Latest News

Monday, June 30, 2008

OJO GUMUNAN

Beberapa waktu lalu, kita semua melihat, mendengar dan mengalami suatu keadaan yang saya sendiri belum pernah mengalaminya seumur hidup. Booming tanaman hias anthurium. Tanaman berdaun lebar ini begitu terkenalnya hingga semua lapisan masyarakat seolah tersihir ingin memilikinya. Obrolan � obrolan di pasar, di kantor, di kendaraan umum dan di jalanan, semua tempat umum dan privat bertemakan tanaman hias ini. Di toko � toko buku banyak tergantung tabloid � tabloid yang membahas tentang apa, bagaimana dan mengapa tanaman hias tersebut. Untuk satu tanaman hias, terbit sekian tabloid yang berbeda dan semuanya laku terjual. Luar biasa. Lebih ekstrim lagi saat pembicaraan beralih ke harga dari tanaman hias itu. Kadang kita tak habis pikir. Mengapa harga dari selembar daun bisa sedemikian mahalnya?
Banyak orang yang kemudian berinvestasi dalam bisnis penjualan tanaman hias. Beratus juta dikeluarkan untuk itu. Terbangung opini bahwa bisnis tanaman hias adalah bisnis yang cerah. Alasannya sederhana. Semua orang menginginkan agar rumah tempat tinggal dan lingkungan mereka menjadi asri dan indah. Satu hal yang hanya bisa dipenuhi oleh tumbuhan hidup. Maka, bisnis tanaman hias akan tetap abadi seiring abadinya keinginan manusia untuk mendapatkan keindahan.
Tindak kriminal yang diakibatkan oleh tingginya harga tanaman hias ini pun sangat banyak. Pencurian tanaman terjadi di mana � mana. Dilakukan oleh anak kecil sampai orang � orang dewasa siang dan malam. Dibandingkan mencuri motor, mencuri tanaman hias tentu lebih mudah. Sedang harga dari tanaman kadang dua kali lipat dibandingkan harga motor. Maraknya pemberitaan tentang tindak pencurian tanaman hias itu membuktikan betapa berharganya lembar � lembar daun anthurium.
Tapi kini, layaknya matahari yang ditelan langit sore, karisma anthurium memudar. Kalau dulu orang � orang menyimpan si tanaman mahal itu di samping tempat tidur, karena takut dicuri orang. Kini, mereka menduduki emperan � emperan rumah. Aman, tidak menggoda orang untuk melakukan pencurian. Tabloid � tabloid yang dahulu merajai toko buku pun, sekarang tinggal satu dua, bahkan tak ada. Penjual � penjual sang tanaman juga banyak yang gulung tikar dan mewariskan hutang sekian � sekian juta. Keuntungan yang telah diperkirakan sebelumnya, urung didapat. Topik pembicaraan kini banyak berubah.
Keadaan seperti ini menyedihkan kita semua. Mengapa kita sedemikian mudahnya terpengaruh? Merelakan uang jutaan rupiah melayang dari saku kita untuk kita tukarkan dengan beberapa lembar daun. Daun saja. Bukan makanan, bukan kendaraan, bukan pula produk teknologi. Tapi mampu membuat kita sedemikian terobsesinya. Apa alasannya? Ada beberapa. Pertama, ketika sebuah trend berkembang di sebuah komunitas, kita merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan trend itu. Dengan begitu, kita baru merasa sebagai salah satu anggota dari komunitas itu. Jika kita tidak menyesuaikan diri, timbul rasa dalam diri kita bahwa kita ditolak oleh komunitas. Orang di luar komunitas. Rasa ini membuat kita tidak nyaman bergaul dengan mereka.
Alasan kedua adalah prestise. Saat si tanaman menjadi sedemikian mahal dan tak mungkin terjangkau oleh orang � orang dengan penghasilan pas � pasan, memiliki tanaman itu menandakan bahwa kita adalah seseorang dengan uang yang melimpah. Status sosial kita tinggi. Orang dengan status sosial yang tinggi, akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik di masyarakat.
Tapi, jika kita mau merenungkan, kedua alasan di muka tidak pantas dikatakan benar. Untuk alasan yang pertama, kita katakan bahwa trend itu sengaja diciptakan. Bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Tujuannya tentu untuk kepentingan pemilik modal. Karena diciptakan, trend akan terus berkembang. Lalu, sampai kapan kita akan terus menjadi pengikut trend? Mampukah kita?
Naasnya, trend itu tidak hanya ada dalam satu lini kehidupan kita. Hampir di semua aspek kehidupan, kita diserang dengan berbagai trend yang menguji pendirian kita. Betapa banyak barang � barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan tetapi kita konsumsi hanya karena trend. Makanan misalnya, banyak orang yang makan di gerai � gerai makanan produk luar negeri karena dianggap keren. Makan di warteg tidak sekeren jika kita makan di Kentucky Fried Chicken, minum di Warung Kopi tidak bergensi seperti jika kita minum di Starbuck. Padahal makanan atau minuman di kedua tempat itu mahal. Tidak murah seperti di warung � warung lokal. Kita mau membayar mahal untuk sebuah trend. Itu yang sebenarnya terjadi. Bukan karena kita harus makan di sana.
Ya. Trend telah mempola makanan kita, pakaian kita, tempat tinggal kita, kendaraan kita dan termasuk cara kita dalam berkomunikasi. Kalau kita tidak berusaha untuk membatasi semua keinginan � keinginan kita, kita akan termakan oleh trend. Kita tidak bisa hidup merdeka sebagaimana yang kita harapkan. Kita diperbudak trend.
Bertahun � tahun lalu almarhum presiden Soeharto sering berpidato dengan mengusung jargon, OJO KAGETAN, OJO GUMUNAN, OJO DUMEH. OJO GUMUNAN berarti jangan gampang silau dengan apa yang terjadi di sekeliling kita. Semua yang terjadi di sekeliling kita itu bisa jadi hanya tipuan yang akan menjerumuskan kita. Berpendirian dan berusaha terus sederhana akan menyelamatkan kita


