak waktu luang. Dihabiskannya waktu-waktu senggang itu untuk bermain-main dan bepergian. Berikutnya, shohibul hikayat bertutur bahwa suatu hari dia sampai pada tepian sebuah kali yang berair terjun. Duduklah ia di dekat air terjun itu sambil memandangi gerojokannya yang riuh.
Tanpa sengaja matanya menangkap tetesan-tetesan air yang jatuh di atas batu hitam yang besar. Diperhatikannya batu itu lebih seksama. Nampaklah olehnya bahwa batu itu terdapat lubang kecil di atasnya. Saat tetesan-tetesan air tadi ternyata jatuh tepat di lubang batu, pahamlah sang lelaki bahwa yang membuat lubang adalah sang air yang menetes dari ketinggian. Tetesan yang tidak seberapa itu, karena konsisten menetes di tempat yang sama, mampu melubangi batu kali yang keras.
Peristiwa yang tanpa disengaja tertangkap mata oleh sang lelaki itu, membawa dirinya pada perenungan yang dalam. �Jika air setetes demi setetes, mampu melubangi batu, tidakkah otakku menjadi tajam karena ku asah dengan ilmu setiap waktu?� Kira-kira demikian yang diucapkan sang lelaki dalam hatinya. Penemuan ini membuatnya girang luar biasa. Semangat menuntut ilmunya kembali menggelora.
Saat itu juga ia bangkit, berkemas untuk kembali ke sekolahnya dahulu. Dia kembali belajar dan belajar dengan tekun dan sabar. Hari berganti hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, ketekunan sang lelaki membuahkan hasil, kecerdasannya perlahan-lahan terkuak. Dan inilah �meskipun dalam penisbatan ini terjadi pro dan kontra- Ibnu Hajar Al Asqolani (Ibnu = Anak, Hajar = Batu) seorang ulama Islam terkemuka.
Di lain masa, tersebutlah seorang lelaki yang diperintah penguasa untuk menyelesaikan permasalahan besar yang telah berlangsung bertahun-tahun; sungai nil meluap dan membanjiri perkampungan warga. Sayang, walaupun dia telah berusaha dengan bermacam usaha, dia gagal. Disebabkan rasa takut jika kegagalannya akan membuat sang penguasa murka dan menghukumnya, lelaki ini berpura-pura gila. Lama dia melakukan sandiwara ini, tiga tahun. Celakanya, orang-orang di sekitar lelaki ini merasa takut jikalau sewaktu-waktu si lelaki gila mengamuk. Karena khawatir akan merusak keamanan, lelaki yang berpura-pura gila ini dimasukkan ke dalam ruang yang terkunci. Pada pintu yang dikunci rapat, terdapat kaca kecil yang digunakan untuk mengintai dan mengawasi dirinya. Demikianlah, beberapa saat, kehidupan yang harus dijalani sang lelaki.
Hingga akhirnya saat itu tiba. Nasib menuntun sang lelaki untuk memperhatikan fenomena optik yang terjadi dari cahaya luar ruangan yang melewati lubang kaca. Fenomena ini terus dipelajarinya hingga melahirkan teori optik yang banyak berguna bagi kehidupan manusia. Sang lelaki adalah Al Haitsam, ilmuwan Arab yang dipanggil Alhazen oleh dunia barat.
Saya terpikir dan menulis kisah kedua lelaki di atas setelah melihat begitu banyaknya guru-guru yang memberikan kunci jawaban dari soal Ujian Nasional kepada siswa-siswinya. Kecurangan ini mereka lakukan dengan dalih menolong siswa-siswi itu agar lulus. Mereka tidak tega jika siswa-siswi itu gagal.
Dalih yang sepintas manusiawi ini sebetulnya racun yang disuntikkan ke dalam mental para siswa. Kecurangan ini akan membentuk mental �mencari jalan pintas�. Ketika mental ini terbentuk, learning society atau masyarakat pembelajar tidak akan pernah terbentuk.
Dua tokoh yang saya tulis di atas mewakili banyak orang yang bermental pembelajar. Bagi orang dengan mental pembelajar, kegagalan adalah satu dari mata rantai pembelajaran. Saat belajar, ada saat ketika mereka mengalami kegagalan. Tetapi kegagalan tidak menghentikan mereka. Mereka terus belajar hingga keberhasilan menghampiri mereka.
Edison, ketika berulang kali gagal, berkata, �Saya tidak gagal, tetapi saya telah menemukan berbagai cara yang tidak mungkin efektif�. Banyak guru yang bangga murid-muridnya seratus persen lulus. Banyak siswa yang mengatakan bahwa jerih payah mereka selama ini telah terbayar. Tetapi jika yang sebenarnya hal itu adalah buah dari kecurangan, sejatinya kebanggaan mereka semu. Mental pembelajar tak pernah lahir, pendidikan jalan di tempat.


Saturday, April 26, 2008

Ujian Nasional Melanggengkan Budaya Korupsi



"Jangan ragukan itu, dan kami siap,� ujar ketua KPK, Antasari Azhar, 18 Desember yang lalu. Bapak Ketua KPK itu menegaskan telah membangun komitmen untuk terus berjuang memberantas korupsi. Dan dia tidak main-main. Sejumlah koruptor memang telah nyata-nyata ditahannya.
Pujian atas kinerja yang hebat itu bertebaran. Rasa salut dan bangga serta optimisme akan terpenuhinya harapan hilangnya korupsi dari bumi pertiwi merebak. Meskipun begitu harus diingat bahwa di negeri ini, korupsi tidaklah semacam pohon yang baru saja bertunas. Korupsi sudah menjadi layaknya pohon besar yang akarnya menghujam bumi dan daun-daun rindangnya mampu menahan sinar matahari. Pohon seperti ini tidak akan mati hanya karena dipotong dahan dan rantingnya. Perlu dibabat habis hingga ke akar-akarnya. Konsistensi dan kontinuitas tindakan pemberantasan adalah jalan tunggal agar korupsi benar-benar hilang.
Maka, betapa berat tugas KPK. Bahkan di masa-masa mendatang, tugas mereka belum tentu akan menjadi lebih ringan. Kalau di paragraf terdahulu saya menganalogikan korupsi sebagai pohon besar nan rindang. Di masa depan, korupsi akan dianalogikan sebagai sel kanker yang menjalar cepat dan memusingkan kepala. Akan ada banyak orang yang putus asa. Rakyat kecil akan menangis darah karena beban yang terus bertambah dan menghimpit hidup. Kekacauan di mana-mana. Sebentar lagi akan melahirkan chaos yang mengerikan.
Mengapa saya begitu pesimis? karena kejujuran yang menjadi benteng dari perilaku korup sekarang ini telah semakin memudar. Sebagai guru, saya juga melihat semakin tipisnya kejujuran di lembaga-lembaga pendidikan kita. Mari kita tengok pelaksanaan Ujian Nasional beberapa saat lalu. Bacalah koran, tonton televisi, dengarkanlah radio. Apakah berita-berita yang ada telah steril dari berita tentang kecurangan-kecurangan yang dilakukan oknum dalam pelaksanaan Ujian Nasional? Sudahkah pembaca terhormat?
Saya melihat televisi di hari pertama ujian. Ada soal yang bocor. Peserta Ujian nampaknya tenang di bangkunya masing-masing. Kelihatan serius benar menyelesaikan butir-butir soal. Tetapi dalam tenang ternyata tangannya, secara cepat dan nyaris tak terdeteksi pengawas ruangan, melempar-lemparkan gulungan kertas berisi jawaban atas sejumlah soal ujian.
Saya mendengar tentang jawaban soal ujian yang beredar di telepon seluler milik peserta ujian. HP yang telah dimatikan nada deringnya ini diselipkan di dalam kaos kaki. Tidak terlihat karena HP tipe terbaru bisa berukuran sangat tipis. SMS yang masuk bisa dirasakan dari getaran HP. Tiga empat siswa mendapatkan transferan jawaban ini. Selanjutnya, mereka bertugas untuk menyebarkannya kepada teman-teman sekelasnya.
Ironisnya, kecurangan-kecurangan seperti ini seringkali didesain oleh guru-gurunya sendiri. Ketidakjujuran telah diajarkan. Guru yang seharusnya mengajarkan ilmu, telah mengajarkan sesuatu yang akan menghancurkan martabat mereka sebagai guru dan sesuatu yang akan merusak mental para siswa. Martabat guru rusak karena siswa akan meremehkan mereka. Kata-kata mereka tidak di dengar, perintah-perintah mereka tak diindahkan. Mental siswa rusak kerena mereka akan terbiasa mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu. Mereka tidak akan tahu bahwa proses berkali lipat lebih penting daripada hasil.
Anak-anak yang sekarang menjadi peserta ujian adalah penerus-penerus kita di kemudian hari. Kalau hari ini kita dibuat begitu geram dengan banyaknya uang negara yang diselewengkan, di masa depan mungkin anak-anak itu yang akan membuat orang lain geram dengan perilaku korup mereka.
Apa yang mereka alami saat ujian nasional dan persinggungan mereka dengan bermacam birokrasi yang korup mempola pikiran mereka bahwa segala hal �bisa diatur�. Peraturan seketat apapun bisa �dibicarakan�. Bahwa, bahkan Undang-Undang sekalipun, akan tunduk pada setumpuk ratusan ribu rupiah.
Semuanya berawal dari ketidakjujuran. Dan sekali lagi kita sayangkan saat sekolah pun telah mengajarkan ketidakjujuran. Ilmu yang seharusnya menjadi �mata� bagi yang �buta�, telinga bagi yang �tuli�, dan �tangan� serta �kaki� bagi yang �lumpuh�, menjadi sekedar hiasan yang tidak akan menjadi sebab bagi perubahan dan pencerahan.
Maka, kita patut bergembira ketika ada sebuah sekolah yang membiarkan kantin sekolahnya kosong tanpa penunggu. Siswa yang jajan dibiarkan untuk menyantap makanan di kantin dan membayar harga dari makanan-makanan itu dengan meletakkan uangnya di sebuah kotak mirip kotak infak. Tidak ada yang mengawasi mereka selain diri mereka sendiri. Sekolah ini mengajarkan kejujuran dari hal-hal kecil seperti itu.
Terakhir, saya tidak mau terjebak dalam perdebatan tentang perlu tidaknya Ujian Nasional. Perdebatan mengenai hal itu sudah terlampau panjang. Hanya saja, menurut saya, kita tidak perlu melakukan rekayasa. Biarkan saja murid-murid bekerja dengan kemampuan mereka sendiri. Kalau kemudian mereka tidak lulus, pengalaman ini akan menjadi pelajaran moral yang penting bagi kehidupan mereka di kemudian hari.
Sebuah sekolah mesti tabah ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak dari murid-muridnya yang tidak lulus. Kejadian ini sebaiknya dijadikan evaluasi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.
Mungkin, sekolah yang sedikit meluluskan siswanya akan dijuluki sekolah nomor dua, atau guru-gurunya akan dijuluki sebagai guru yang gagal. Tapi esensinya, ini adalah sebuah proses. Siswa-siswa yang tidak lulus akan menjadi martir. Dari siswa-siswa yang tidak lulus itu, siswa-siswa yang kelak akan menghadapi ujian, akan berusaha lebih keras dan berhati-hati. Guru-guru yang dicap gagal akan menjadi pondasi bagi pendidikan Indonesia yang lebih bermutu.
Pendidikan bermutu memang �berharga mahal� dan membutuhkan banyak �korban�. Tapi dengan begitu kita yakin bahwa anak cucu kita kelak akan lebih bangga menjadi orang Indonesia.


