Hanya karena baju seragam PRAMUKA yang akan dipakainya hari itu basah lantaran dicuci, AA (10 tahun) siswa kelas IV SD di Kecamatan Playen, Yogyakarta nekat mengakhiri hidupnya dengan jalan gantung diri. Demikian sebuah harian nasional menulis. Masih di harian itu, selang beberapa bulan setelah kematian AA, MS (16 tahun) siswa SMK swasta di Kecamatan Karangrejo, Yogyakarta, juga menyudahi hidupnya karena depresi. Setelah MS, giliran siswa kelas II SMP swasta di Playen mencoba bunuh diri, walau akhirnya bisa diselamatkan, hanya karena tidak bisa melunasi uang piknik sebesar Rp. 155.000,-. Dan yang terakhir, seorang siswi SMK Negeri di Yogyakarta, EA (17 tahun) juga ditemukan mati tergantung pada kerangka pintu rumahnya. Untuk kasus bunuh diri yang terakhir ini, penyebabnya belum jelas.
Membaca berita-berita bunuh diri di kalangan siswa itu, kita tersentak. Selama ini konsentrasi kita hanya tertuju pada bagaimana agar siswa-siswi kita mendapat nilai yang maksimal dalam setiap pelajaran. Terlebih lagi ketika nilai beberapa mata pelajaran dijadikan patokan kelulusan dalan ujian nasional. Kita begitu disibukkan dengan pemberian latihan beratus-ratus nomor soal bagi siswa, memberikan les-les tambahan berpuluh-puluh jam dan men-Try Out mereka terus menerus. Kita sama sekali tidak sadar, bahkan mungkin tidak tahu, bahwa ada yang lebih penting daripada sekedar mendapat nilai-nilai yang fantastis di setiap pelajaran. Benar, hidup mereka berjuta kali lebih penting daripada semua prestasi akademis. EA, siswi salah satu SMK Negeri di Yogyakarta yang bunuh diri beberapa bulan yang lalu, dikatakan sebagai anak yang tergolong pandai di sekolahnya. Tapi toh akhirnya, kepandaiannya itu tidak ada artinya lagi ketika dia telah terbujur kaku. Kita tersentak bukan kepalang dengan rentetan kejadian itu. Selama ini, apa yang kurang dari kita? Apa yang salah dari sistem pendidikan kita?
KETRAMPILAN EMOSI
Orang-orang yang baik prestasi akademisnya memang cenderung memperoleh pekerjaan yang mapan, bahkan gaji yang besar. Jadi, sistem pendidikan kita tidaklah salah seratus persen. Tapi untuk menjadi orang yang sukses tidak harus selalu berprestasi secara akademis. Anda mau bukti? Inilah pendiri bisnis Es Teler 77 yang sukses, Sukyatno Nugroho. Dia bukanlah seorang Doktor lulusan Amerika yang cerdas seperti Muhammad Yunus. Dia hanya mempunyai ijazah SMP saja. Tapi kerja keras dan semangat tak gampang menyerahnya menghantarkan dia menjadi orang yang mapan lantaran bisnis Es Telernya yang berkibar hingga ke mancanegara.
Apa yang diajarkan oleh Sukyatno melalui perjuangannya meraih kesuksesan sama dengan apa yang ditulis oleh DR. Daniel Goleman dalam bukunya yang berpengaruh, Emotional Intelligence, sebagai kecerdasan emosi. Goleman menulis bahwa kecerdasan emosional tercermin pada Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Sukyatno pernah ditipu orang ketika ia merintis usahanya. Dia pun mengalami pahitnya menjadi bangkrut. Tapi dia tidak frustrasi dan berdiam diri, dia bangkit lagi dan sukses. Sukyatno, yang lulusan SMP itu membuka mata kita bahwa prestasi akademis bukanlah segala-galanya. Dia adalah contoh hidup dari orang yang mempunyai Kecerdasan Emosi.
Banyaknya kasus bunuh diri di kalangan siswa mengindikasikan bahwa siswa-siswa kita belum mempunyai ketrampilan emosi yang memadai. Seorang pengamat pendidikan, Darmaningtyas, menyatakan bahwa bunuh diri di kalangan siswa disebabkan oleh faktor Kemiskinan, Psikologi, dan oleh pemberitaan di media masa. Ada korelasi yang saling menguatkan antara ketiga faktor yang disebutkan oleh Darmaningtyas di atas. Masa anak-anak dan remaja merupakan masa transisi menuju dewasa. Di masa transisi ini akan banyak timbul gejolak kejiwaan yang bisa mengakibatkan seorang anak terjatuh dalam kondisi depresi. Di saat-saat seperti inilah mereka memerlukan komunikasi yang bisa �mengangkat beban� mereka. Tetapi keadaan ekonomi (kemiskinan) yang menekan keluarga membuat orang tua mengabaikan komunikasi intensif dengan anak-anak mereka dan membiarkan mereka bergaul dengan televisi (media masa), yang mengajari banyak hal negatif kepada mereka tanpa mereka sadari, dalam jumlah jam yang panjang.
Bagi anak-anak dan remaja, sesuatu yang kita anggap sepele bisa jadi merupakan sebab terjadinya depresi. Pada anak-anak, masalah kecil seperti mendapat nilai yang buruk pada pelajaran tertentu ketika teman-teman sekelasnya mendapat nilai yang bagus, bisa menimbulkan rasa pesimis yang berkembang menjadi depresi. Pada remaja, mereka yang merasa ditolak dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya karena kekurangan di sisi tertentu pun bisa menyebabkan depresi.