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, berpikir di sini.

Sunday, June 29, 2008

LULUSAN SIAP KERJA

Tanyakanlah kepada beberapa anak sekolah pertanyaan berikut; �Nak, apa tujuanmu hingga engkau mau belajar di sekolah? Saya yakin kebanyakan anak � anak itu akan menjawab bahwa dia bersekolah agar pintar dan nanti bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Bisa hidup senang dan tidak tergantung kepada orang lain. Jarang anda temui anak � anak yang menjawab bahwa tujuan mereka adalah untuk mencari ilmu. Hanya berhenti di ilmu. Bahkan mungkin, dalam sebuah kesempatan, anda tidak menemukan seorang anakpun yang menjawab semacam itu.
Yang umum, seseorang bersekolah dengan berharap kelak di kemudian hari dia mendapatkan pekerjaan yang layak. Keadaan semacam ini telah dikondisikan oleh lingkungan semenjak seseorang masih bayi. Dengarlah dendang ibu � ibu saat mereka menimang � nimang bayi mereka. Senandung mereka seragam; dadio bocah pinter, supaya dadi dokter (jadilah anak yang pandai, agar kelak menjadi dokter). Harapan seperti ini tidak sepenuhnya salah. Yang menjadi pertanyaan, apakah sekolah mampu meluluskan siswanya dalam kondisi yang siap kerja?
Beberapa jam yang lalu sampailah kabar kepada saya tentang seorang anak lulusan SMK swasta di kota saya. Selepas lulus dari sekolahnya, anak ini pergi merantau ke Malaysia sebagai baby sitter. Kondisi ekonomi keluargalah yang membuat anak bau kencur ini nekat pergi ke negeri seberang mengadu nasib untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa minggu bekerja di sebuah keluarga Malaysia, Nampak kecerdasan lulusan SMK itu di mata majikannya. Ternyata, sembari mengasuh anak sang majikan, si baby sitter ini mengajak anak majikannya berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sang majikan memandang bahwa tidak sepantasnya seorang anak secerdas itu menjadi seorang pengasuh. Maka majikan Malaysia itu pun mencari pembantu lain. Sedang sang baby sitter lulusan SMK? Dia diberhentikan sebagai baby sitter. Sang majikan menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan lain; mengajari anaknya bahasa Inggris.
Kompetensi telah mengangkat seorang baby sitter menjadi seorang pengajar. Bahkan, menurut beritanya, TKW asal Indonesia ini tidak hanya mengajarkan bahasa Inggris kepada anak majikannya belaka. Tetangga � tetangga lain juga menggunakan jasanya. Betapa bangganya TKW kita ini. Kini, dia tidak hanya bekerja lebih ringan melainkan uang yang dia peroleh pun lebih besar. Di saat santer terdengar berita � berita tentang TKW kita yang disiksa di negeri jiran, kita tidak perlu khawatir TKW kita yang ini mendapatkan perlakuan serupa.
Tetapi, berapa lulusan SMK kita yang memiliki kompetensi serupa kisah nyata di atas? Maksud saya, berapa anak lulusan SMK yang benar � benar bisa bekerja dengan memanfaatkan ilmu yang dia dapatkan di sekolah? Masih saja kita jumpai lulusan � lulusan sekolah kita yang menganggur. Ini artinya, apa yang dipelajari seorang siswa di sekolah belum menjamin dia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Apa sebabnya?