Friday, April 25, 2008

Kolektor Sertifikat Versus Mutu Pendidikan



Mengapa para guru harus mendapatkan sertifikasi? Jawabnya, agar mutu guru meningkat. Perbaikan mutu guru akan berdampak positif terhadap mutu pendidikan Indonesia. Peningkatan mutu pendidikan akan meningkatkan kemajuan dan kemakmuran bangsa. Secara sederhana, itulah yang menjadi landasan berpikir dari diadakannya sertifikasi bagi guru.
Kecerdasan kognitif yang memadai mutlak dimiliki oleh seorang guru. Seperti pepatah yang berbunyi : Seseorang yang tidak memiliki, tidak akan bisa memberi, bagaimana seorang guru dapat menghasilkan anak didik yang pandai kalau dirinya sendiri belum layak mendapatkan predikat �pandai�? Benar. Tapi, yang juga harus disadari, kecerdasan kognitif semata belum cukup. Seorang guru yang jenius secara kognitif belum tentu dapat melahirkan murid-murid yang pintar. Belum tentu demikian. Selama obyek yang diajar berupa manusia, aktifitas mengajar merupakan persoalan yang kompleks. Saking kompleksnya, saya yakin, penelitian atas pembelajaran akan tetap ada di sepanjang zaman.
Kemudian, kita hrus catat pula bahwa ilmu bukan suatu hal yang statis. Ilmu akan selalu dinamis. Akan selalu ada perubahan-perubahan dan variasi-variasi baru. Kedinamisan ilmu disebabkan dinamisnya kebudayaan manusia. Fakta inilah yang juga menyebabkan mengapa faktor kecerdasan kognitif semata tidak cukup. Setiap orang harus selalu meng-update ilmu pengetahuan yang dimilikinya jika tidak ingin disebut ketinggalan. Bentuknya bisa dengan ikut serta dalam berbagai seminar, pelatihan, atau workshop ini dan itu.

KOLEKTOR SERTIFIKAT
Yang lazim, seseorang yang telah mengikuti berbagai pelatihan, seminar, atau workshop akan mendapatkan selembar kertas sertifikat yang dijadikan bukti atas keikutsertaannya itu. Hanya saja, harus selalu kita ingat bahwa sertifikat digunakan hanya sebagai bukti atas keikutsertaan, keliru jika kita mengikuti bermacam-macam acara yang dapat menambah pengetahuan hanya untuk mendapatkan sertifikatnya.
Tetapi, kekeliruan itu telah umum terjadi. Betapa banyak orang yang mengumpulkan sertifikat hanya untuk menambah angkat kredit. Saat ini, tidak perlu kita tanyakan berapa banyak orang yang mengumpulkan sertifikat, yang bukan hanya untuk mendapatkan tambahan angka kredit tetapi juga untuk memenuhi persyaratan agar mendapatkan tunjangan profesi.
Saya kira tidak berlebihan, jika para guru menginginkan gaji yang besar. Selama ini guru di Indonesia disebut-sebut sebagai guru yang berpenghasilan cukup rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Rendahnya gaji guru dijadikan alasan atas rendahnya mutu pendidikan, masuk akal memang. Di tengah kenaikan harga berbagai macam kebutuhan pokok, guru harus melakukan pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh gaji yang kecil. Celakanya pekerjaan sampingan ini seringkali mengganggu pekerjaan utama (guru). Atau lebih parah lagi, pekerjaan sampingan, secara perlahan tapi pasti, menggantikan posisi pekerjaan utama. Pekerjaan utama terbelengkai, murid-murid terlantar, pendidikan jalan di tempat.
Tapi pemerintah, akhirnya merespon kondisi ini. Guru dijanjikan gaji yang besar dengan syarat mereka betul-betul profesional dalam menjalankan tugasnya. Keprofesionalan itu dibuktikan dengan, beberapa diantaranya, portofolio dan juga sertifikat atas berbagai pelatihan yang diikuti oleh guru.
Celakanya, seperti yang telah saya singgung dimuka, keikutsertaan ( beberapa guru ) dalam berbagai pelatihan hanya digunakan untuk mendapatkan sertifikat semata-mata. Informasi-informasi baru yang didapat dari pelatihan itu cenderung diabaikan. Alasan yang sering muncul adalah otak mereka sudah terlampau tua untuk mengolah informasi-informasi baru itu. Terlebih lagi mengimplementasikannya dalam bentuk praktek. Fisik pun semakin melemah.
Alasan-alasan seperti ini sering diucapkan dan diulang-ulang oleh orang yang pernah mendengarnya sehingga diterima sebagai kebenaran. Tepatnya kesalahan yang diterima sebagai kebenaran. Sebab, ada banyak contoh yang bisa digunakan untuk membantah asumsi yang mengatakan bahwa kapasitas otak akan melemah seiring bertambahnya usia.
Saya terkenang pada seorang pakar tentang Indonesia; Herbert Feith. Di tahun 1990-an, ketika usianya sudah mencapai 60 tahun, Herb mengayuh sepeda onthelnya untuk memberikan kuliah di UGM Bulak Sumur. Dan kematiannya, tanggal 15 November 2001 (usia 71 tahun) bukan karena penyakit melainkan karena tertabrak kereta api ketika dia bepergian dengan sepeda onthelnya. Di usia tuanya, Herb masih dapat berpikir jernih dan pandangan-pandangannya masih sangat tajam. Ketekunannya untuk terus belajar berpengaruh terhadap kemampuan otak dan fisiknya. Teori tentang menurunnya kecerdasan seseorang ketika mereka berusia 45 tahun tidak terjadi pada Herbert Feith.

MUTU PENDIDIKAN
Kesediaan untuk terus mempelajari hal-hal baru mutlak dilakukan oleh para guru. Di luar itu, mereka juga harus berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka secara intensif serta beradaptasi. Kesemuanya adalah langkah-langkah yang berguna untuk meng-update kinerja otak.
Berbagai macam pelatihan yang diselenggarakan bagi guru, mestinya dipandang sebagai wahana untuk membuat otak itu tetap �muda�. Sel otak manusia dirancang untuk menerima rangsangan dan berkembang karena rangsangan itu. Demikian kesimpulan profesor Meriam Diamond setelah meneliti pengaruh rangsangan terhadap perkembangan otak. Penemuan Profesor Diamond diatas menginformasikan kepada kita bahwa minimnya rangsangan, atau tidak adanya rangsangan sama sekali akan meminimalisir kinerja otak.
Kinerja otak yang baik dan terus-menerus berjalan ke kemampuan maksimumnya akan berimbas pada kinerja guru dalam mengajar dan mendidik. Mutu pendidikan yang baik dimulai dari hal ini. Selebihnya, semangat guru untuk terus belajar akan mempengaruhi siswa dalam melakukan hal serupa. Tak lama lagi, mutu pendidikan Indonesia akan diakui dunia.


Wednesday, April 23, 2008

Dampak Negatif Kontes Idola

Ketika SD kampung saya mengadakan lomba ala Pildacil, saya baru sadar. Ternyata acara kontes-kontesan semacam ini berpengaruh luas. Acara ini punya banyak penggemar, dan punya daya dorong yang besar agar sang penggemar menirunya. Bagaimana tidak? Beberapa bulan sebelum lomba ala Pildacil, sebuah SMA di kota saya mengadakan lomba menyanyi ala Mama Mia. Lengkap dengan komentator dan juri vote lock segala.

Selintas, acara tiruan ini cukup menghibur. Ada anak yang lupa ditengah-tengah ceramahnya. Bahkan ada yang tidak berbicara sama sekali karena kelewat grogi. Walaupun, banyak juga yang mampu membawakannya dengan gemilang. Kepolosan anak-anak ini jadi tontonan. Mampu membuat orang tua tersenyum geli sekaligus bangga.

Sepintas lalu, acara kontes-kontesan seperti ini membawa efek yang positif. Acara ini melatih anak berani tampil di muka umum, ajang untuk menyalurkan bakat. Coba kita lihat apa yang mesti dilakukan anak untuk tampil di Pildacil, mereka berusaha menghafal ayat Al-Qur�an, Hadist-Hadist atau do�a-do�a. Bukankah ini positif? Begitu pula kontes-kontesan ala AFI. Yang disebut, acara ini mampu memfasilitasi pesertanya untuk mengekspresikan diri, memperluas pergaulan dan mengajari pentingnya kerja keras.

Bisa jadi efek-efek positif itu memang ada. Tapi tidak berlebihan kiranya jika kita katakan bahwa efek-efek positif yang ada tidak sebanding dengan dampak negatifnya. Benar, efek positif itu hanya ada di permukaanya saja. Jika kita selami secara obyektif, acara semacam ini merusak.

Dimana Sisi Rusaknya?

Tulisan ini, saya tujukan untuk kontes-kontes idola yang diikuti oleh anak seumuran SD. Kontes idola yang saya maksudkan adalah kontes-kontes seperti AFI Junior, Idola Cilik, bahkan Pildacil. Mengapa fokus saya lebih pada kontes-kontes yang diikuti anak-anak seumuran SD dan bukan, kontes-kontes yang diikuti oleh peserta yang lebih dewasa? Saya jawab, karena usia SD adalah usia-usia penting. Usia-usia yang akan sangat menentukan kehidupan selanjutnya dari seorang anak manusia.

Untuk yang pertama, mari kita renungkan dampak negatif yang hanya ada di masing-masing kontes. Lalu, pada gilirannya nanti kita akan diskusikan juga efek-efek negatif yang umumnya ada pada tiap kontes.

Setiap orang yang pernah melihat acara Idola Cilik akan tahu dampak negatifnya. Simaklah lagu-lagu yang dibawakan oleh para pesertanya. Semuanya lagu-lagu orang dewasa. Bukan cuma lirik lagu yang terlalu rumit. Melodi lagunya pun cukup kompleks untuk anak seusia mereka. Anak-anak memang bisa mengucapkan kata-kata di lagu itu. Tapi belum tentu mereka faham dengan maknanya.

Lagu-lagu ciptaan Bu Kasur atau A.T. mahmud jauh lebih tepat bagi anak-anak. Kedua, pengarang lagu anak-anak itu menulis lagu yang selaras dengan perkembangan kejiwaan seorang anak. Melodi lagu ciptaan mereka sederhana. Kata yang digunakan untuk lirik, lugas dan dipahami anak-anak. Simaklah lagu Naik Delman, Balonku atau lagu anak-anak yang lain. Bandingkan dengan lagu Sebelum Cahaya-nya Letto misalnya. Betapa bedanya.

Sekarang kita lihat gaya mereka di atas panggung. Saya pernah melihat peserta Idola Cilik yang bergoyang dangdut. Hot sekali. Pinggul dan dadanya meliuk-liuk layaknya penyanyi dangdut dewasa. Kita harus prihatin. Saat beberapa waktu lalu kita dibuat heboh dengan goyang ngebor-nya Inul, saat ini anak-anak kita ngegol tak kalah panas.

Berikutnya, perhatikan pakaian yang mereka kenakan. Anak-anak yang lugu itu tidak lagi tampak sebagai anak-anak. Bagi saya, pakaian-pakaian itu tidak pantas bagi mereka. Apakah tidak ada yang tahu bahwa pakaian pun akan berpengaruh pada kejiwaan seorang anak? Anak-anak yang awalnya nyaman berpakaian kaos, yang memudahkan mereka bergerak aktif, kini harus mengenakan pakaian yang �berat�. Pakaian orang dewasa yang �ribet�.

Pembaca, sekarang mari kita beralih ke Pildacil. Dalam kontes ini ada satu dampak negatif yang saya lihat. Begini, saya tegaskan disini bahwa tidak semua orang punya hak untuk berbicara masalah agama (baca: Islam). Yang punya hak adalah mereka yang telah mempunyai ilmu tentang agama ini secara memadai. Tetapi hal ini diabaikan oleh pengelola televisi. Mereka melihat hal ini sebagai peluang untuk memperoleh pemirsa yang sebanyak-banyaknya. Mereka menjadikan agama sebagai komoditi yang menguntungkan. Tuntunan menjadi tontonan. Sedikit banyak pemikiran ini akan menular pada anak-anak kita. Orientasi mereka belajar agama adalah untuk mendapatkan popularitas dan materi. Ini kesalahan yang besar dan fatal.

Dampak Negatif Lainnya

Inilah dampak negatif yang umum ada di tiap acara kontes-kontesan. Pertama, tiap acara kontes pasti menyertakan penggunaan SMS dari pemirsa sebagai bentuk dukungan terhadap peserta favorit. Tidak hanya sampai disini, SMS yang masuk akan diundi untuk mendapatkan hadiah jutaan rupiah. Tidakkah kita mengindahkan fatwa MUI yang menyatakan bahwa SMS serupa ini sebagai bentuk judi? Anak-anak kita dalam usianya yang teramat dini telah diajari berjudi.

Kedua, apapun yang dilakukan anak-anak di panggung pasti merupakan ajaran orang dewasa di sekeliling mereka. Mulai dari pemilihan lagu, pakaian, gaya di panggung dan perkataan-perkataan mereka merupakan petunjuk dari orang tua. Tahukah kita apa dampaknya bagi anak-anak jika segala sesuatu yang mereka lakukan merupakan arahan, pilihan, dan pengaruh dari orang tua?

