Saya tertegun ketika mendengar dialog antara dua siswa yang kebetulan berada dalam kendaraan umum yang sama dengan saya di perjalanan menuju sekolah. Salah satu dari mereka bertanya tentang pekerjaan rumah, apakah sudah dikerjakan atau belum. Dijawab oleh temannya dengan logat yang sama persis yang diucapkan artis-artis muda di sinetron yang setiap malam mereka tonton; "Mana sempat gitu loch!". "Wah, rese lu. Disetrap si Trondolo tau rasa lu".
Saya pikir gitu loch dan rese lu, wajar dan sah saja jika diucapkan oleh mereka yang tinggal di daerah yang memang secara komunal memakai bahasa-bahasa itu. Tapi jika diucapkan oleh mereka yang secara kolektif memakai bahasa Jawa sebagai bahasa kesehariannya, yang 'aku' dan 'kowe', lalu menggantinya dengan 'gue' dan 'elu' hanya karena kata itu terlanjur terdengar lebih keren, kita perlu waspada. Ditambah lagi dengan kata 'si trondolo'. Saya yakin bahwa 'si trondolo' itu adalah guru yang memberikan PR.
TV, SANG PENDIKTE ULUNG
Pengalaman saya di atas hanyalah contoh dari betapa efektifnya TV sebagai sarana transformasi nilai-nilai. Kita tidak perlu mengulang-ulang tentang di Agus yang di Smack Down oleh teman sekelasnya, tidak perlu juga kita ulang tentang si Tuti yang tak berani pergi ke kamar mandi sendirian di malam hari karena takut tiba-tiba muncul kepala si suster ngesot dari dalam kloset atau Pak Sapto yang dilecehkan oleh murid-muridnya yang terinspirasi anak-anak SMA yang "Ngerjain" Pak Gurunya yang culun di sinetron malam, di jam seharusnya mereka belajar. Tidak perlu kita membahas itu lagi untuk menunjukkan buruknya dampak dari kotak persegi yang ada di ruang keluarga kita. Sebab, jika sesuatu sudah ketahuan efek negatifnya, banyak yang akan waspada terhadapnya. Akan tetapi, apakah ada yang menyadari bahaya dari menonton si aktris A yang memakai lotion anti penuaan dini. Dari si penyanyi B yang memakai HP three G seharga 11 juta rupiah. Atau si selebritis ganteng yang ngebut pakai sepeda motor trendi ?
Sejatinya, apa yang saya kemukakan terakhir sama atau bahkan lebih berbahaya daripada dampak-dampak negatif yang sudah mengemuka dan ditulis di media-media massa. Saya katakan demikian karena sedikit dari kita yang sadar bahwa hal itu merupakan suatu bahaya. Suatu ancaman yang lebih luas dan lebih lama daya rusaknya. Bagaimana tidak ? jika kerusakan yang terjadi tidak disadari sebagai suatu ancaman akan tetapi hanya dianggap sebagai suatu efek dari kemodernan; yang jika tidak seperti itu, maka tidak modern. Jika seseorang tidak memakai produk A, misalnya, maka dia adalah "orang lain". Orang di luar kelompok "kita". Apakah anda pernah membaca koran mengenai anak SMP yang mencoba gantung diri hanya karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya karya wisata sekolahnya? Kejadian seperti itu hanyalah salah satu dampak negatif dari pola pikir "kita" dan "orang lain". Anak SMP itu kecewa tidak bisa masuk dalam "kita" (teman-teman sekolahnya), yang berarti dia adalah "orang lain".
Sekarang ini mari kita renungkan dua kejadian nyata yang saya lihat. Sebutlah Ria, namanya. Seorang anak SMP anu. Dia mengaku telah mencuri Hand and Body Lotion merek terkenal milik gurunya ketika dia main ke rumah gurunya itu. Dia tahu gurunya memakai Hand and Body Lotion yang sama dengan produk yang selama ini dia lihat dan dengar dari iklan televisi. Dia betul-betul menginginkan produk itu, sedangkan dia tak mampu membelinya tidak hanya itu, bahkan anak itu juga mencuri kaca mata minus gurunya karena menurutnya, dia akan terlihat lebih cantik kalau memakai kacamata. Padahal matanya sendiri normal.
Sekarang yang kedua, Roni (bukan nama sebenarnya) cowok paling ganteng di sekolahnya, mogok tidak mau masuk sekolah karena bapaknya tidak mampu membelikannya sepeda motor. Padahal teman-temannya yang lain, yang tidak lebih ganteng dari dirinya, sudah naik sepeda motor kalau ke sekolah.
Akan tetapi, sekali lagi saya katakan, sedikit saja yang menyadari bahwa semua itu pada awalnya adalah dari terlalu lamanya mereka membiarkan televisi mendikte pola pikir mereka. Bahasa rayuan yang simpel dan disampaikan berulang kali tanpa kita sadari melekat dalam benak kita, tersimpan rapi dan berubah menjadi keinginan untuk meniru atau mengkonsumsi.