Bisa kita lacak dari anak SD yang berangkat sekolah. Karena biasa melihat pemandangan ini, mungkin anda tidak begitu jeli memperhatikan. Lain kali, lihatlah tas yang dibawa oleh anak � anak SD itu. Tas � tas itu pasti berat dengan ragam buku pelajaran. Artinya apa? Artinya, sejak SD anak � anak kita harus sudah belajar banyak. Demikian seterusnya sampai mereka memasuki SMP dan SMA. Jika anda orang tua dan memiliki anak yang sekolah, saya yakin anda pernah bertanya kepada anak � anak anda tentang pelajaran yang mereka pelajari di sekolah. Saya pernah menanyai anak sekolah tentang sebuah pembahasan. Katanya, dia sangat kewalahan dengan pelajaran yang dia dapatkan di sekolah. Belum lagi paham dengan sebuah pembahasan, guru sudah beralih ke pembahasan yang lain. Semua itu didasari alasan mengejar target kurikulum.
Sepertinya kurikulum pendidikan kita tidak bersahabat dengan anak didik kita. Kurikulum yang terlampau berat dan membuat jenuh itu, alih � alih membuat anak kita menjadi pandai malah mengakibatkan mereka bosan belajar. Sepertinya filosofi kurikulum pendidikan kita adalah belajar sebanyak � banyaknya. Bukan belajar sebaik � baiknya.
Yang terbaik saya kira, kurikulum pendidikan kita seharusnya ditujukan untuk membuat anak didik menjadi bisa dengan apa yang mereka pelajari. Bukan mengusahakan mereka menjadi ahli dengan apa yang mereka pelajari. Kurikulum untuk bahasa inggris misalnya, ditujukan agar anak � anak kita mampu berkomunikasi dengan bahasa itu. Bukan untuk membuat mereka menjadi paham dengan seluk beluk bahasa. Kurikulum seperti itu akan menjaga semangat belajar mereka. Jika semangat itu ada, suatu saat nanti bisa jadi mereka menjadi ahli dengan belajar yang didasari dorongan dari dalam diri mereka sendiri.
Belajar adalah sebuah proses yang mestinya berlangsung seumur hidup. Jika sejak awal kita telah mematikan mekanisme berproses itu, pembelajaran yang berlangsung seolah hanya menjadi aktivitas kosong belaka. Anak � anak kita akan memandang sekolah sebagai beban yang memberatkan. Bukan sesuatu yang menarik hati. Layaknya makanan bergizi yang disajikan ala kadarnya, sedikit saja orang yang berkenan mencicipinya.



Saturday, June 28, 2008

PACITAN BOOK FAIR

Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya kota kecilku ini mengadakannya juga. Pacitan Book Fair, nama yang keren. Terbayang dalam benak saya suatu pameran buku yang besar dengan penerbit � penerbit besar dari seluruh nusantara. Saya pernah ke Jogja Book Fair dan dalam bayangan saya pameran yang akan terselenggara di Pacitan ini akan semeriah dan semegah yang telah dilaksanakan di Jogja. Buku � buku yang melimpah dan dengan harga diskon yang membuat hati nyaman. Setidaknya, kehausan akan buku bermutu yang menjadi keinginan akan segera terwujud dengan uang yang tidak begitu memberatkan.