Stephen Covey menyebut dampak negatif dari hal di atas sebagai kodependensi. Anak-anak akan berfikir bahwa hanya pihak yang memegang otoritaslah yang berhak memutuskan apa yang harus dikerjakan. Mereka hanya akan menunggu perintah. Padahal, kita semua tahu bahwa tiap anak punya potensi untuk menjadi kreatif. Tapi semua tindakan negatif dari orang-orang dewasa telah mematikan potensi mereka untuk bertindak secara independen.

Ketiga, lagu-lagu, pakaian bahkan gaya yang ditiru habis habis dari orang dewasa membuat anak-anak kita menjadi dewasa lebih cepat. Ingatkah kita pada pepatah yang berbunyi: Perjalanan seribu mil, dimulai dengan langkah pertama? Pepatah ini mengajarkan pada kita bahwa semua yang ada di dunia ini berjalan melalui proses. Seperti anak tangga yang harus dititi satu demi satu. Jika kita tidak sabar dan ingin segera sampai dipuncak tangga dengan cara melompatinya, hal ini akan berakibat buruk. Sartono Mukadis, seorang Psikolog. Pernah menulis bahwa Seseorang kini telah memiliki pengetahuan dan kesadaran seksual di usia 12 sampai 13 tahun. Padahal 20 tahun yang lalu seseorang baru memilikinya di usia 15 sampai 17 tahun. Dan celakanya lagi, seseorang kini baru mandiri ketika berumur 23 sampai 25 tahun, padahal 20 tahun yang lalu mereka sudah mandiri ketika berumur 20 sampai 23 tahun. Siapa yang tidak menganggap ini sebagai bencana?

Solusi

Mengetahui itu semua, kita harus memperhatikan semua yang dikonsumsi oleh anak-anak kita. Selama ini kita baru memperhatikan asupan gizi pada mereka. Kita teledor dalam memperhatikan segala asupan yang akan berpengaruh pada mental mereka.

Sebagai pengganti acara TV yang belum juga membaik, kita punya banyak buku-buku bermutu, sudahkah kita kenalkan anak-anak kita pada buku-buku itu? Kalaupun bukan dengan buku masih sedikit tersisa film kartun dan tayangan-tanyangan yang baik bagi perkembangan anak-anak kita. Dampingi anak-anak kita menonton Dora the exploler atau Go Diego go. Ke dua film kartun ini bagus.

Untuk acara-acara kontes-kontesan, sebaiknya kita menahan diri untuk tidak menontonnya. Mudah-mudahan anak-anak kita juga meniru perilaku kita ini. Mudah-mudahan kita tidak latah dengan membuat acara serupa itu di sekolah atau di kampung-kampung kita sendiri. Sebab, acara kontes-kontesan seperti itu, sejatinya adalah racun yang meluluhlantakkan moral dan potensi anak-anak kita.
Silahkan baca lebih lanjut mengenai dampak negatif televisi di televisi di sini.

Thursday, April 17, 2008

Mengajar di Sekolah Terpencil

Awalnya, penulis berangkat mengajar ke sekolah yang berada di lapisan paling luar dari kota�tempat dimana penulis tinggal�dengan semangat meluap-luap seorang mahasiswa keguruan yang belum lama berselang lulus kuliah. Usia muda yang masih dibalut idealisme tinggi membuatnya tidak merasa lelah melewati jalanan berliku dan naik turun untuk sampai ke sekolah menengah pertama itu. Bahkan semangatnya masih saja membara ketika dia berdiri di depan kelas, mengajari cara mencari gagasan utama dari sebuah paragraf di suatu jenis teks bahasa inggris. Semangat yang seolah tidak akan pernah luntur. Setidaknya selama minggu-minggu pertama mengajar.

Pengalaman serupa sedikit banyak pasti pernah dialami oleh guru-guru yang mengajar di sekolah terpencil. Kekurang tahuan akan letak geografis sekolah, minimnya pemahaman terhadap latar belakang budaya siswa, dan faktor-faktor penentu lainnya, biasanya, membuat seorang guru yang baru kali pertama mengajar di sekolah pelosok, mengorganisir pembelajaran dan menetapkan target yang bisa dikatakan terlalu di awang-awang (baca: terlalu muluk-muluk) bagi siswa-siswa desa itu. Semangat yang luar biasa dari guru�diawal-awal mengajar�perlahan menurun ketika mengetahui tingkat partisipasi siswa yang rendah, malasnya mereka belajar, sering datang terlambat, bahkan bolos, sampai lantai kelas yang penuh lumpur di musim hujan.

Hal ini lambat laun membuat guru �ketularan� malas dan kehilangan semangat mengajar. Tertanam dalam benak para guru bahwa anak-anak desa itu memang payah. Mereka memang bodoh dari sananya. Sehingga apapun metode mengajarnya, tidak akan melahirkan hasil yang maksimal. Sejak itu, proses mengajar hanya menjadi suatu rutinitas yang dilakukan sebatas menggugurkan kewajiban.

Padahal fakta-fakta tidak selalu dapat mencerminkan realitas sebenarnya. Oleh sebab itu, semestinya, para guru yang bertugas di sekolah terpencil berusaha mengumpulkan informasi-informasi dari tiap siswanya mengenai apa-apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dikerjakan oleh seorang siswa. Yang jika semua informasi telah terkumpulkan, seorang guru dapat melakukan proses pembelajaran yang paling tepat dengan kondisi yang ada.

Umumnya, masalah-masalah yang menjadi penyebab dari minimnya tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi geografis. Daerah terpencil seringkali belum terjangkau aliran listrik. Kalaupun ada, seperti yang sering terjadi di daerah penulis, listrik seringkali padam di malam hari. Ketiadaan penerangan banyak menjadi alasan para siswa untuk tidak mengerjakan PR atau tidak belajar meskipun keesokan harinya mereka akan mendapatkan ulangan harian.

Yang juga seringkali didapati adalah banyak siswa yang harus menempuh jarak kiloan meter dengan berjalan kaki untuk sampai di lokasi sekolah. Ketika sekolah dimulai pada pukul tujuh, mereka harus sudah berangkat dari rumahnya pada pukul lima pagi. Berjalan kaki dengan membawa obor untuk menerangi jalan yang dilaluinya. Sepagi itu, tentu mereka tidak sempat untuk sarapan. Kondisi lelah setelah berjalan jauh dan perut yang masih kosong membuat mereka mengantuk dan tidak bisa berpikir optimal di jam-jam pelajaran. Keadaan bertambah berat ketika musim hujan.

Berikutnya adalah kemiskinan. Yang terakhir ini membawa akibat-akibat yang cukup serius bagi umumnya siswa-siswa di sekolah terpencil. Ketika seorang anak menyadari bahwa dirinya miskin, dia akan cenderung merasa ketakutan, cemas dan murung daripada teman sebayanya yang berkecukupan (Duncan dan Garret:1994). Maka, dimaklumi jika banyak anak-anak yang tidak berperan serta secara aktif di dalam kelas. Keadaan ekonomi keluarga membuat mereka tidak begitu percaya diri untuk ambil bagian dalam proses pembelajaran. Bila hal ini berlanjut, mekanisme belajar dari tiap siswa akan berhenti.

Kemudian, yang sering terjadi, anak-anak yang terhenti mekanisme belajarnya ini dicap sebagai anak bodoh baik secara langsung (lisan) atau tidak langsung (perlakuan). Padahal belum tentu demikian. Bisa jadi mereka hanya belum bisa memahami suatu pembahasan karena terhentinya mekanisme belajar tadi. Bukan karena mereka bodoh. Buktinya, fisikawan Indonesia, Yohanes Surya, berkeliling ke seluruh penjuru nusantara, mencari anak-anak yang cerdas untuk dilatih menghadapi perlombaan-perlombaan fisika tingkat dunia. Jika anak-anak di pelosok bodoh, tidak mungkin Yohanes Surya akan melakukan hal itu.

Celakanya, anak-anak yang dicap sebagai anak bodoh tadi kemudian melakukan tindakan-tindakan kenakalan yang merepotkan. Tekanan-tekanan psikologis dari kondisi keluarga yang miskin, kondisi geografis yang keras, dan sekolah yang tidak bersahabat, memaksa mereka untuk melakukan perilaku yang menyimpang sebagai pelarian.

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Ada beberapa cara yang sudah dipraktekkan. Cara pertama adalah dengan banyak memarahi dan menghukum anak-anak bermasalah itu demi terpeliharanya ketertiban. Dalam jangka pendek, anak-anak yang bermasalah itu nampaknya dapat ditertibkan. Mereka menjadi baik karena ketatnya peraturan. Tapi siapa berani menjamin mereka tidak akan berbuat onar di luar sekolah. Nilai akademis mereka pun tetap buruk. Seperti memangkas rumput dan tidak mencabutnya hingga ke akar-akarnya. Yang jamak diketahui, banyak memarahi dan banyak menghukum hanya akan berdampak positif sementara saja.

Cara yang kedua adalah dengan membangun hubungan yang positif dengan anak-anak bermasalah itu. Inilah pengalaman seorang guru bahasa Inggris, teman guru penulis di sekolah yang sama, dalam menghadapi muridnya yang bermasalah. Teman guru itu mengajar di kelas IX. Setiap harinya, ada saja guru kelas VIII yang mengeluhkan kelakuan seorang muridnya. Anak itu selalu berbuat keributan di sekolah: berkelahi dengan teman, mengganggu teman sebangkunya ketika pelajaran sampai berbuat tidak sopan kepada guru sering dilakukannya. Berita-berita negatif tentang anak ini sampai kepada guru bahasa Inggris IX itu. Ketika anak nakal itu akhirnya duduk di kelas IX, dia belum juga insyaf.

Berbeda dengan guru lain, guru bahasa Inggris ini tidak pernah mengeluhkan perilaku buruk murid itu. Dia memperlakukan anak itu sebagaimana memperlakukan anak-anak lain. Tidak memarahinya, tidak juga menghukumnya. Dia ramah kepadanya dan juga tertawa bersamanya. Setiap bertanya, guru itu juga bertanya kepadanya. Walaupun murid itu masih saja berbuat jelek, dia bersikap lebih kooperatif dalam pelajaran bahasa inggris.

Hingga saat ketika sang guru memberi tugas untuk mengarang tentang keluarga setiap murid dalam bahasa Inggris dan membacakannya di depan kelas. Saat anak itu membacakan karyanya yang banyak salah dalam tata bahasa tetapi bisa dimengerti, sang guru memberikan komentar yang merubah sikap negatif murid itu selanjutnya.

Dalam karyanya anak bermasalah itu menceritakan bahwa ibu dan adiknya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, lalu ayahnya menikah lagi. Dia yang tidak betah tinggal bersama ayahnya memilih tinggal bersama neneknya. Dia mengatakan bahwa dia rindu kepada ibu dan adiknya. Usai karyanya dibaca, sang guru mengatakan bahwa dia tidak menyangka kalau si murid memiliki hati yang sedemikian lembut. Sangat berbeda dengan penampilannya yang sangar. Bahkan sang guru sangat menghargai perasaan sang murid dan mengatakan bahwa setiap orang pada dasarnya mempunyai perilaku yang baik. Sejak saat itu kelakuannya berubah. Memang nilai-nilainya tidak berubah secara dramatis. Tapi jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kebanyakan orang tua siswa di sekolah terpencil, yang secara ekonomi kurang, pergi merantau untuk mencari penghidupan. Banyak siswa yang tinggal dengan kakek atau neneknya karena bapak ibunya pergi merantau. Kurangnya pengawasan orang tua membuat anak-anak itu salah bergaul dan menjadi pengacau di sekolah. Tetapi, seperti yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris di atas, selalu ada yang bisa dilakukan. Yaitu, membangun ikatan emosional yang positif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan bahkan siswa dengan staf karyawan.

Hamre dan Pianta (2005) mengatakan bahwa pembelajaran di sekolah berisiko akan melahirkan hasil maksimalnya ketika guru dapat menanggapi kebutuhan, suasana hati, minat dan kemampuan siswa, dapat menciptakan suasana kelas yang positif, banyak canda ria dan kegairahan, hangat dan memperlakukan siswa secara positif, serta manajemen ruang kelas yang baik. Ketika persyaratan diatas terpenuhi, sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa bermasalah itu. Di saat itulah potensi mereka yang luar biasa muncul dan berkembang.


