Latest News

Wednesday, April 9, 2008

KESADARAN SOSIAL GENERASI PLATINUM

Terbentang di hadapan, tantangan baru yang sangat luas. Tantangan untuk menjadi bagian dari dunia tanpa batas. Generasi baru mulai tumbuh untuk menjawab tantangan dunia. Generasi yang harus memiliki kompetensi tingkat dunia, melampaui generasi sebelumnya. Lintas bahasa, lintas budaya, lintas disiplin. Mendunia melewati batas negara. Generasi yang mengagumkan, menakjubkan. Mereka adalah anak-anak Indonesia, anak-anak kita. Generasi Platinum.

Demikian kalimat demi kalimat sebuah iklan susu formula yang mengenalkan jargon baru bagi suatu generasi yang diimpikan dan diharapkan, Generasi Platinum. Ibu mana yang tidak menginginkan anaknya menjadi anak yang cerdas? Anak yang cerdas, brilian, mengundang decak kagum banyak orang? Semua ibu menginginkan itu. Sebab itulah mereka menginvestasikan banyak uang untuk impian akan putra-putri yang akan menjadi kebanggaan keluarga. Membelanjakan uangnya untuk berbagai macam produk yang menunjang kecerdasan dan mengalirkan banyak dana ke lembaga-lembaga pendidikan atau kursus untuk mewujudkannya.

UKURAN KECERDASAN

Inilah lembaga-lembaga pendidikan atau kursus-kursus yang akan menentukan ukuran kecerdasan dalam diri anak :

a. Kursus Matematika dan Bahasa Inggris.

Anda pernah melihat iklan sebuah lembaga kursus yang berbunyi Matematika dan Bahasa Inggris sama dengan cerdas? Membaca iklan itu, secara tidak sadar, akan mendefinisikan ulang makna cerdas dalam pikiran kita. Sampai kini masih banyak yang menjadikan kemampuan di bidang Matematika dari seorang anak sebagai ukuran kecerdasan mereka. Walaupun Howard Gardner telah menulis bahwa kecerdasan itu tidak tunggal, melainkan majemuk (multiple intelligence). Banyak orang yang sudah mengenal temuan Gardner ini, tetapi tetap saja kecerdasan dipandang dari cakap atau tidaknya seorang anak menyelesaikan soal-soal hitungan. Yang cakap dalam menyelesaikannya, merekalah anak-anak yang cerdas, sedang yang tidak cakap, walaupun mereka punya kelebihan di bidang bahasa misalnya, mereka dianggap kurang cerdas atau cerdas di urutan kedua. Orang tua pun lalu memperhatikan dengan seksama nutrisi bagi anak dan mengusahakan latihan-latihan, baik dilakukan sendiri atau melalui jasa lembaga kursus tadi, agar anak-anak mereka cakap di bidang matematika.

Begitu pula bahasa Inggris. Sejak menjadi bahasa paling populer dan digunakan secara luas, banyak orang-orang kita yang kemudian mempelajari bahasa Inggris. Di masa-masa awal, bahasa Inggris dipelajari untuk digunakan sebagai alat untuk memahami karya tulis berbahasa Inggris dengan tujuan mengambil manfaat ilmu pengetahuan darinya. Sebutlah Bung Karno, Bung Hatta atau Haji Agus Salim yang sangat piawai menggunakan bahasa ini. Mereka menggunakan bahasa ini untuk berkomunikasi secara efektif dengan tokoh-tokoh luar negeri dalam berbagai kesempatan�termasuk berbagai macam perundingan�sebagai usaha untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Mempelajari Bahasa Asing dengan tujuan seperti ini sungguh luar biasa mulianya.

Walaupun kini, saya melihat telah terjadi pergeseran tujuan dalam mempelajari bahasa asing. Banyak yang mempelajarinya dengan tujuan agar hal ini dapat mengangkat prestise mereka. Lihatlah betapa banyak orang yang menggunakan istilah-istilah Bahasa Inggris untuk suatu makna yang sebetulnya telah ada dalam Bahasa Indonesia. Tidak ada lagi kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia yang telah mempersatukan ratusan etnis di negara ini yang menggunakan beragam bahasa daerah. Saya gregetan dengan seorang artis yang bangga benar menggunakan bahasa Inggris, padahal dia WNI, Warga Negara Indonesia.

b. Kursus musik

Telah ditemukan suatu penemuan yang menarik berkaitan dengan musik. Musik kini dipercaya dapat mempengaruhi kecerdasan seseorang. Musik klasik, menurut penelitian itu dapat menyelaraskan kinerja otak kanan dan kiri, sehingga dengan demikian akan sangat berpengaruh terhadap prestasi kerja atau prestasi belajar seseorang. Beberapa penelitian telah menunjukkan hal itu, demikian laporan yang ada. Bahkan dalam metode pengajaran bahasa Inggris, Dr. Georgi Lozanov mengenalkan dengan menerapkan suatu metode yang diberikan nama suggestopedia. Tiap sesi dalam waktu pembelajaran bahasa Inggris-sebelum, selama dan sesudah pembelajaran� Lozanov menggunakan musik untuk memaksimalkan kinerja otak. Lagi-lagi, laporan yang ada adalah musik berpengaruh secara signifikan dalam menunjang proses belajar bahasa Inggris. Kini, banyak yang menerapkan metode ini. Jika mendengarkan saja akan berdampak positif bagi kinerja otak, apalagi jika mampu memainkan suatu alat musik. Kursus-kursus musik bermunculan dan orang tua mendaftarkan serta mendorong anak-anak mereka untuk bermain musik. Diharapkan, jika mereka lihai memainkan alat musik, mereka juga akan lihai dalam berbagai pelajaran sekolah.