Kemarin (28/06), setelah menunggu � nunggu, pameran buku itu pun terselenggara juga. Dengan semangat saya ajak anak saya yang tua untuk mengunjunginya. Anak saya pun tertulari semangat yang sama. Saya tahu itu dari wajahnya yang riang gembira. Bersepeda kami berdua mendatanginya. Betapa terkejutnya saya sesampainya di sana. Pameran buku yang sepi senyap. Pengunjungnya belasan saja. Orang tua, orang muda dan anak � anak. Tidak banyak!. Lebih terkejut lagi saat tahu bahwa ternyata ada beberapa kios yang baru menyiapkan barang dagangannya. Saya ke pameran buku itu sore hari. Sedang pembukaan berlangsung di pagi harinya. Mestinya semuanya sudah siap pajang. Tapi? Ya itulah kenyataannya.
Sudahlah, saya tidak mempermasalahkan tentang pengunjung yang bisa dihitung. Tentang barang dagangan yang belum siap digelar pun bukan masalah yang besar. Niat saya toh untuk melihat �lihat buku dan membeli barang satu dua kalau ada yang menarik hati. Dan benar saja. Di sudut sana ada buku kecil tipis tentang Bill Gates, pendiri Microsoft Corporation yang terkenal dermawan. Saya ambil buku itu dengan penuh ketertarikan. Segel masih utuh. Tapi tampilan buku itu jelas jika bukan buku baru lagi. Saya bawa buku itu ke penjaga untuk menanyakan harga. Lima puluh ribu berapa katanya.
Sekali lagi saya kaget. Buku lusuh itu masih sedemikian mahalnya? Apalagi jumlah halamannya paling seratusan lebih. Saya urung membelinya meskipun saya suka. Dua puluh atau tiga puluh ribu saya mungkin masih mau. Tapi lima puluh lebih, terlalu mahal bagi saya. Ini buku terjemahan, kata penjaganya, pantas kalau berharga mahal. Apalagi beberapa saat lalu harga kertas naik, ditambah lagi harga BBM juga ikut naik. Wajar kalau pameran buku ini sepi pengunjung. Tidak seramai pameran mebel misalnya. Uang segitu hanya untuk membeli beberapa lembar kertas tentu sayang. Terlebih jika harus tarik ulur dengan harga sembako. Tentu saja harga buku berada di urutan ke sekian. Yang terakhir bisa saja.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa sepinya pengunjung dikarenakan minat baca masyarakat Pacitan masih rendah. Orang masih suka menonton televisi daripada membaca buku. Lebih suka mengobrol daripada merenungkan makna dari tiap kalimat yang ada di lembar � lembarnya. Pendapat seperti itu tidak sepenuhnya salah. Bukan hanya di Pacitan. Di seluruh wilayah Indonesia ini masih banyak yang belum suka membaca. Berarti rugi mengadakan pameran buku itu. Biaya operasionalnya tentu banyak. Sedang buku yang terjual sedikit. Tidak, saya kira.
Bulan mei yang lalu, Universitas Harvard dan Universitas California San Diego melaporkan pengamatan mereka terhadap perokok dan komunitas di sekeliling mereka dalam The New England Journal of Medicine. Dari pengamatan selama 32 tahun itu diketahui bahwa seorang perokok akan berhenti merokok saat orang dekat di sekitar mereka juga berhenti merokok. Begitu juga sebaliknya. Seorang bukan perokok akan berganti menjadi seorang perokok saat orang di sekitar mereka juga merokok. Seseorang cenderung terpengaruh daripada mempengaruhi orang lain.
Dengan demikian, meskipun sepi pengunjung dan pembeli, pameran buku itu tidak sia � sia. Pameran � pameran buku semacam ini merupakan usaha yang baik untuk mempengaruhi orang yang belum punya minat membaca agar mendapatkan minatnya. Jika dalam sebuah kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, misalnya, ada empat saja separuh saja yang suka membaca, kita bisa berharap yang separuhnya lagi akan ketularan. Dan kesepuluh orang ini nantinya yang juga akan menularkan minat baca kepada komunitas � komunitas yang lain.
Pameran buku di sebuah kota kecil Nampak seperti sebuah usaha terlalu idealis yang tidak menguntungkan. Memang, tapi usaha kecil ini jika dilakukan secara kontinyu dan terjadwal, bukan tidak mungkin jika grafik pengunjung pameran buku akan terus meningkat. Karena efeknya yang seperti penyakit menular inilah, kita berharap bahwa pameran buku semacam itu, dan usaha � usaha lain semacam bedah buku, akan terus ada meskipun sepi. Dan sore itu saya keluar dari tempat Pacitan Book Fair dengan menenteng buku murah seharga lima ribu rupiah saja bagi anak saya. Saya yakin, buku tipis itu akan bermanfaat baginya.