Minat Baca Guru dan Siswa

If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads.� Demikian ucapan Emerson. Terjemahan bebasnya ; jika kita menjumpai seseorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, kita mestinya bertanya kira-kira buku apa yang dibacanya. Ucapan Emerson itu pastilah bukan omong kosong yang tanpa makna. Dimanapun tempat dan waktu, orang-orang yang memiliki intelektual tinggi selalu bergaul rapat dengan buku-buku.

Maka, sungguh ironis ketika kita dapati kenyataan bahwa minat baca di kalangan guru dan siswa masih sangat rendah. Laporan UNESCO statistical year book menunjukkan hal ini. Menurut UNESCO, tiras surat kabar Indonesia hanya 2,8% saja dari jumlah penduduk. Padahal indeks minimal yang ditetapatkan UNESCO adalah 10%. Sebagai perbandingan, tiras surat kabar di negara-negara maju telah mencapai 30%. Masih menurut UNESCO, Indonesia hanya menerbitkan 9 judul buku negara untuk setiap satu juta penduduk. Padahal negara maju mencetak 513 judul buku per satu juta penduduk. Betapa jauh rentang antara keduanya.

Apakah kita akan menyalahkan penerbit-penerbit buku yang hanya mencetak buku sesedikit itu? Tentu saja tidak. Pihak penerbit buku hanya menerbitkan buku sesuai permintaan pasar. Mereka tentu tidak ingin rugi dengan mencetak banyak buku yang tidak begitu laku. Umumnya, orang (Indonesia) tidak begitu rela mengeluarkan uang demi membeli buku. Sebaliknya, mereka seakan-akan tidak sadar kalau telah mengeluarkan banyak uang untuk membeli barang-barang konsumtif seperti pakaian, atau barang-barang elektronik. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat kita yang melakukan hal itu. Karena apa yang dilakukan oleh masyarakat merupakan dampak dari perkembangan global yang sedang berlangsung.

Masyarakat kita di jaman dulu mengenal istilah gethok tular, suatu frasa yang mewakili keadaan sosial masyarakat dimana suatu informasi di sebar luaskan secara lisan. Ketika masyarakat kita masih memakai tradisi ini, tekhnologi yang berkembang dengan pesat membawa mereka ke tradisi lainnya (tradisi menonton) yaitu dengan ditemukannya televisi sebagai media penyampai informasi yang lebih cepat, dan lebih akurat.

Sampai sekarang, kedua tradisi ini, tradisi lisan dan tradisi menonton masih merupakan tradisi yang paling dominan dalam masyarakat kita. Dinegara yang mempunyai masyarakat dengan minat baca tinggi, tradisi lisan dan tradisi menonton bukannya tidak ada. Cuma, di negara maju, perpindahan dari tradisi lisan ke tradisi menonton dilalui dengan tradisi membaca terlebih dahulu. Sedang di masyarakat kita, tradisi membaca belum dilalui. Maka kita tidak perlu heran jika guru atau siswa, sebagai bagian dari masyarakat, banyak yang acuh tak acuh dengan buku.

Akan tetapi, keadaan ini tidak perlu dilestarikan. Harus ada yang dilakukan sehingga kegiatan membaca menjadi kegiatan yang populer di kalangan guru dan siswa. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tetap bisa dilakukan.

Sekolah seharusnya menjadi tempat yang dapat menumbuh kembangkan minat baca. Dengan guru sebagai ujung tombaknya, setiap sekolah pasti mempunyai fasilitas untuk menggiatkan aktivitas membaca. Fasilitas itu adalah perpustakaan. Cuma, kebanyakan perpustakaan sekolah belum diperlakukan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Kebanyakan perpustakaan sekolah menempati ruangan yang sempit dan kadang pengap bahkan kumuh. Coba bandingkan dengan ruang laboratorium komputer misalnya, tentu akan jauh berbeda. Keadaan ini diperburuk dengan penataan buku yang tidak rapi dan petugas perpustakaan yang asal rekrut. Di beberapa perpustakaan, petugas yang menjaga perpustakaan adalah juga guru. Dengan demikian, jika guru sedang mengajar atau tidak masuk sekolah, secara praktis perpustakaan akan tutup.

Pemanfaatan perpustakaan sebagai tempat pengajaran juga sangat minim. Banyak pengajaran sastra yang cukup dilakukan di dalam kelas. Padahal, jika di lakukan di dalam perpustakaan pasti banyak manfaat yang bisa diambil. Ketika membahas puisi �AKU� karya Chairil Anwar, misalnya guru bisa menjelaskan bahwa banyak karya-karya Chairil Anwar yang bagus. Kemudian guru meminta para siswa untuk mencari karya-karya Chairil Anwar yang lain. Dan meminta mereka untuk menyalin satu puisi yang bagus menurut mereka. Jika hal seperti ini rutin dilakukan disetiap jenjang pendidikan, kita bisa berharap tumbuhnya minat baca di kalangan siswa.

Ketrampilan menulis merupakan hasil dari kebiasaan membaca. Walaupun untuk bisa menulis dengan baik diperlukan latihan terus menerus dan lama. Sayangnya, sebagaimana membaca, ketrampilan menulis belum secara intens dilakukan di sekolah-sekolah. Guru (Bahasa Indonesia) bisa meminta agar anak didiknya menuliskan pengalaman mereka setiap hari dalam bentuk jurnal harian, yang dikumpulkan dan diperiksa guru setiap minggu. Kemudian guru memberikan masukan teknis seputar penulisan jurnal oleh anak-anak itu. Sebab ketrampilan didapatkan dari kebiasaan yang dilakukan, tulisan siswa akan semakin mambaik dengan berjalannya waktu.

Hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan minat dan ketrampilan menulis dan membaca sekaligus adalah dengan menyelenggarakan lomba penulisan resensi buku-buku populer. Ketebalan dan tingkat kesulitan buku disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pemilihan buku-buku populer untuk diresensi, dan bahan buku-buku sastra milik pujangga-pujangga besar Indonesia. Dimaksudkan untuk lebih menggugah minat siswa untuk mengikuti perlombaan tersebut.

Guru, mau tidak mau, harus mendisiplinkan diri untuk membaca. Berat yang dirasakan dalam mengawali aktivitas ini harus dilakukan dengan bertahap. Setiap guru, ketika kuliah, pasti banyak menghabiskan waktu untuk aktivtas membaca dan menulis. Ketika ditanya, mengapa para guru tidak lagi membaca dan menulis secara kontinyu seperti ketika mereka kuliah? Biasanya jawaban yang dilontarkan adalah, karena mahalnya harga buku dan sempitnya waktu yang dimiliki mereka. Dalam menyikapi mahalnya harga buku, pemerintah mestinya mengurangi pajak dari buku atau malah menghapuskan sama sekali pajak buku itu. Dengan demikian harga buku menjadi lebih terjangkau, sedangkan tentang minimnya waktu, adalah masalah bagaimana mengatur waktu. Artinya, hal ini dikembalikan kepada masing-masing guru.

Sebagaimana yang telah dijelaskan. Azas utama dari ketrampilan menulis adalah membaca. Kesulitan utama dari menulis, seperti keringnya ide untuk menulis, bisa diuraikan dengan banyaknya aktivitas membaca buku-buku bermutu. Jika hal ini telah terlaksana secara luas, kita tidak akan mendengar lagi adanya jual beli karya tulis dikalangan guru.




Mengajarkan Membaca pada Bayi

Saya sering mendengar keluhan orang tua atau guru tentang sulitnya orang tua mengajarkan membaca pada anak-anak mereka. Telah lancar membaca. Guru-guru khawatir kalau anak-anak itu tidak juga bisa membaca dengan baik ketika sudah saatnya bagi mereka unutk menjawab pertanyaan tertulis dari sebuah teks pendek. Saya sering mendengar hal itu. Dan ketika kita tahu bahwa banyak manfaat yang dapat diambil dari membaca buku, saya menganggap masalah di atas sebagai masalah yang serius. Untuk itulah, saya menerjemahkan (dengan sedikit perubahan dan tambahan dari saya) artikel yang ditulis oleh Barbara P. Homeier, MD � ditulis pada Oktober 2005 � tentang manfaat membacakan buku pada bayi dan menyampaikannya pada anda, sidang pembaca.

MENGAPA MEMBACAKAN BUKU PADA BAYI ?
Anda bisa jadi heran dengan banyaknya manfaat dari membacakan buku kepada bayi anda. Memang bayi anda tidak paham dengan apa yang sedang anda lakukan dan mengapa anda melakukannya. Akan teapi, apakah anda akan menunggu sampai anak anda paham dengan apa yang anda katakan, sebelum anda mulai mengajak mereka berbicara ? Tentu saja tidak. Dan anda tentu saja tidak akan melewatkan nyanyian nina bobo sampai bayi anda memahami nada atau menanti mereka bisa menyusun potongan puzzle sebelum memberinya mainan.
Sejak kelahirannya, otak seorang bayi dapat melakukan banyak hal, khususnya kemampuan untuk menjaga tubuh selalu bergerak dengan semestinya, tetapi hal ini belum sepenuhnya berkembang. Jika indra bayi dirangsang dengan baik, semakin cepat perkembangan otaknya. Maka dari itu, membaca nyaring untuk bayi harus kita lakukan secara berkesinambungan karena hal ini merupakan suatu bentuk rangsangan yang penting.
Membaca nyaring dapat mengajari bayi kita cara berkomunikasi, mengenalkan konsep-konsep angka, warna dan bentuk dengan cara menyenangkan, meningkatkan kemampuan, pendengaran, memori dan kecakapan kosa kata, dan juga memberikan informasi kepada bayi tentang dunia di sekeliling mereka.
Percaya atau tidak, ketika bayi anda berumur satu tahun, mereka telah mempelajari keseluruhan bunyi yang dibutuhkan untuk berbicara dengan menggunakan bahasa kita. Semakin banyak cerita yang kita bacakan dengan nyaring, semakin banyak kata yang dikenal anak, dan kemampuannya untuk berbicara juga akan semakin baik. Mendengarkan kata akan membantu kinerja otak untuk menyimpan kata-kata itu ke dalam memorinya.
Ketika membaca, bayi anda mendengarkan anda dengan menggunakan berbagai macam emosi dan suara-suara ekspresif yang membantu perkembangan emosi dan komunikasi mereka. Membaca juga membuat mereka melakukan gerakan menunjuk-nunjuk, memandang, menyentuh dan menjawab pertanyaan. Yang kesemuanya itu merupakan pendorong berkembangnya kecakapan sosial. Bayi anda juga berkembang kecakapan berpikirnya dengan menirukan suara atau kata-kata yang berulang-ulang dan dengan mengenal berbagai bentuk. Tetapi alasan paling penting untuk membacakan buku dengan nyaring kepada bayi anda adalah bahwa anda membantu menciptakan hubungan antara apa yang disukai bayi anda (suara anda atau kedekatannya bersama anda) dengan buku. Membacakan mereka buku-buku secara berulang kali, mengajari mereka bahwa membaca buku adalah suatu hal yang sangat penting.

BEDA UMUR, BEDA TINGKATAN
Bagi yang baru beberapa minggu mungkin tidak paham makna dari berbagai bentuk yang ada di buku. Tapi mereka tetap bisa fokus pada buku, terutama pada pola-pola hitam putih. Ketika mereka memandangi buku, itu merupakan langkah awal untuk memahami gambar. Ini adalah kecakapan yang penting untuk membaca.
Antara 4 dan 6 bulan, bayi anda mulai menunjukkan rasa ketertarikannya pada buku, khususnya yang berwarna cerah dan teks yang berulang-ulang atau berirama. Mereka masih belum dapat memahami gambar-gambar tapi sekali lagi, ini adalah langkah awal untuk belajar membaca.
Setelah 6 bulan, bayi anda mulai paham bahwa suatu gambar mewakili suatu objek dan mungkin akan mengembangkan pilihan mereka terhadap gambar, halaman atau bahkan cerita. Bayi anda akan merespon ketika anda membaca, merebut buku dan menggeram dengan halus. Ketika mereka berumur 12 bulan bayi anda akan membukakan lembaran buku menunjuk gambar di buku, bahkan mungkin akan berkata �mbeek� ketika anda menunjuk gambar kambing.

