KETERBATASAN YANG MELAHIRKAN KREATIFITAS

Lazimnya, keterbatasan akan menimbulkan banyak permasalahan. Keterbatasan (baca : kemiskinan) dituding ketika anak-anak putus sekolah. Keterbatasan adalah biang keladi dari ambruknya gedung sekolah. Keterbatasan pula yang meluruhkan semangat para pengajar, dan menggiring mereka kedalam keputus asaan. Yang jamak diyakini, keterbatasan adalah malapetaka. �Kutukan� yang mau tidak mau harus diterima dengan legowo.
Namun sejarah mencatat bahwa ada orang-orang yang tidak mundur dari tantangan keterbatasan. Mereka ini, kebanyakan dikenal zamannya sebagai orang-orang besar, tidak menyerah begitu saja. Bahkan keterbatasan yang seolah �kutukan�, bagi mereka adalah berkah yang besar. Keterbatasan seolah polesan yang membuat berkilau batu permata. Inilah Nabinya umat Islam, Muhammad. Anda akan baca di lembaran-lembaran awal kehidupan beliau sebagai belia yang telah akrab dengan keterbatasan--apa yang anda pikirkan tentang seorang yatim piatu di padang pasir yang tandus?. Tetapi, akhirnya, beliau menjadi seorang yang paling berpengaruh di dunia. Sejauh ini, tidak ada satupun ibu yang berhasil melahirkan manusia seperti beliau.
Setelah Nabi Muhammad, anda akan temukan lusinan orang-orang besar yang berlatar belakang keterbatasan. Bahkan keterbatasanlah yang membesarkan mereka. Imam Syafi�i, seorang imam mazhab, pernah mengatakan : �Tidak akan sukses mendapatkan ilmu selain orang yang mencarinya dalam keadaan miskin. Sungguh aku telah mencari kertas dan sulit untuk mendapatkannya�. Selanjutnya, silahkan anda periksa sendiri riwayat hidup Abraham Lincoln dan atau kisah hidup pengarang terkenal, Hans Christian Andersen. Anda akan mendapatkan jalan hidup yang menarik dan inspiratif dari sana.
Memang takdirlah yang menggariskan sehingga orang-orang itu dikenang dunia sebagai pribadi-pribadi besar yang pernah dilahirkan. Tapi kalau kita simak seksama, akan kita dapatkan fakta bahwa mereka mendisiplinkan diri dalam bekerja keras dan mengatur waktu. Mereka terus menerus meliatkan mental dalam melawan tekanan keterbatasan yang tak berhenti mendera. Takdir mereka sebagai orang besar adalah buah dari ketekunan dan kesabaran luar biasa yang mereka tunjukkan dan diceritakan oleh zaman kepada kita.
Orang-orang besar melihat peluang di sela-sela keterbatasan. Terus, mereka memaksimalkan peluang itu hingga dapat mengalahkan keterbatasan. Keterbatasan dan peluang bagi orang-orang besar itu bisa kita analogikan dengan dongeng Pelanduk dan Si Raja Hutan. Alkisah si pelanduk menantang singa si raja hutan berduel. Awalnya singa tidak menanggapi tantangan itu karena siapapun tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang jika pertarungan benar-benar terjadi. Tapi sang pelanduk terus saja mendesak dan berkoar bahwa dia akan mengalahkan sang raja hutan. Sebab itulah akhirnya si raja hutan menerima tantangan si pelanduk. Pelanduk meminta waktu satu bulan untuk menyiapkan dirinya melawan singa. Tiap hari si pelanduk mengurung diri di dalam rumahnya. Hanya beberapa saat saja dia keluar untuk berkeliling dan mengatakan kepada siapapun yang dia temui bahwa semakin dekat masanya bagi singa untuk menemui ajalnya. Dia membusungkan dadanya ketika mengatakan bahwa semudah membalikkan badan, semudah itu pula baginya mengalahkan si raja hutan. Isu itu semakin santer di seantero hutan dan tanpa disadari telah menjadi opini. Singa yang awalnya santai, kini penasaran dengan apa yang akan dilakukan si pelanduk untuk mengalahkannya. Lama semakin lama rasa penasaran berubah menjadi sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia lupa makan dan tidak tidur kecuali sebentar. Dahsyatnya gangguan pada pikirannya membuatnya sakit dan mati bahkan sebelum hari menggenapkan bilangannya ke jumlah satu bulan. Singa mati sebelum bertarung. Di atas kertas singa akan menang dengan mudah. Tapi tidak selalu demikian.