Untuk membaca artikel tentang minat baca, silahkan klik membaca buku di sini.


MENGHAPUS STIGMA

Eric Hoffer, dalam bukunya, The True Believer, menulis, �Terdapat kecenderungan bagi seseorang untuk menilai sebuah ras, sebuah bangsa, atau kelompok manusia manapun yang tampak lain, berdasarkan anggota komunitas mereka yang paling tidak bermutu�. Sampai sekarang, pandangan Hoffer diatas nampaknya masih berlaku. Simaklah peristiwa berikut.

Peter Herman Bachtiar, seorang Indonesia asli berusia 39 tahun yang bekerja untuk Siemens Voest Alpine Industieanlagenbau Metals Technologies GmbH, mendapatkan perlakuan yang bisa dikatakan mengoyak harga dirinya. Tugas Herman di perusahaan adalah membuat program otomatisasi pabrik baja. Pabrik baja di Turki, China, Austria, Rusia, Thailand, Arab Saudi, Perancis, Spanyol, dan Jerman pernah memakai jasa pria kelahiran Jakarta ini. Tapi, di awal kedatangan Herman di Negara � Negara itu untuk menunaikan tugasnya, tanggapan yang diberikan kepadanya selalu dingin dan skeptis. Banyak yang meragukan kemampuan Herman. Bisakah orang Indonesia mengerjakan proyek ini? Apa perusahaan tidak salah pilih?
Perlakuan yang seperti ini membuat Herman merasa perlu untuk menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Tekadnya kuat untuk membuktikan bahwa dia pun memiliki kemampuan yang dimiliki oleh orang � orang dari Negara maju. Kerja kerasnya berhasil. Dia tidak pernah mengecewakan orang � orang yang sempat ragu terhadapnya.
Apa yang pernah dialami Herman tidak hanya menyinggung pribadi Herman sendiri. Melainkan kita semua sebagai bangsa. Saat Jerman dipimpin Hitler, mereka berkeyakinan bahwa ras bangsa Arya lah yang punya kedudukan paling tinggi. Sedang ras manusia yang lain berada di bawahnya. Untuk itu, ras manusia yang inferior harus melayani ras manusia yang superior. Suatu pandangan perbudakan yang sudah ketinggalan zaman. Tapi, bisa jadi pandangan seperti ini masih juga melekat di beberapa orang � orang Eropa.
Ketersinggungan serupa itu adalah hal yang wajar saja. Sebagai manusia umumnya, kita tentu mengharapkan kesetaraan. Tidak ada yang lebih dan kurang. Semua manusia sama. Kita semua punya hak yang sama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Hanya saja, menurut saya, perasaan superior dibandingkan manusia yang lain timbul karena kemampuan dan kelebihan yang bisa jadi diakui secara luas. Pengakuan seluruh manusia atas kemampuan dan kelebihan selama bertahun � tahun itulah yang kemudian menimbulkan kesombongan. Maka, untuk menghindari terjadinya kesenjangan yang akan menimbulkan kesombongan itu, setiap golongan manusia harus mempunyai kemampuan yang sama. Sesuatu yang masih sulit terwujud meski bisa diupayakan.