KAPAN DAN BAGAIMANA MEMBACA BUKU
Membaca bukan tidak memerlukan keahlian khusus, hanya perlu buku, anda dan bayi anda. Bacalah sebentar-sebentar saja, tetapi sering. Tidak perlu menyelesaikan semua isi buku tapi fokuslah pada halaman buku yang paling disukai bayi. Luangkan waktu setiap hari untuk membaca � sebelum tidur siang atau sebelum tidur di malam hari. Selain memberikan kesenangan ketika manjaga bayi anda, membaca buku, ketika itu, juga membuat anda merasa tidak terbebani rutinitas. Hal ini akan menenangkan bayi anda dan membiasakan mereka untuk mengetahui kapan waktunya tidur.
Baik juga untuk membacakan buku di waktu-waktu lain. Ketika bayi anda kenyang, bersih dan tenang. Bawalah buku ketika anda harus menunggu, seperti ketika anda sedang antri di tempat praktek dokter atau antri di kasir toserba. Berikut ini beberapa tips untuk membacakan buku kepada bayi anda :
� Dekap bayi anda ketika anda membaca agar dia aman, hangat dan dekat dengan anda.
� Bacalah buku dengan ekspresif. Tinggikan atau rendahkan suara anda di saat yang tepat atau gunakan suara yang berbeda untuk karakter yang berbeda.
� Perhatikan betul tiap halaman. Berhentilah kadang-kadang dan tanyailah bayi anda atau beri komentar pada gambar atau teks. Misalnya, �Dimana kucingnya?� �Oh, itu dia! Kucing yang imut ya !�. Bayi anda mungkin belum bisa merespon tapi ini adalah awal untuk memahami.
� Nyanyikan sajak anak-anak, buat suara binatang yang lucu atau lambungkan dia dengan lutut anda, apapun saja yang bisa menunjukkan bahwa membaca itu menyenangkan.
� Bagi suka dan belajar dari pengulangan. Maka, jangan segan-segan untuk membaca buku yang sama berulang-ulang.
� Saat bayi anda tumbuh semakin besar, ajak mereka untuk menyentuh buku atau memegang buku dari kertas karton yang kuat. Bayi anda akan menggigiti buku itu untuk mengetahui apakah buku itu bisa dimakan atau tidak. Biarkan saja, yang penting lembaran buku itu cukup kuat sehingga tidak akan sobek dan tertelan.

BUKU YANG SEHARUSNYA DIBACA
Buku untuk bayi seharusnya memiliki teks yang sederhana dan kata-katanya banyak diulang serta gambar yang jelas. Bayi anda hanya suka mendengar suara anda, sehingga anda dapat membaca hampir semua bacaan, khususnya buku dengan nyanyian atau teks yang berirama. Ketika bayi anda semakin suka memandang segala sesuatu, pilihlah buku dengan gambar sederhana yang di latar belakangi warna-warna netral.
Saat bayi anda mulai suka merebut buku, bacakan buku yang dibuat dari kertas karton yang kuat dan berwarna cerah. Ketika bayi anda mulai merespon isi buku, beri dia buku dengan gambar-gambar bayi atau mainan. Saat bayi anda sudah bisa duduk atau makan makanan kecil, beri dia cerita sederhana mengenai kegiatan sehari-hari seperti mandi atau tidur. Saat bayi anda mulai berbicara, pilih buku yang membuat dia mengulangi kata-kata atau frase sederhana.
Buku yang ada cerminnya atau yang memiliki tekstur berbeda (berkerut, halus, kasar) juga bagus untuk anak di usia ini, juga buku lipat yang bisa disangga, atau buku vinil, buku yang dilapisi penguat yang bisa dibawa kemana saja, bahkan ke kamar mandi. Bayi suka dengan album foto dari orang-orang yang mereka kenal.
Anda harus memiliki buku yang tersebar di tiap sudut rumah agar anak-anda tumbuh menjadi anak yang suka membaca. Saat bayi anda sudah bisa merangkak untuk mengambil mainan dari kotaknya, letakkan beberapa buku di kotak mainan.
Selebihnya, pinjam juga buku yang ada di perpustakaan umum. Untuk anda, ambil juga buku yang menarik bagi anda. Anda yang senang membaca, adalah panutan terbaik bagi anak-anak anda.

PENUTUP
Saat banyak keluarga yang telah mengajak bayi-bayi mereka membaca buku. Saya yakin, tidak akan lagi terdengar keluhan tentang anak SD yang belum bisa membaca. Di tahun-tahun awal, memang seorang bayi baru bisa mendengarkan bacaan dari orang tua atau orang di sekitar mereka. Tetapi selanjutnya, dengan latihan yang menyenangkan serta minat yang besar dari si anak, anak-anak itu akan mulai membaca bukunya sendiri.
Hanya, bisa jadi sedikit ibu-ibu yang menyadari tentang banyaknya manfaat membacakan buku bagi bayi mereka. Untuk itu, peran PKK atau arisan dasawisma misalnya, harus dimaksimalkan untuk mendorong anggotanya melakukan aktivitas ini � menginformasikan, menyediakan fasilitas dan mengevaluasi. Selain itu, akses ke buku-buku bacaan bermutu pun harus ditingkatan. Buku harus terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Setiap orang harus mulai belajar menyukai aktivitas membaca dan menularkannya kepada orang lain. Jika ini terjadi, target kita yang �hanya� mengusahakan agar anak-anak kita lancar membaca sejak dini, akan menjadikan anak-anak kita lebih dari yang kita harapkan, mereka akan �gila� membaca.

Wednesday, April 9, 2008

KETERBATASAN YANG MELAHIRKAN KREATIFITAS

Lazimnya, keterbatasan akan menimbulkan banyak permasalahan. Keterbatasan (baca : kemiskinan) dituding ketika anak-anak putus sekolah. Keterbatasan adalah biang keladi dari ambruknya gedung sekolah. Keterbatasan pula yang meluruhkan semangat para pengajar, dan menggiring mereka kedalam keputus asaan. Yang jamak diyakini, keterbatasan adalah malapetaka. �Kutukan� yang mau tidak mau harus diterima dengan legowo.
Namun sejarah mencatat bahwa ada orang-orang yang tidak mundur dari tantangan keterbatasan. Mereka ini, kebanyakan dikenal zamannya sebagai orang-orang besar, tidak menyerah begitu saja. Bahkan keterbatasan yang seolah �kutukan�, bagi mereka adalah berkah yang besar. Keterbatasan seolah polesan yang membuat berkilau batu permata. Inilah Nabinya umat Islam, Muhammad. Anda akan baca di lembaran-lembaran awal kehidupan beliau sebagai belia yang telah akrab dengan keterbatasan--apa yang anda pikirkan tentang seorang yatim piatu di padang pasir yang tandus?. Tetapi, akhirnya, beliau menjadi seorang yang paling berpengaruh di dunia. Sejauh ini, tidak ada satupun ibu yang berhasil melahirkan manusia seperti beliau.
Setelah Nabi Muhammad, anda akan temukan lusinan orang-orang besar yang berlatar belakang keterbatasan. Bahkan keterbatasanlah yang membesarkan mereka. Imam Syafi�i, seorang imam mazhab, pernah mengatakan : �Tidak akan sukses mendapatkan ilmu selain orang yang mencarinya dalam keadaan miskin. Sungguh aku telah mencari kertas dan sulit untuk mendapatkannya�. Selanjutnya, silahkan anda periksa sendiri riwayat hidup Abraham Lincoln dan atau kisah hidup pengarang terkenal, Hans Christian Andersen. Anda akan mendapatkan jalan hidup yang menarik dan inspiratif dari sana.
Memang takdirlah yang menggariskan sehingga orang-orang itu dikenang dunia sebagai pribadi-pribadi besar yang pernah dilahirkan. Tapi kalau kita simak seksama, akan kita dapatkan fakta bahwa mereka mendisiplinkan diri dalam bekerja keras dan mengatur waktu. Mereka terus menerus meliatkan mental dalam melawan tekanan keterbatasan yang tak berhenti mendera. Takdir mereka sebagai orang besar adalah buah dari ketekunan dan kesabaran luar biasa yang mereka tunjukkan dan diceritakan oleh zaman kepada kita.
Orang-orang besar melihat peluang di sela-sela keterbatasan. Terus, mereka memaksimalkan peluang itu hingga dapat mengalahkan keterbatasan. Keterbatasan dan peluang bagi orang-orang besar itu bisa kita analogikan dengan dongeng Pelanduk dan Si Raja Hutan. Alkisah si pelanduk menantang singa si raja hutan berduel. Awalnya singa tidak menanggapi tantangan itu karena siapapun tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang jika pertarungan benar-benar terjadi. Tapi sang pelanduk terus saja mendesak dan berkoar bahwa dia akan mengalahkan sang raja hutan. Sebab itulah akhirnya si raja hutan menerima tantangan si pelanduk. Pelanduk meminta waktu satu bulan untuk menyiapkan dirinya melawan singa. Tiap hari si pelanduk mengurung diri di dalam rumahnya. Hanya beberapa saat saja dia keluar untuk berkeliling dan mengatakan kepada siapapun yang dia temui bahwa semakin dekat masanya bagi singa untuk menemui ajalnya. Dia membusungkan dadanya ketika mengatakan bahwa semudah membalikkan badan, semudah itu pula baginya mengalahkan si raja hutan. Isu itu semakin santer di seantero hutan dan tanpa disadari telah menjadi opini. Singa yang awalnya santai, kini penasaran dengan apa yang akan dilakukan si pelanduk untuk mengalahkannya. Lama semakin lama rasa penasaran berubah menjadi sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia lupa makan dan tidak tidur kecuali sebentar. Dahsyatnya gangguan pada pikirannya membuatnya sakit dan mati bahkan sebelum hari menggenapkan bilangannya ke jumlah satu bulan. Singa mati sebelum bertarung. Di atas kertas singa akan menang dengan mudah. Tapi tidak selalu demikian.
KETERBATASAN KITA
Teramat banyak keterbatasan dalam sistem pendidikan kita. Begitu kompleksnya hingga membuat putus asa sebagian orang. Tapi diantara keterbatasan-keterbatasan itu ada beberapa yang menonjol dan menjadi inti dari segala masalah yaitu anggaran pendidikan yang tidak juga beranjak ke angka 20% sehingga di mana-mana anda akan mendengar keluhan tentang minimnya buku pelajaran. Belajar dari mana jika tidak ada buku? Pertanyaan yang sering muncul. Tidak terbantahkan bahwa buku adalah sumber utama untuk belajar. Dan ini yang diyakini. Lalu, kalau buku saja tidak tersedia, apalagi alat-alat peraga untuk pelajaran IPA yang mahal. Yang lebih menyedihkan, kadang murid-murid belajar di dalam bangunan sekolah yang hampir ambruk.
Belum lagi kalau beralih ke masalah kesejahteraan guru. Ada guyonan yang menyatakan bahwa jika kita mendapati suatu rumah megah dan mewah di Jerman, pasti itu rumah seorang guru. Sedangkan di negeri kita ini, guru adalah akronim dari �wagu tur kuru�. Dua kata yang mewakili kondisi manusia dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Kesejahteraan guru yang kurang, banyak berdampak pada profesionalitas guru dalam mengajar. Wajar. Saya pernah membaca artikel yang ditulis oleh seorang guru untuk menggambarkan beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung. Diberinya judul artikel yang dia tulis itu dengan �Kugadaikan SK-ku�. Plesetan dari judul lagu yang pernah dipopulerkan Gombloh, �Kugadaikan Cintaku�. Ironisnya, kalaupun ada kenaikan gaji, yang biasanya belum juga mencukupi, pasti telah diawali dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Maka, gaji dinaikkan atau tidak, sama saja.
Kemudian, yang masih juga luput dari perhatian adalah guru yang mengajar di daerah pinggiran, di pegunungan yang untuk menjangkau lokasi sekolah seringkali tidak diimbangi dengan adanya sarana transportasi yang memadai atau bahkan tidak ada. Selama ini tidak ada perlakuan istimewa untuk guru yang bertugas di pinggiran kota. Padahal, jika dibandingkan dengan para guru yang bertugas di kota, guru di pinggiran jelas bekerja lebih keras. Kewajiban yang menuntut mereka untuk lebih �berpeluh� dan tanpa ada insentif tambahan yang layak, membuat mereka lebih banyak berkeluh kesah. Kita, harus maklum.
Dari sisi siswanya, sekolah di pinggiran tentu juga tidak bisa disepadankan dengan para siswa yang ada di sekolah-sekolah kota yang terjangkau dan akses atas segala sesuatu mudah. Siswa di pinggiran kebanyakan berdiam di rumah yang relatif jauh dari sekolah. Kondisi bergunung-gununglah yang membuat mereka harus berjalan kaki ke sekolah menempuh kiloan meter. Banyak dari mereka yang berangkat saat Shubuh. Hanya sempat mandi ala kadarnya tanpa sempat sarapan pagi. Kadang PR terlupa dikerjakan. Perjalanan yang jauh dan perut yang kosong menimbulkan kantuk ketika mereka diajar. Apa atau berapa yang mereka dapatkan di sekolah? Inilah keterbatasannya dan inilah tantangannya sekaligus.
PELUANGNYA BERNAMA KREATIFITAS
Saya membayangkan betapa kerasnya usaha yang dilakukan Imam Syafi�i. Saat itu tidak ada lampu listrik. Tidak tersedia transportasi yang cepat dan nyaman. Bahkan, seperti yang dikatakan Imam Syafi�i sendiri, kertas untuk mencatat ilmu pun sangat langka. Tapi toh Imam Syafi�i menjadi gudangnya ilmu yang sulit dicari tandingannya. Mungkin ada yang berkata : �Tentu saja keterbatasan yang ada di zaman Imam Syafi�i tidak menjadi masalah yang besar karena beliau dilahirkan sebagai orang yang jenius�. Tidak salah memang. Banyak riwayat-riwayat yang membuktikan hal itu. Tetapi dimanapun dan kapanpun anda akan menemukan bahwa orang-orang cerdas tetap bekerja keras untuk mencapai keunggulan. Imam Syafi�i pernah tinggal di sebuah suku yang terpencil, yang bahasa Arabnya masih orisinal untuk menguasai bahasa yang terkenal mempunyai banyak kaidah itu selama 20 tahun.
Hanya saja, penelitian mengabarkan bahwa orang-orang besar itu tidak hanya bekerja keras untuk mencapai keunggulan. Kerja keras semata tidak cukup. Orang-orang yang berpengaruh bekerja keras secara cerdas. Bekerja keras secara cerdas itulah kreatifitas. Sekarang, kreatifitas apa yang akan kita hasilkan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada?
Seorang ilmuwan, Devito, mengatakan bahwa pada dasarnya setiap orang itu kreatif. Namun, kadarnya berbeda-beda. Di setiap kelompok masyarakat pasti ada satu atau beberapa orang yang memiliki kreatifitas menonjol. Secara umum diyakini bahwa kreatifitas lahir sebagai jawaban atas hambatan dan keterbatasan yang ada di sekitarnya. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat dasar untuk bertahan hidup akan memandang hambatan atau keterbatasan sebagai sesuatu yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Untuk itulah dia berupaya agar bertahan hidup.
Maka, bisa dikatakan bahwa kreatifitas �berhutang budi� pada hambatan dan keterbatasan. Keterbatasanlah yang melahirkan kreatifitas. Bisa jadi tanpa hambatan, kreatifitas tidak akan lahir. Bagaimana jika Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya, mulai dari kompor gas sampai komputer yang canggih sejak jaman batu? Saya tidak akan yakin kalau kita saat ini akan dapat menemukan sesuatu yang lebih canggih lagi. Silahkan anda baca informasi-informasi mengenai penemuan berbagai teknologi. Anda akan temukan bahwa bahkan sesuatu yang sepele sekalipun ditemukan setelah proses yang panjang. Ditemukan setelah diawali berbagai penemuan yang lain. Pisau silet, misalnya. Selanjutnya bagaimana dengan sepeda. Alat yang jauh lebih kompleks daripada pisau silet. Bagaimana dengan sepeda motor, bagaimana dengan mobil? Berapa penemuan yang dihasilkan sebelum terciptanya komputer yang canggih seperti sekarang? Banyak sekali.
Maka, camkanlah, kreatifitas sangat bergantung pada keterbatasan. Ada pameo yang mengatakan tentang bisnis keluarga bahwa bisnis keluarga dirintis oleh generasi pertama, dikembangkan oleh generasi kedua dan dihancurkan oleh generasi ketiga. Mengapa demikian? Karena biasanya generasi ketiga ini telah hidup dalam kondisi yang teramat berkecukupan sehingga mereka abai dengan kerja keras dan cenderung bermalas-malasan. Bisnispun runtuh.
Dengan demikian, mestinya, keterbatasan dalam pendidikan yang kita temui melahirkan kreatifitas. Kita semua berpotensi menjadi kreatif. Secara intelektual, kita, para guru, mempunyai kecakapan yang memadai. Yang kita perlukan adalah motivasi dan komitmen yang kuat untuk mendapatkan pemecahan atas berbagai keterbatasan yang ada. Jika ilmu pengetahuan adalah suluh bagi kehidupan, maka profesi guru adalah sebuah profesi yang teramat sangat bermartabat. Para guru harus sadar atau disadarkan bahwa profesi mereka adalah profesi terhormat yang, sekali lagi, teramat sangat bermartabat. Walaupun mereka harus hidup dari gaji yang kecil, martabat sebagai guru tidaklah membuatnya rendah dibanding profesi lain.
Terakhir, mungkin anda tidak sependapat dengan saya atau anda akan mencerca saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Mungkin anda berkata, �Oke, mungkin yang anda tulis dengan panjang lebar itu benar. Tapi apakah anda juga mempunyai solusi yang aplikatif untuk berbagai keterbatasan yang kita temui?� Saya akan jawab bahwa saya hanya mengetengahkan suatu paradigma untuk menyikapi keterbatasan-keterbatasan dalam sistem pendidikan kita. Saya tidak menawarkan solusi aplikatif di sini. Dengan demikian, kalau anda mendesak saya, saya akan berkata, �Carilah sendiri jawabannya. Anda memilikinya.�



SELINGKUH

Namaku Abdi Nagari, guru Biologi di SMP pelosok yang jauh. Aku sudah menikah dengan seorang perempuan tetangga desa yang berpostur tinggi. Darinya kudapatkan dua anak. Dua-duanya pria dan dua-duanya masih balita saat ini. Yang tampak, keluarga kami bahagia dan baik-baik saja. Tapi yang sebenarnya, tidak sedemikian halnya. Ada rahasia yang kusembunyikan rapat dari keluargaku itu. Sepertinya, aku tidak lagi mencintai istriku.

Aku tidak tahu kapan persisnya hal itu bermula. Seakan-akan rasa cintaku pada ibunya anak-anak hilang begitu saja. Wanita yang pernah kuperebutkan bersama lima pria lain itu, kini seolah tak ada lagi maknanya bagiku. Layaknya debu yang diterbangkan angin saja. Memang, kami masih sering berbelanja atau bersepeda berdua. Selepas isya�, rutinlah kami duduk-duduk di teras depan. Ngobrol sembari menikmati secangkir kopi panas kesukaan kami. Tapi seperti yang telah kukatakan, semuanya itu tidak lagi terdapat rasa. Hambar saja kukira. Tidak seperti waktu dahulu.

Dulu, sekali-kali aku marah pada istriku. Marah atas keteledorannya menjaga buah hati yang kusayangi. Anak yang terpeleset jatuh atau yang tersayat pisau tangannya hingga menangis melolong-lolong membuat tetangga kanan kiri tergopoh-gopoh datang menanyakan. Naik darahlah aku padanya. Hanya, setelah itu, kembalilah semua seperti sedia kala. Seolah aku tidak pernah marah, layaknya istriku tak pernah salah.

Banyak kali pula aku marah karena keadaan rumah yang berantakan. Mirip kapal pecah. Disana-sini mainan anak-anak, potongan-potongan kertas, bahkan ompol si bungsu yang belum juga dibersihkan. Wajar kuanggap kalau aku marah. Lelah aku pulang dari Sekolah. Lelah badan, lelah juga pikiran, kok seperti demikian keadaan rumah. Namun, setelah reda marah, aku sendirilah yang merapi-bersihkan rumah. Sambil menyanyi-nyanyi pula.

Marahku di waktu lampau, marah yang biasa juga dilakukan banyak orang. Tapi sekarang, sedikit-sedikit aku jengkel padanya. Apa yang dilakukan wanita itu hingga sayur kurang asin? Kok tidak pintar dia menyertrika. Baju seragam tak licin-licin juga. Tak nyaman dipakai, tidak sedap dipandang. Kalau sudah demikian, kubentak-bentak ia. Dia musti diam. Jika ia berkicau menyahut kataku, kubanting pintu dan pergi semalaman. Biar tahu rasa.

Yah, mestinya hal-hal sepele seperti itu mestinya tak membuatku marah-marah. Cukuplah menggerutu kecil atau menghela nafas panjang tanda tak senang. Tapi itulah, masalahnya bukan Cuma karena sayur yang kurang asin atau baju yang kurang licin. Tapi masalahnya, aku tidak lagi mencintainya.

Kian hari, kian aku muak dengannya. Kurasa rumah tidak juga rapi. Masakan tak ada yang enak. Dan itu lagi, tubuhnya makin melar saja. Tak ada baju yang cocok dengan badannya. Makin semrawut juga wajahnya. Si tambun dan buruk rupa pula. Batinku.

Beda jauh benar dengan bu Betti, guru geografi baru, pindahan dari sulawesi itu. Tak Cuma potongan tubuhnya yang memikat. Paras wahjahnya pun aduhai. Lagak lagunya cerdas dan tangkas. Bicaranya fasih walau cepat. Singkat kata, bu Betti itu tipe wanita sempurna.

Sejak kali pertama dia tunjuk muka ke sekolahku, aku sudah kenalan dengannya. Kusambung-sambung pembicaraan bersamanya hingga tak ada habis-habisnya. Makanya aku tahu kalau dia sebenarnya janda tanpa terbeban anak. Suaminya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas sebulan setelah pernikahan mereka. Disebab kecintaan penuhnya pada suami, sampai saat ini dia setia melajang.

Rupanya enak pula bu Betti diajak berbincang. Selalu bisa dia menyahut. Nampak terang kecerdasannya. Lama-lama makin asyiklah obrolan. Sepertinya kalau sehari tak ngobrol dengannya, ada yang kurang dari hari itu. Cuma mungkin aku telah kebablasan. Masa kalau bu Betti tak masuk, aku kangen benar padanya. Mulanya aku sadar ini kesalahan besar seorang pria yang sudah beristri. Tapi rasa senang saat berdua dengannya, mengikis akal sehatku. Orang rumah tak tahu kenapa harus dipikir?

Diam-diam, aku mengkhianati istriku. Setelah setahun, kubilang pada bu Betti kalau aku mencintainya. Ku kirim lewat SMS dijawabnya pula lewat SMS setelah dua bulan berselang. Bahagia aku, saat tahu dia merasa sama pula. Hanya, dia bilang, pria beristri tak layaklah menjalin hubungan asmara dengan wanita lain. Tapi kudesak saja ia. Ini rahasia antara dua orang saja. Tidak orang sekantor, tidak orang sekampung yang boleh tahu. Yang penting aku tahu bu Betti cinta aku, bu Betti tahu aku cinta dia. Kasih sayang dilanjut lewat telepon atau SMS rahasia, lewat senyum mesra atau lewat kerlingan mata saja. Atau kirim-kiriman hadiah di hari ulang tahun. Cukuplah seperti itu. Akhirnya bu Betti mengiyakan juga.

Selama beberapa saat, semuanya berjalan lancar. Hubunganku dengan bu Betti aman dan tak ada yang tahu. Sekolah menjadi tempat yang indah, sedangkan rumah adalah tempat yang tak membuatku betah. Hingga sampai di hari itu. Istriku jatuh sakit.

Kenapa juga si Upik Abu itu sakit. Jengkel aku dibuatnya. Kini aku harus mengurusnya. Menambah-nambahi pekerjaan saja. Tambah lama sakit istriku bertambah parah hingga harus opname di rumah sakit. Ingin sekali aku meninggalkannya. Biar saja dia terbaring sendirian di gedung pesakitan itu sendirian. Tapi pasti orang banya akan mengata-ngataiku, menggunjing dan menyalahkanku. Bisa-bisa hubunganku dengan bu Betti akan tersingkap. Jadi kusabar-sabarkan diri merawatnya. Syukur-syukur dia dipanggil Tuhan biar sekalian bebas aku berkasih-kasihan dengan bu Betti.