Dan masih banyak lagi kursus-kursus yang katanya jika mereka mampu melakukannya, berarti mereka pantas menyandang predikat cerdas. Antara lain, kursus komputer dan kursus kepribadian. Kita semua setuju bahwa berbagai macam tambahan pelajaran di luar sekolah ataupun kursus-kursus akan memberikan dampak positif bagi anak-anak kita. Entah itu banyak atau sedikit saja. Saya pun yakin kalau banyak orang tua yang mengikutkan anak-anaknya ke berbagai kursus itu dengan tujuan agar mereka siap dalam menghadapi tantangan zaman. Yang kemudian banyak diterjemahkan dalam berbagai jargon seperti generasi platinum yang saya sebutkan dimuka. Tetapi, menurut saya, suatu dampak positif pasti akan muncul beriringan dengan dampak negatifnya. Tulisan saya ini akan mengulas satu dari dampak negatif yang bisa jadi tidak disadari.

HILANGNYA KEPEKAAN SOSIAL

Yang saya maksud dengan dampak negatif adalah hilangnya kepekaan sosial anak-anak itu. Orang tua yang berusaha keras agar anak-anaknya menjadi bagian dari generasi platinum, mendorong mereka agar mengikuti berbagai macam kursus di tiap harinya. Berbagai macam kursus tadi, sekarang telah dikemas dalam bentuk yang menyenangkan dan tidak membuat bosan, malah seakan membuat anak ketagihan untuk mengikutinya. Tetapi inilah masalahnya, mereka menjadi kurang bergaul. Atau bergaul hanya terbatas dengan teman sekolah dan teman kursusnya saja.

Kemudian, hanya orang tua yang kaya saja yang mampu mengikutkan anaknya keberbagai macam les. Anak orang yang tidak kaya, tidak akan mampu melakukan itu. Dampak negatif dari hal ini adalah, timbul dalam pikiran anak-anak bahwa semua orang berkecukupan seperti dirinya. Mereka tidak sadar kalau biaya kursus mereka selama sebulan kadang lebih besar daripada biaya makan satu keluarga miskin dalam dua atau tiga bulan. Maka tidak terlihat adanya empati dari mereka ketika si Udin keluar dari sekolah karena malu belum bisa membayar uang buku. Mereka acuh tak acuh saja ketika mendengar si Tuti yang bunuh diri karena malu tidak bisa mengikuti karya wisata yang diselenggarakan sekolahnya, yang biaya untuk itu terlalu mahal bagi bapaknya yang bekerja sebagai buruh. Mereka bersikap biasa saja, karena mereka tidak pernah merasakan pahitnya hidup sebagai orang yang miskin.

Menjadi cerdas dan trampil tentu sangat menyenangkan. Tetapi tidak peduli dengan kekurangan yang dimiliki oleh orang lain adalah sesuatu yang tercela. Kehidupan kita tidak akan lepas dari orang lain. Kita tidak hidup sendirian di bumi ini. Kewajiban setiap orang untuk membantu orang lain yang kekurangan. Saya berpandangan, bahwa mendorong anak untuk cakap dalam berbagai bidang akan membatasi interaksi sosial mereka yang akan berdampak buruk pada rasa empati mereka pada orang lain.

Mungkin mereka cerdas dan trampil. Tapi hal itu tidaklah cukup berarti ketika mereka tidak peduli dengan lingkungan sosial mereka. Mari kita renungkan ilustrasi ini. Disekitar kita begitu banyak orang yang tidak mampu. Kalau keadaan seperti ini terus dibiarkan apa yang akan terjadi? Ketika anak-anak dari kalangan tidak mampu itu tumbuh dewasa, himpitan ekonomi akan mengarahkan sebagian dari mereka untuk bertindak kriminal yang meresahkan. Keamanan menjadi sesuatu yang mahal.

Keadaan terburuk kedua adalah mereka mengeksploitasi alam di luar yang semestinya, yang akan berdampak pada keharmonisan alam. Yang sering terjadi, betapa banyak hutan dirusak untuk tujuan berbaikan ekonomi? Hasilnya, bencana alam yang bertubi-tubi. Ini baru sebagian kecil saja. Sekarang, apa arti dari kesuksesan anak kita, ketika mereka hidup diantara kerusakan itu? Maka, mencetak generasi platinum tetap harus diiringi dengan memperhatikan kesadaran sosial meraka. Sikap mau menangnya sendiri dan tidak peduli hanya akan kontra produktif. Alvin Weinberg, Direktor Oak Ridge National Laboratory dan pendiri IntituteFor Energi Analysis, yang pernah mengalami masa-masa ketika muncul keyakinan bahwa teknologi yang akan datang menawarkan obat bagi setiap penyakit manusia dan penyakit sosial mengatakan bahwa : �Kita hidup dalam suatu dunia-meta, dimana fokus kita terpancang pada teknologi mutakhir. Namun, persoalan terpenting adalah keluarga, komunitas dan tanggung jawab sosial. Siapa saja yang mencoba menjalani hidup dengan cara terbaik tanpa peduli pada kehidupan sosial mereka, akan mendapatkan yang sebaliknya. Dengan demikian, kita harus menyiapkan ketrampilan sosial anak-anak kita beriringan dengan ketika menyiapkan mereka menjadi generasi platinum. Semoga dunia akan menjadi tempat yang lebih baik untuk kita tinggali.


No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post