Perlakuan yang tidak mengenakkan hati serupa yang dialami oleh Herman di muka mestinya tidak membuat kita menjadi reaktif. Melihat ke dalam untuk kemudian berbuat nyata secara terstruktur dan kontinyu harus kita lakukan. Seperti Herman, dia tidak kemudian marah � marah dengan pandangan orang terhadapnya. Dia malah bersikap positif. Bertindak proaktif dengan meningkatkan kualitas kinerjanya sehingga orang menjadi percaya kepadanya. Kesetaraan antara manusia yang kita tuntut harus kita perjuangkan. Tidak patut bagi kita untuk menunggu orang lain memberikan kesetaraan itu bagi kita.
Saat saya masih SD, saya ingat betul tentang sebuah kisah ASEAN yang saya baca di perpustakaan sekolah. Alkisah, seorang raja dan menteri sedang bepergian dengan menaiki kapal di atas sungai yang didayung oleh dua orang lelaki. Sang raja dan sang menteri tertidur. Melihat keadaan itu seorang pendayung mengeluhkan keadaan dirinya. Mengapa harus mereka yang mendayung sedang raja dan menteri tidur. Bukankah semua manusia sama? Demikian kata sang pendayung.
Celakanya, ternyata sang raja tidak tidur lelap. Dia mendengar keluhan sang pendayung. Tapi dia diam saja. Tak menyanggah dan tetap berpura � pura tidur.
Ketika tiba mereka di sebuah kuil, sang raja meminta sang pendayung melihat adanya anjing di kuil itu. Sang pendayung berangkat dan melihat anjing itu, lalu melaporkannya kepada sang raja. Sang raja bertanya berapa jumlahnya. Si pendayung kembali ke kuil untuk menghitung dan kembali untuk melaporkannya kepada sang raja. Lalu sang raja kembali bertanya tentang warna si anjing. Si pendayung pun kembali lagi untuk melihatnya. Terus begitu. Setiap si pendayung kembali untuk melaporkan apa yang menjadi pertanyaan sang raja, kembali sang raja menanyakan pertanyaan lain hingga beberapa pertanyaan.
Setelah itu, sang raja menitahkan kepada sang menteri untuk melihat kucing yang juga ada di sekitar kuil. Sang menteri pun berangkatlah. Sekembalinya sang menteri, sang raja menanyakan pertanyaan demi pertanyaan yang dijawab langsung oleh sang menteri tanpa kembali lagi ke kuil untuk mendapatkan jawabannya. Merasa puas dengan jawaban sang menteri, sang raja menoleh kepada sang pengayuh dayung sembari mengatakan bahwa memang tiap manusia sama tapi kemampuan tiap oranglah yang membuat mereka berbeda.
Begitu pula dengan kita saat ini. Saat Negara dan bangsa lain memandang kita sebelah mata, tidak selayaknya kita bersikap reaktif berlebihan. Melihat ke dalam diri kita dan berusaha mencari dimana posisi kita diantara Negara � Negara dunia harus kita lakukan. Memetakan kemampuan dan kelemahan kita untuk meningkatkan kemampuan ke level maksimal dan meminimalisir kelemahan mesti kita kerjakan. Memulai dari hal � hal yang kecil, yang berada dalam jangkauan kita, tapi dengan ketekunan dan kesinambungan yang pantang menyerah. Sembari terus berharap, kita berusaha. Jika tidak demikian, mungkin kita harus puas dengan menjadi sang pendayung perahu.