KETERBATASAN KITA
Teramat banyak keterbatasan dalam sistem pendidikan kita. Begitu kompleksnya hingga membuat putus asa sebagian orang. Tapi diantara keterbatasan-keterbatasan itu ada beberapa yang menonjol dan menjadi inti dari segala masalah yaitu anggaran pendidikan yang tidak juga beranjak ke angka 20% sehingga di mana-mana anda akan mendengar keluhan tentang minimnya buku pelajaran. Belajar dari mana jika tidak ada buku? Pertanyaan yang sering muncul. Tidak terbantahkan bahwa buku adalah sumber utama untuk belajar. Dan ini yang diyakini. Lalu, kalau buku saja tidak tersedia, apalagi alat-alat peraga untuk pelajaran IPA yang mahal. Yang lebih menyedihkan, kadang murid-murid belajar di dalam bangunan sekolah yang hampir ambruk.
Belum lagi kalau beralih ke masalah kesejahteraan guru. Ada guyonan yang menyatakan bahwa jika kita mendapati suatu rumah megah dan mewah di Jerman, pasti itu rumah seorang guru. Sedangkan di negeri kita ini, guru adalah akronim dari �wagu tur kuru�. Dua kata yang mewakili kondisi manusia dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Kesejahteraan guru yang kurang, banyak berdampak pada profesionalitas guru dalam mengajar. Wajar. Saya pernah membaca artikel yang ditulis oleh seorang guru untuk menggambarkan beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung. Diberinya judul artikel yang dia tulis itu dengan �Kugadaikan SK-ku�. Plesetan dari judul lagu yang pernah dipopulerkan Gombloh, �Kugadaikan Cintaku�. Ironisnya, kalaupun ada kenaikan gaji, yang biasanya belum juga mencukupi, pasti telah diawali dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Maka, gaji dinaikkan atau tidak, sama saja.
Kemudian, yang masih juga luput dari perhatian adalah guru yang mengajar di daerah pinggiran, di pegunungan yang untuk menjangkau lokasi sekolah seringkali tidak diimbangi dengan adanya sarana transportasi yang memadai atau bahkan tidak ada. Selama ini tidak ada perlakuan istimewa untuk guru yang bertugas di pinggiran kota. Padahal, jika dibandingkan dengan para guru yang bertugas di kota, guru di pinggiran jelas bekerja lebih keras. Kewajiban yang menuntut mereka untuk lebih �berpeluh� dan tanpa ada insentif tambahan yang layak, membuat mereka lebih banyak berkeluh kesah. Kita, harus maklum.
Dari sisi siswanya, sekolah di pinggiran tentu juga tidak bisa disepadankan dengan para siswa yang ada di sekolah-sekolah kota yang terjangkau dan akses atas segala sesuatu mudah. Siswa di pinggiran kebanyakan berdiam di rumah yang relatif jauh dari sekolah. Kondisi bergunung-gununglah yang membuat mereka harus berjalan kaki ke sekolah menempuh kiloan meter. Banyak dari mereka yang berangkat saat Shubuh. Hanya sempat mandi ala kadarnya tanpa sempat sarapan pagi. Kadang PR terlupa dikerjakan. Perjalanan yang jauh dan perut yang kosong menimbulkan kantuk ketika mereka diajar. Apa atau berapa yang mereka dapatkan di sekolah? Inilah keterbatasannya dan inilah tantangannya sekaligus.
PELUANGNYA BERNAMA KREATIFITAS
Saya membayangkan betapa kerasnya usaha yang dilakukan Imam Syafi�i. Saat itu tidak ada lampu listrik. Tidak tersedia transportasi yang cepat dan nyaman. Bahkan, seperti yang dikatakan Imam Syafi�i sendiri, kertas untuk mencatat ilmu pun sangat langka. Tapi toh Imam Syafi�i menjadi gudangnya ilmu yang sulit dicari tandingannya. Mungkin ada yang berkata : �Tentu saja keterbatasan yang ada di zaman Imam Syafi�i tidak menjadi masalah yang besar karena beliau dilahirkan sebagai orang yang jenius�. Tidak salah memang. Banyak riwayat-riwayat yang membuktikan hal itu. Tetapi dimanapun dan kapanpun anda akan menemukan bahwa orang-orang cerdas tetap bekerja keras untuk mencapai keunggulan. Imam Syafi�i pernah tinggal di sebuah suku yang terpencil, yang bahasa Arabnya masih orisinal untuk menguasai bahasa yang terkenal mempunyai banyak kaidah itu selama 20 tahun.