Di luar sebab-sebab di atas, kemiskinan juga merupakan sesuatu yang dapat mengguncang kejiwaan anak-anak dan remaja. Greg Duncan dan Patricia Garret melaporkan hasil penelitian mereka bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin, pada umur 5 tahun sudah merasa ketakutan, cemas, dan murung daripada teman sebayanya yang berkecukupan. Bahkan mereka juga punya banyak perilaku yang menyimpang.
Pemberitaan di televisi, kemudian semakin memperburuk kondisi. Berita-berita kriminal, alih-alih menjadi media untuk menginformasikan tindak kriminal dari berbagai belahan bumi nusantara malah menjadi tontonan yang ditiru. Kita ingat bahwa selang beberapa minggu setelah kasus bunuh diri satu keluarga diberitakan media, ditemukan lagi kasus yang serupa di tempat lain. Jika lingkungan dan media masa menjadi faktor masalah, sedangkan keluarga belum mampu menjadi tempat yang menguatkan mental anak-anak untuk menempuh kehidupannya, harapan terakhir kita tumpukan pada :
SEKOLAH SEBAGAI TEMPAT PENDIDIKAN EMOSI
Bagaimana menjadikan sekolah sebagai tempat pendidikan emosi? Sebab untuk melatih agar siswa trampil mengelola emosi, guru harus bekerja ekstra diluar kewajiban yang selama ini telah mereka tunaikan, serta diperlukan peran serta masyarakat. Sedangkan para guru sudah memikul beban yang begitu berat dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Apakah dalam kondisi yang seperti ini para guru harus menambah lagi satu pelajaran untuk menunjang ketrampilan emosi? Jawabannya, tidak. Materi-materi untuk melatih ketrampilan emosi para siswa dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada.
Mari saya antarkan anda pada beberapa contoh agar apa yang saya maksud di atas lebih kongkret. Dalam pembelajaran bahasa Inggris kelas VII, ketika para siswa dikenalkan pada jenis-jenis teks, jenis teks naratif mungkin bentuk bacaan yang paling diminati siswa. Kita bisa memberikan teks �Srigala dan Burung Bangau�. Perilaku srigala yang mempermainkan perasaan burung bangau dengan menghidangkan sup dalam piring yang tidak mungkin bisa dimakan oleh bangau dapat dikembangkan untuk pelajaran speaking (berbicara) dengan mendiskusikan tentang nilai-nilai persahabatan dan mengungkapkan bagaimana perasaan kita jika dipermainkan oleh orang lain. Dari sini diharapkan para siswa bisa menghargai perasaan orang lain. Pada tahapan berikutnya, kita bisa menyajikan cerita yang lebih kompleks, yang mencakup berbagai jenis kecerdasan emosi seperti; apa yang harus kita lakukan ketika marah, depresi, pesimis ataupun ketika merasa ditolak dalam pergaulan serta ketika mendapat kegagalan-kegagalan kecil dalam hidup. Pola yang serupa juga bisa diterapkan untuk mata pelajaran sejarah ketika memaparkan peristiwa-peristiwa sejarah yang memungkinkan untuk dikembangkan sebagai bahan diskusi yang mengajarkan ketrampilan emosi.
Dalam pelajaran matematika, pembahasan Faktor Persekutuan Terbesar (FPB) dan Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) sebagai contoh, kita bisa membuat soal cerita yang dikerjakan secara berkelompok. Guru membagikan 3 kue kepada masing-masing kelompok yang terdiri dari 3 anak. Kemudian guru menginstruksikan kepada murid-murid bahwa mereka baru boleh memakan kuenya setelah menyelesaikan soal yang berbunyi : Alarm Budi berdering 5 menit sekali. Alarm Tono berdering setiap 10 menit sekali dan alarm Roni berdering setiap 15 menit sekali. Pada menit keberapa alarm mereka berdering bersamaan? Setelah mereka mendapatkan jawaban, guru kembali menginstruksikan bahwa mereka harus menunda keinginan mereka untuk memakan kue beberapa menit, sesuai dengan jawaban dari soal cerita yang telah mereka selesaikan. Nah, sambil menunggu saatnya memakan kue itulah, guru menjelaskan bahwa apa yang mereka kerjakan memberikan pelajaran pada mereka bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, bahwa mereka harus memotivasi diri untuk belajar dan mengatasi godaan, bahwa menunda kepuasan (dalam hal ini adalah memakan kue) akan terus dituntut dari mereka di sepanjang kehidupan. Dan mereka harus berani menunda suatu kepuasaan demi meraih kepuasan yang lebih besar.
Demikianlah. Dalam pelajaran-pelajaran lain pun saya yakin ada materi-materi yang bisa kita gunakan untuk melatih kecerdasan emosi yang mencakup empati, melihat dari sudut pandang orang lain, kepedulian, mengendalikan dorongan hati, mengungkapkan perasaan dan menyelesaikan perselisihan. Bahkan pelajaran-pelajaran yang kelihatannya tidak mungkin. Di luar itu, pelajaran Agama dan PKn adalah dua mata pelajaran yang secara langsung dapat menyentuh persoalan-persoalan kecerdasan emosi.
Untuk menutup tulisan saya ini, saya katakan bahwa bisa jadi apa yang kita lakukan belum bisa memberikan hasil yang maksimal. Tapi kita harus melakukan sesuatu sembari berharap bahwa sedikit yang kita lakukan saat ini akan terus disempurnakan di masa mendatang.
Post a Comment