Tapi benar-benar lelah dan merepotkan mengurus rumah dan anak-anak. Jadwalku sekarang, bangun pukul tiga pagi, memasak atau mencuci dan membersihkan rumah. Jam lima aku bangunkan anak-anak, memandikan mereka dan mengantarkan mereka ke rumah mertuaku. Kutitipkan mereka di sana lalu mampir sebentar ke rumah sakit sebelum ke Sekolah. Pulang dari sekolah, kembali lagi ke rumah sakit sampai sore. Pulang ke rumah lagi. Bersih-bersih, kemudian menjemput anak-anak. Memandikan, menyuapi dan menina bobokan mereka. Sedang di malam hari ibu mertuaku yang menunggui istriku. Atau kadang-kadang aku aku yang di rumah sakita sedangkan anak-anak ditunggui adik iparku.

Terus-terusan seperti itu membuatku lelah sekali. Frustrasi aku mengurus anak-anak yang nakal. Ingin kumarahi saja mereka agar menurutkan maksudku. Tapi aku tak tega juga. Pernah sekali aku marahi salah seorang dari mereka karena kupikir sudah keterlaluan ulahnya. Tapi langsung saja dia menangis dan memanggil-manggil ibunya. Kepada tangis anakku, aku tak sampai hati.

Malam itu, setelah anak-anakku tidur, aku tidak segera tertidur. Kelelahan yang sangat membuatku sulit tidur. Maka aku pergi ke dapur, membuat kopi dan duduk di depan TV. Saat itu acara kesukaan istriku. Biasanya dia tidak ketinggalan menontonnya. Membangunkan aku agar menemaninya menonton dan membuatkan kopi. Agar tidak ngantuk, katanya. Menonton acara itu sendirian tanpa ditemani istriku membuatku memikirkannya untuk yang pertama kali setelah sekian lama.

Sekarang dia tergolek di rumah sakit. Pasti tidak nyaman. Coba dia tidak sakit. Pasti saat ini dia tengah mencoba membangunkanku. Lalu membuatkan kopi. Untuk yang satu ini, dia selalu melakukannya untukku. Hampir tidak pernah aku membuat kopi untuk diriku sendiri. Bahkan saat bertengkarpun, dia masih saja membuatkanku kopi. Ah, aneh. Kenapa aku keterusan memikirkan istriku? Kucoba mengalihkan pikiran pada bu Betti. Tapi pikiran tentang istriku kembali menyeretku.

Sehari-hari dia mengurus rumah, mengurus anak, tak sekali kudengar dia mengeluh atau marah-marah. Semua dikerjakannya saja. Tak pernah dia minta tolong aku mengerjakan pekerjaannya. Dilakukannya semuanya sendiri. Bahkan menyambung kabel setrikaan yang putus. Mengapa baru sekarang aku sadar ya? Padahal dia telah melakukannya sejak lima tahun yang lalu. Semenjak kami menikah.

TV tak kuperhatikan. Pikirku menerawang keluar jendela kaca yang tertembus gelap. Masih terus terkenang istriku. Wanita yang telah kunikahi itu tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Selalu dia yang nomor dua setelah aku dan anak-anakku. Pakaianku bertumpuk di dua lemari, sedang dia satu saja. Ketika gadis dulu, pakaiannya modis dan mahal. Kini yang itu-itu saja. Make up dan parfumnya berbeda dengan gadis kebanyakan tahun dahulu. Kini bedak murah saja. Sekedar menutup kulit wajahnya setelah mandi. Lebih dipentingkannya susu anak-anak daripada kecantikannya yang dulu dipuja banyak pria. Mengapa baru sekarang aku sadar betapa dia berkorban demi aku dan anak-anak?

Pagi. Aku tak sadar semalaman. Kukunci pintu rumah, berangkat menitipkan anak-anak. Saat kuambil sepatu, kuperhatikan sandal yang tergeletak di sampingnya. Sandal istriku itu, dua tahun yang lalu aku membelikannya. Istriku masih saja memakainya meski usang sudah. Mengapa baru aku perhatikan sekarang? Suami macam apa aku ini? Aku menyesal. Semakin meyesal saat kubuka pintu kamar rumah sakit. Di atas ranjang, tiga meteran di depanku, si gembrot buruk rupa itu kini kurus dan pucat. Tidur dia hingga tak sadar aku datang. Kupandangi wajah sayu itu dari jarak satu meteran di sebelah kanannya. Tak sanggup mendekat. Sedetik lalu, sesalku pecah menjadi butiran-butiran bening mengalir di atas pori-pori pipiku.


MENGAJARKAN BERPIKIR KRITIS

Selain wahyu Tuhan, apapun bisa benar, bisa salah. Hanya ajaran Tuhan saja yang benar secara absolut. Selainnya relatif. Tuhan adalah Dzat yang Maha Sempurna. Maka, mustahil jika apa yang diajarkan Tuhan mempunyai celah yang bisa dijadikan manusia untuk mengingkarinya. Sedangkan manusia adalah makhluk di mana bersemayam padanya salah dan lupa. Sehingga, sehebat apapun buah pikiran manusia, pasti ada celah kerapuhan didalamnya. Sebenar apapun pemikiran mereka pasti akan ada batas waktu yang menunjukkan kekurangan padanya.

Ketika kita berhadapan dengan hasil pemikiran manusia, apa yang saya tuliskan di atas mestinya menjadi landasan pertama. Seharusnya, kita kritis dalam menyikapi pandangan-pandangan ilmiah para pakar. Entah pandangan mereka itu telah diakui secara luas dan dipercaya orang selama bertahun-tahun. Atau pemikiran mereka itu sedang booming saat ini, tetap diperlukan sikap yang kritis. Yang saya maksud dengan kritis adalah kita tidak menerimanya secara mutlak tanpa pemikiran mendalam. Kita juga tidak menolaknya secara membabi buta tanpa pengkajian lebih lanjut. Jika Raden Ajeng Kartini mengikuti apa yang telah dianut oleh pendahulnya � bahwa wanita tidak pantas untu berpendidikan tinggi � bisa jadi saat ini wanita tetap berpendidikan rendah dan dinomorduakan. Tapi Kartini berpikir kritis. Dia memberontak melalui tulisan-tulisannya yang dikirimkan kepada sahabatnya di negara Belanda. Hingga dia dikenang orang sebagai pahlawan emansipasi sampai kini. Kartini adalah contoh dari berjuta manusia yang pernah menjadi teladan dalam mengkritisi pemikiran yang sudah mapan.

Menentang arus, apalagi arus utama, bukan suatu perkara yang ringan. Hanya saja, kita harus selalu ingat bahwa banyak hal yang berguna bagi kehidupan manusia yang lahir setelah menentang arus utama ini. Alkisah, ketika pengacara Henry Ford berencana untuk berinvestasi di Ford Motor Company, Presiden Michigan Savings Bank menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu karena menurutnya, sampai kapanpun orang akan tergantung pada kuda sebagai sarana transportasi. Ide menciptakan mobil sebagai sarana transportasi baru adalah pekerjaan orang yang iseng. Tidak disebutkan apakah pengacara Henry Ford itu mengikuti saran presiden bank itu atau tidak. Yang pasti, kalau sang pengacara mengikuti saran sang presiden bank itu, dia akan menyesal seumur hidupnya. Sebab, sang presiden bank telah salah � sampai saat ini Ford Motor Company tetap menjadi perusahaan otomotif yang disegani. Terbukti hingga kini, mobil menjadi moda transportasi yang paling banyak dipakai orang. Bukan kuda.

Anak didik kita perlu diajari untuk berpikir kritis. Bahkan penting bagi kita untuk menanamkan pola pikir kritis terhadap semua temuan manusia kepada mereka. Sehingga mereka tidak hanya menelan mentah-mentah semua bahan pelajaran. Menjadikannya suatu kebenaran final yang tidak akan tergantikan. Yang pada gilirannya kelak hal ini akan menjadikan mereka mengekor saja pada suatu pemikiran atau tren yang sedang berlangsung di tengah masyarakat. Bahkan ketika hal itu salah. Kesalahan yang karena telah dilakukan oleh mayoritas orang kini menjadi suatu yang benar dan diikuti.

Sekolah, dalam kapasitas tertentu, hendaknya menjadi tempat yang mampu memberikan pencerahan bagi pemikiran anak didik. Kita bisa lihat disekitar, betapa banyak siswa-siswa kita yang larut dalam arus konsumtivisme dan mengolok-olok temannya yang tidak mau mengikuti pola hidup ini. Norma-norma yang berlaku di masyarakat kita tampaknya semakin longgar saja. Yang karena itu, anak sekolah yang bergaul dengan bebas pun tidak menjadi perhatian yang serius. Bukankah konsumtivisme itu suatu tren yang denan sengaja telah diciptakan? Tren yang bagi sebagian kecil anggota masyarakat disadari sebagai suatu tren yang berpotensi merusak secara masif ? Ketika anak-anak kita, sebagai penyambung rantai generasi, ikut larut di dalamnya, apa yang bisa dilakukan sekolah ? Sudah saya singgung di muka. Sekarang kita bicarakan kongkretnya.

Umumnya, pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah kita memberlakukan buku sebagai satu-satunya bahan untuk mendapatkan ilmu. Guru yang mengambil intisari darinya untuk kemudian ditransfer kepada anak didik. Apa yang telah diajarkan itu selanjutnya diulang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam bentuk tertulis ketika ujian. Tidak ada ruang untuk pandangan pribadi di sana, mirip copy lalu paste dalam pengoperasian komputer. Artinya, semua berjalan secara mekanis. Bukan dinamis dan inovatif.

Padahal, ketika kita mengajarkan suatu teori yang sudah berulang-ulang dan telah diterima secara luas itu, kita bisa menyertakan pandangan lain yang bisa jadi kontra dengan teori yang mapan. Teori yang belum bisa mengalahkan teori yang sudah dikenal dan diyakini secara luas. Mari kita ambil sebuah contoh. Ketika membahas tentang pusat tata surya, yang umum diyakini adalah teori bahwa mataharilah pusat tata surya. Bumi beserta planet-planet lain berevolusi mengitari matahari. Teori ini tidak pernah terbantahkan. Guru-guru kita dahulu mengajarkan demikian. Bagitu pula guru-guru IPA saat ini. Anak-anak menyerapnya dan menghapalnya. Menajdikannya sebagai kebenaran tunggal. Memang ketika membahas itu, guru juga menyampaikan adanya teori lain yang mengatakan bahwa bumilah pusat tata surya. Guru juga menyampaikan betapa lamanya perdebatan antara penganut kedua teori itu. Betapa perdebatan itu telah memakan korban. Tetapi kesimpulan guru tetaplah pada keyakinan bahwa mataharilah pusatnya. Guru tidak pernah menyampaikan kalau teori yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Guru tidak pernah menyampaikan bahwa teori-teori itu masih sebatas dugaan yang bisa saja salah. Guru tidak pernah menyampaikan bahwa sampai saat ini kaum agamawan tetap percaya bahwa bumilah pusat tata surya dengan menggunakan kitab suci sebagai penguat argumen.

Contoh lain, pernahkah guru membahas tentang kontroversi seputar SUPERSEMAR?, pernahkah guru bahasa Inggris menegaskan bahwa betapa penggunaan bahasa asing ini oleh warga kita hapir-hampir menggusur peran Bahasa Indonesia? pernahkah guru matematika atau fisika mendorong agar siswa membuat rumus yang berbeda dengan yang ditulis dibuku-buku teks? Dengan melakukan hal ini, bukanlah maksud kita untuk membebani siswa atau membuat mereka bingung. Tetapi mengajarkan dan melatih mereka untuk berpikir kritis. Melatih mereka untuk selalu memandang segala sesuatu dari berbagai sisi yang berbedaa.

Ketika seorang guru selalu membiasakan dirinya, juga murid-muridnya untuk selalu menerima satu jawaban benar dari suatu permasalahan, mereka tidak akan siap menerima perbedaan. Mereka cenderung akan bersikap tidak berani tampil beda. Padahal ketika terjun ke masyarakat, permasalahan-permasalahan seperti ini akan mengemuka. Dalam masyarakat yang heterogen, seorang yang tidak memiliki karakter yang mantap akan terombang-ambing. Mereka akan cenderung ikut-ikutan dan tidak memiliki pendirian. Dengan membiasakan berpikir kritis, kita berharap pada gilirannya nanti akan membentuk karakter para siswa. Karakter yang mendorong mereka untuk tampil beda, bukan karena sekedar ingin tampil beda.