Hanya saja, penelitian mengabarkan bahwa orang-orang besar itu tidak hanya bekerja keras untuk mencapai keunggulan. Kerja keras semata tidak cukup. Orang-orang yang berpengaruh bekerja keras secara cerdas. Bekerja keras secara cerdas itulah kreatifitas. Sekarang, kreatifitas apa yang akan kita hasilkan untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada?
Seorang ilmuwan, Devito, mengatakan bahwa pada dasarnya setiap orang itu kreatif. Namun, kadarnya berbeda-beda. Di setiap kelompok masyarakat pasti ada satu atau beberapa orang yang memiliki kreatifitas menonjol. Secara umum diyakini bahwa kreatifitas lahir sebagai jawaban atas hambatan dan keterbatasan yang ada di sekitarnya. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat dasar untuk bertahan hidup akan memandang hambatan atau keterbatasan sebagai sesuatu yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Untuk itulah dia berupaya agar bertahan hidup.
Maka, bisa dikatakan bahwa kreatifitas �berhutang budi� pada hambatan dan keterbatasan. Keterbatasanlah yang melahirkan kreatifitas. Bisa jadi tanpa hambatan, kreatifitas tidak akan lahir. Bagaimana jika Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya, mulai dari kompor gas sampai komputer yang canggih sejak jaman batu? Saya tidak akan yakin kalau kita saat ini akan dapat menemukan sesuatu yang lebih canggih lagi. Silahkan anda baca informasi-informasi mengenai penemuan berbagai teknologi. Anda akan temukan bahwa bahkan sesuatu yang sepele sekalipun ditemukan setelah proses yang panjang. Ditemukan setelah diawali berbagai penemuan yang lain. Pisau silet, misalnya. Selanjutnya bagaimana dengan sepeda. Alat yang jauh lebih kompleks daripada pisau silet. Bagaimana dengan sepeda motor, bagaimana dengan mobil? Berapa penemuan yang dihasilkan sebelum terciptanya komputer yang canggih seperti sekarang? Banyak sekali.
Maka, camkanlah, kreatifitas sangat bergantung pada keterbatasan. Ada pameo yang mengatakan tentang bisnis keluarga bahwa bisnis keluarga dirintis oleh generasi pertama, dikembangkan oleh generasi kedua dan dihancurkan oleh generasi ketiga. Mengapa demikian? Karena biasanya generasi ketiga ini telah hidup dalam kondisi yang teramat berkecukupan sehingga mereka abai dengan kerja keras dan cenderung bermalas-malasan. Bisnispun runtuh.
Dengan demikian, mestinya, keterbatasan dalam pendidikan yang kita temui melahirkan kreatifitas. Kita semua berpotensi menjadi kreatif. Secara intelektual, kita, para guru, mempunyai kecakapan yang memadai. Yang kita perlukan adalah motivasi dan komitmen yang kuat untuk mendapatkan pemecahan atas berbagai keterbatasan yang ada. Jika ilmu pengetahuan adalah suluh bagi kehidupan, maka profesi guru adalah sebuah profesi yang teramat sangat bermartabat. Para guru harus sadar atau disadarkan bahwa profesi mereka adalah profesi terhormat yang, sekali lagi, teramat sangat bermartabat. Walaupun mereka harus hidup dari gaji yang kecil, martabat sebagai guru tidaklah membuatnya rendah dibanding profesi lain.
Terakhir, mungkin anda tidak sependapat dengan saya atau anda akan mencerca saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Mungkin anda berkata, �Oke, mungkin yang anda tulis dengan panjang lebar itu benar. Tapi apakah anda juga mempunyai solusi yang aplikatif untuk berbagai keterbatasan yang kita temui?� Saya akan jawab bahwa saya hanya mengetengahkan suatu paradigma untuk menyikapi keterbatasan-keterbatasan dalam sistem pendidikan kita. Saya tidak menawarkan solusi aplikatif di sini. Dengan demikian, kalau anda mendesak saya, saya akan berkata, �Carilah sendiri jawabannya. Anda memilikinya.�



Post a Comment

Previous Post Next Post