HIPER � REALITAS
Seorang mantan praktisi televisi menuturkan bagaimana dia bisa sampai keluar dari pekerjaannya sebagai manajer di sebuah stasiun televisi. Dia merasa bahwa pekerjaan yang dilakoninya tidak sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Setelah tahu bahwa televisi sangat minim perannya dalam mendidik publik. Televisi banyak menayangkan apa yang mereka sebut sebagai "keinginan publik". Kalau tayangan-tayangan yang mengumbar seksualitas, mistik dan kekerasan adalah sesuatu yang �diinginkan publik", yaitu dengan melihat dari tinggi rendahnya rating, maka itulah yang akan ditayangkan dalam porsi yang besar. Celakanya, jika sebuah stasiun televisi sukses dengan sebuah acara, stasiun televisi yang lain akan menayangkan acara sejenis. Mengapa demikian ? alasannya adalah sebuah acara yang punya rating tinggi akan menyedot banyak iklan. Bagi stasiun televisi, rating adalah segalanya.
Dari sinilah ancaman itu berawal. Sekian jam otak kita dicuci dengan cerita-cerita mistis, pornografi dan kekerasan, yang secara tidak kita sadari, lambat laun akan merubah pola pikir kita. Di sela-sela acara yang melenakan itu, suatu waktu yang disebut sebagai commercial break, otak kita secara intens juga dijejali dengan pencitraan-pencitraan, bujuk rayuan produk-produk yang kalau kita sampai berpikir sehat, sebetulnya tidak kita perlukan.
Benarkah kalau yang kita konsumsi selama ini tidak kita perlukan? Mari saya hantarkan anda pada situasi yang dapat kita gunakan untuk mencerna hal itu. Bagi orang Jawa, setidaknya pada jaman dahulu, wanita yang cantik didefinisikan sebagai perempuan yang padat berisi dengan, maaf, payudara dan pinggul yang besar. Tetapi belakangan ini, terminologi cantik tidak demikian. Dimanapun di seluruh dunia, cantik adalah kutilang darat (kurus, tinggi, langsing dan dadanya rata). Maka tidak heran, kalau anda sempat membaca koran, jika ada seorang warga Amerika yang mati karena mengurangi jatah makannya secara ekstrem. Bukan badan yang tinggi langsing yang dia dapat melainkan anoreksida yang menghantarkannya pada kematian.
Dari sini para wanita terus menerus dibuat tidak nyaman dengan keadaan dirinya, kemarin mereka tidak nyaman dengan rambut mereka. Karena rambut yang indah adalah rambut yang lurus, berbondong-bondonglah mereka me-rebonding mahkota kecantikan itu. Padahal sebelumnya, rambut yang indah adalah rambut yang ikal atau keriting. Sehingga, mungkin anda masih ingat, banyak dari para wanita yang rela tidur dengan rambut di-roll. Saat ini mereka harus susah payah agar mendapatkan kulit yang mulus dan putih. Ratusan ribu rupiah dikeluarkan untuk itu. Mungkin esok, mereka semakin tidak nyaman dengan jemari yang tidak lentik, leher yang kurang jenjang, bibir yang kurang lebar atau yang lainnya. Untuk mewujudkan impian mereka, dirogohlah kocek sedalam-dalamnya. Lalu, semakin kayalah produsen yang terus berupaya agar para wanita tidak nyaman dengan keadaan dirinya. Jangan lupa, kadang lebih separoh dari siswa di kelas kita adalah perempuan. Mereka akan menjadi parget berikutnya atau bahkan sudah menjadi korban.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN ?
Media audio-visual adalah media yang jauh lebih efektif dari media yang sekedar menawarkan efek audio atau visual saja. Membaca iklan di majalah tidak lebih berpengaruh daripada kita menonton dan mendengarnya. Melalui media inilah konsumen didorong terus menerus untuk mengkonsumsi. Mengkonsumsi sesuatu yang bukan suatu kebutuhan. Bagi para produsen yang berlaku adalah; 'we sell what we want to sell not what the costumers want to buy' (kami menjual apa yang ingin kami jual bukan apa yang dibutuhkan oleh pembeli). Sedangkan bagi pembeli, tidak ada pilihan lain, setelah terbujuk. Maka terjadilah apa yang saya sebutkan di atas. Kondisi yang menyesakkan dada keinginan tidak dapat dipertemukan dengan kondisi riil.
Tetapi, jangan terburu-buru menjual televisi anda. Atau membuangnya ke tempat sampah. Sebab yang lebih penting adalah memperbaiki diri kita sendiri. Hanya saja, mungkin untuk saat ini anda harus lebih banyak mematikan televisi anda untuk waktu yang tak tentu. Sampai akhirnya televisi menjadi media yang benar-benar mencerdaskan. Bukan media yang hanya menjadi candu. Anda berani?
Post a Comment