Untuk mengajarkan berpikir kritis, guru perlu memiliki wawasan yang luas. Guru harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan kekinian. Selebihnya, mereka harus mampu manjadi model bagi murid-muridnya sebagai pribadi yang kritis dan berkarakter kuat. Sudah saatnya pendidikan kita tidak hanya melahirkan lulusan-lulusan yang pandai menghapal, tetapi juga melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter kuat. Pribadi-pribadi yang akan menghiasi zaman. Bukan yang menjadi korban zamannya.


MENGINTEGRASIKAN KECERDASAN EMOSI DALAM PELAJARAN

Hanya karena baju seragam PRAMUKA yang akan dipakainya hari itu basah lantaran dicuci, AA (10 tahun) siswa kelas IV SD di Kecamatan Playen, Yogyakarta nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan gantung diri. Demikian sebuah harian nasional menulis. Masih di harian itu, selang beberapa bulan setelah kematian AA, MS (16 tahun) siswa SMK swasta di Kecamatan Karangrejo, Yogyakarta, juga menyudahi hidupnya karena depresi. Setelah MS, giliran siswa kelas II SMP swasta di Playen mencoba bunuh diri, walau akhirnya bisa diselamatkan, hanya karena tidak bisa melunasi uang piknik sebesar Rp. 155.000,-. Dan yang terakhir, seorang siswi SMK Negeri di Yogyakarta, EA (17 tahun) juga ditemukan mati tergantung pada kerangka pintu rumahnya. Untuk kasus bunuh diri yang terakhir ini, penyebabnya belum jelas.

Membaca berita-berita bunuh diri di kalangan siswa itu, kita tersentak. Selama ini konsentrasi kita hanya tertuju pada bagaimana agar siswa-siswi kita mendapat nilai yang maksimal dalam setiap pelajaran. Terlebih lagi ketika nilai beberapa mata pelajaran dijadikan patokan kelulusan dalan ujian nasional. Kita begitu disibukkan dengan pemberian latihan beratus-ratus nomor soal bagi siswa, memberikan les-les tambahan berpuluh-puluh jam dan men-Try Out mereka terus menerus. Kita sama sekali tidak sadar, bahkan mungkin tidak tahu, bahwa ada yang lebih penting daripada sekedar mendapat nilai-nilai yang fantastis di setiap pelajaran. Benar, hidup mereka berjuta kali lebih penting daripada semua prestasi akademis. EA, siswi salah satu SMK Negeri di Yogyakarta yang bunuh diri beberapa bulan yang lalu, dikatakan sebagai anak yang tergolong pandai di sekolahnya. Tapi toh akhirnya, kepandaiannya itu tidak ada artinya lagi ketika dia telah terbujur kaku. Kita tersentak bukan kepalang dengan rentetan kejadian itu. Selama ini, apa yang kurang dari kita? Apa yang salah dari sistem pendidikan kita?

KETRAMPILAN EMOSI

Orang-orang yang baik prestasi akademisnya memang cenderung memperoleh pekerjaan yang mapan, bahkan gaji yang besar. Jadi, sistem pendidikan kita tidaklah salah seratus persen. Tapi untuk menjadi orang yang sukses tidak harus selalu berprestasi secara akademis. Anda mau bukti? Inilah pendiri bisnis Es Teler 77 yang sukses, Sukyatno Nugroho. Dia bukanlah seorang Doktor lulusan Amerika yang cerdas seperti Muhammad Yunus. Dia hanya mempunyai ijazah SMP saja. Tapi kerja keras dan semangat tak gampang menyerahnya menghantarkan dia menjadi orang yang mapan lantaran bisnis Es Telernya yang berkibar hingga ke mancanegara.

Apa yang diajarkan oleh Sukyatno melalui perjuangannya meraih kesuksesan sama dengan apa yang ditulis oleh DR. Daniel Goleman dalam bukunya yang berpengaruh, Emotional Intelligence, sebagai kecerdasan emosi. Goleman menulis bahwa kecerdasan emosional tercermin pada Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Sukyatno pernah ditipu orang ketika ia merintis usahanya. Dia pun mengalami pahitnya menjadi bangkrut. Tapi dia tidak frustrasi dan berdiam diri, dia bangkit lagi dan sukses. Sukyatno, yang lulusan SMP itu membuka mata kita bahwa prestasi akademis bukanlah segala-galanya. Dia adalah contoh hidup dari orang yang mempunyai Kecerdasan Emosi.

Banyaknya kasus bunuh diri di kalangan siswa mengindikasikan bahwa siswa-siswa kita belum mempunyai ketrampilan emosi yang memadai. Seorang pengamat pendidikan, Darmaningtyas, menyatakan bahwa bunuh diri di kalangan siswa disebabkan oleh faktor Kemiskinan, Psikologi, dan oleh pemberitaan di media masa. Ada korelasi yang saling menguatkan antara ketiga faktor yang disebutkan oleh Darmaningtyas di atas. Masa anak-anak dan remaja merupakan masa transisi menuju dewasa. Di masa transisi ini akan banyak timbul gejolak kejiwaan yang bisa mengakibatkan seorang anak terjatuh dalam kondisi depresi. Di saat-saat seperti inilah mereka memerlukan komunikasi yang bisa �mengangkat beban� mereka. Tetapi keadaan ekonomi (kemiskinan) yang menekan keluarga membuat orang tua mengabaikan komunikasi intensif dengan anak-anak mereka dan membiarkan mereka bergaul dengan televisi (media masa), yang mengajari banyak hal negatif kepada mereka tanpa mereka sadari, dalam jumlah jam yang panjang.

Bagi anak-anak dan remaja, sesuatu yang kita anggap sepele bisa jadi merupakan sebab terjadinya depresi. Pada anak-anak, masalah kecil seperti mendapat nilai yang buruk pada pelajaran tertentu ketika teman-teman sekelasnya mendapat nilai yang bagus, bisa menimbulkan rasa pesimis yang berkembang menjadi depresi. Pada remaja, mereka yang merasa ditolak dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya karena kekurangan di sisi tertentu pun bisa menyebabkan depresi.

Di luar sebab-sebab di atas, kemiskinan juga merupakan sesuatu yang dapat mengguncang kejiwaan anak-anak dan remaja. Greg Duncan dan Patricia Garret melaporkan hasil penelitian mereka bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin, pada umur 5 tahun sudah merasa ketakutan, cemas, dan murung daripada teman sebayanya yang berkecukupan. Bahkan mereka juga punya banyak perilaku yang menyimpang.

Pemberitaan di televisi, kemudian semakin memperburuk kondisi. Berita-berita kriminal, alih-alih menjadi media untuk menginformasikan tindak kriminal dari berbagai belahan bumi nusantara malah menjadi tontonan yang ditiru. Kita ingat bahwa selang beberapa minggu setelah kasus bunuh diri satu keluarga diberitakan media, ditemukan lagi kasus yang serupa di tempat lain. Jika lingkungan dan media masa menjadi faktor masalah, sedangkan keluarga belum mampu menjadi tempat yang menguatkan mental anak-anak untuk menempuh kehidupannya, harapan terakhir kita tumpukan pada :

SEKOLAH SEBAGAI TEMPAT PENDIDIKAN EMOSI

Bagaimana menjadikan sekolah sebagai tempat pendidikan emosi? Sebab untuk melatih agar siswa trampil mengelola emosi, guru harus bekerja ekstra diluar kewajiban yang selama ini telah mereka tunaikan, serta diperlukan peran serta masyarakat. Sedangkan para guru sudah memikul beban yang begitu berat dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Apakah dalam kondisi yang seperti ini para guru harus menambah lagi satu pelajaran untuk menunjang ketrampilan emosi? Jawabannya, tidak. Materi-materi untuk melatih ketrampilan emosi para siswa dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada.

Mari saya antarkan anda pada beberapa contoh agar apa yang saya maksud di atas lebih kongkret. Dalam pembelajaran bahasa Inggris kelas VII, ketika para siswa dikenalkan pada jenis-jenis teks, jenis teks naratif mungkin bentuk bacaan yang paling diminati siswa. Kita bisa memberikan teks �Srigala dan Burung Bangau�. Perilaku srigala yang mempermainkan perasaan burung bangau dengan menghidangkan sup dalam piring yang tidak mungkin bisa dimakan oleh bangau dapat dikembangkan untuk pelajaran speaking (berbicara) dengan mendiskusikan tentang nilai-nilai persahabatan dan mengungkapkan bagaimana perasaan kita jika dipermainkan oleh orang lain. Dari sini diharapkan para siswa bisa menghargai perasaan orang lain. Pada tahapan berikutnya, kita bisa menyajikan cerita yang lebih kompleks, yang mencakup berbagai jenis kecerdasan emosi seperti; apa yang harus kita lakukan ketika marah, depresi, pesimis ataupun ketika merasa ditolak dalam pergaulan serta ketika mendapat kegagalan-kegagalan kecil dalam hidup. Pola yang serupa juga bisa diterapkan untuk mata pelajaran sejarah ketika memaparkan peristiwa-peristiwa sejarah yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai bahan diskusi yang mengajarkan ketrampilan emosi.

Dalam pelajaran matematika, pembahasan Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) dan Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) sebagai contoh, kita bisa membuat soal cerita yang dikerjakan secara berkelompok. Guru membagikan 3 kue kepada masing-masing kelompok yang terdiri dari 3 anak. Kemudian guru menginstruksikan kepada murid-murid bahwa mereka baru boleh memakan kuenya setelah menyelesaikan soal yang berbunyi : Alarm Budi berdering 5 menit sekali. Alarm Tono berdering setiap 10 menit sekali dan alarm Roni berdering setiap 15 menit sekali. Pada menit keberapa alarm mereka berdering bersamaan? Setelah mereka mendapatkan jawaban, guru kembali menginstruksikan bahwa mereka harus menunda keinginan mereka untuk memakan kue beberapa menit, sesuai dengan jawaban dari soal cerita yang telah mereka selesaikan. Nah, sambil menunggu saatnya memakan kue itulah, guru menjelaskan bahwa apa yang mereka kerjakan memberikan pelajaran pada mereka bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, bahwa mereka harus memotivasi diri untuk belajar dan mengatasi godaan, bahwa menunda kepuasan (dalam hal ini adalah memakan kue) akan terus dituntut dari mereka di sepanjang kehidupan. Dan mereka harus berani menunda suatu kepuasaan demi meraih kepuasan yang lebih besar.

Demikianlah. Dalam pelajaran-pelajaran lain pun saya yakin ada materi-materi yang bisa kita gunakan untuk melatih kecerdasan emosi yang mencakup empati, melihat dari sudut pandang orang lain, kepedulian, mengendalikan dorongan hati, mengungkapkan perasaan dan menyelesaikan perselisihan. Bahkan pelajaran-pelajaran yang kelihatannya tidak mungkin. Di luar itu, pelajaran Agama dan PKn adalah dua mata pelajaran yang secara langsung dapat menyentuh persoalan-persoalan kecerdasan emosi.

Untuk menutup tulisan saya ini, saya katakan bahwa bisa jadi apa yang kita lakukan belum bisa memberikan hasil yang maksimal. Tapi kita harus melakukan sesuatu sembari berharap bahwa sedikit yang kita lakukan saat ini akan terus disempurnakan di masa mendatang.


STOP REKAYASA NILAI

Kalau anda, para guru, sempat membaca totto chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol (baca: merekayasa) nilai para murid. Sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik. Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Keboyashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi di halaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik. Bahwa kalau ada anak yang tidak berwatak baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa disekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya.

Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras.

Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang �hitam� sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya �merah�, orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh.

�Penyakit� ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut guru ( yang tidak mau dianggap sebagai guru gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ), sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru.

Orang tua, kita (para guru), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris. Siswa saya itu tidak menyukai pelajaran yang saya ampu. Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam �kunci� untuk keluar dari permasalahan-permasalahan yang dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka.

Kalau kita, para guru, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka.

Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka.

Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat guru dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan guru. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai �fantastis� di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur.

Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita.

Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Thukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa katrol nilai itu katrok.


Tags

Recent Post