Friday, June 27, 2008

MENGAPA SAYA BERSEPEDA?

�Satu sepeda lebih baik daripada satu truk obat � obatan�
(Pepatah Jerman)

Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang rekan saya lima tahun yang lalu. Saya terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Bahkan mungkin pada saat itu saya kaget. Mengapa ada pertanyaan remeh temeh seperti itu yang diajukan kepada saya?. Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih bermutu? Tapi, meskipun remeh, ternyata pertanyaan itu tidak bisa serta merta saya jawab seketika itu juga. Saya memang suka bersepeda kemanapun saya suka, selama terjangkau dengan bersepeda tentunya, dan saya menikmatinya. Saya tak pernah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan serupa itu.

Tapi, setelah saya pikir � pikir, ternyata saya punya alasan dari mengapa saya bersepeda. Saat itu, saya adalah seorang guru GTT yang bayarannya hanya cukup untuk beli garam. Maka, sepeda adalah alat transportasi paling logis untuk kondisi saya saat itu. Sepeda adalah titian yang sangat ekonomis dan tidak mengancam saya dengan pengeluaran yang besar dan tidak perlu. Lagipula, menurut saya, ada pemandangan � pemandangan yang tidak bisa dilihat oleh pengendara sepeda motor apalagi mobil. Dengan mengayuh sepeda, mata saya bisa jelalatan memandangi berbagai hal yang ada di sisi kiri dan kanan jalan dengan detil. Di sebelah jalan anu, ada tukang jahit baru. Di ujung gang itu ada penjual pecel yang tiap pagi pasti ramai dengan pembeli. Pembeli datang pasti karena rasa pecel yang enak dan murah. Lain kali bisa saya coba. Di sebuah toko ada diskon atas berbagai macam pakaian, nah ini bisa untuk penghematan.
Pemandangan serupa itu pasti tidak bisa dinikmati oleh seorang pengendara mobil atau sepeda motor karena kecepatan mereka tak serupa sepeda. Ini keuntungan yang dimonopoli oleh pengendara sepeda dan pejalan kaki saja. Ya bisalah dinikmati oleh pengendara sepeda motor atau mobil jika mereka mau mengendarai motor dan mobilnya dengan kecepatan super lambat atau kalau cepat mereka harus siap � siap menanggung resiko menabrak pengguna jalan lain. Saya kira kedua hal itu � berjalan lambat atau cepat tapi berisiko menabrak � adalah hal bodoh bagi mereka. Buktinya saya belum pernah melihat kedua pengendara alat transportasi bermotor itu mengendarai kendaraannya dengan kecepatan selambat keong. Yang ada berlomba cepat � cepatan seolah berada di arena balap.
Lima tahun berlalu. Saya bukan GTT lagi. Sudah ada sedikit perbaikan dari sisi ekonomi. Dan sekali lagi, kemarin lalu, saya mendapatkan pertanyaan serupa yang diajukan kepada saya bertahun yang lalu. Celakanya, saya masih juga belum bisa cekatan menjawabnya. Masih diam sebentar. Merenungkan alasan mengapa saya masih terus bersepeda. Belum juga saya jawab, rekan yang mengajukan pertanyaan itu menasehati saya. Katanya, sepeda motor sekarang murah � murah dan irit bensin. Banyak dealer yang menawarkan kredit ringan. Gaji saya sebulan masih cukup untuk membayar kreditan sekaligus memenuhi kebutuhan � kebutuhan lainnya. Lagipula istri saya juga bekerja. Benar juga, kata saya. Masih kata teman saya, dengan bersepeda motor, waktu kita menjadi lebih efisien. Saat dia mengatakan hal ini buru � buru saya timpali bahwa saya tidak pernah terlambat masuk kelas meskipun saya naik sepeda.
Beberapa bulan lalu di Bali, diselenggarakanlah sebuah pertemuan Negara � Negara di seluruh dunia. Mereka berdiskusi tentang semakin panasnya bumi. Pemanasan bumi (global warming) itu terjadi karena peningkatan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik � pabrik dari Negara industri dan juga kendaraan bermotor. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pengolahan limbah dan sampah yang baik. Serta semakin gencarnya penggundulan hutan dan minimnya reboisasi.
Suhu di bumi semakin panas. Di puncak bogor tak bisa lagi ditemukan halimun dan cuaca yang begitu dingin seperti tahun � tahun lalu. Di Malang, banyak pohon apel yang gagal panen. Kedua hal itu hanya contoh dari dampak pemanasan global yang masif. Yang lebih mengerikan, seringkali kita lihat di negeri kita ini, saat musim kemarau, banyak penduduk yang kekurangan air. Tapi begitu musim hujan datang, penduduk kita dikepung banjir. Dua kondisi yang sama � sama membahayakan keselamatan jiwa manusia. Apa ini yang menjadi alasan saya untuk tetap naik sepeda? Saya belum bisa terburu � buru menjawab. Saya renungkan dulu.
Saat saya kuliah, saya pernah membaca artikel tentang Herbert Feith, seorang Indonesianis dari Australia. Saat mengajar di UGM, doktor tua ini naik sepeda ke kampus. Dan kematiannya di tahun 2003 juga ketika dia sedang mengendarai sepedanya. Saya membaca artikel tentang Belanda yang telah menjajah Indonesia tiga setengah abad dan sampai saat ini masih juga sepeda yang menjadi transportasi utamanya.
Saya pernah membaca artikel tentang asketisme yang mengatakan bahwa kesederhanaan akan menumbuh suburkan semangat berjuang. Seorang yang terbiasa sederhan, terbiasa susah, terbukti mempunyai semangat juang yang besar. Mereka mempunya energi yang tidak dimiliki oleh mereka yang biasa hidup enak � enakan dan nyantai. Bersepeda juga menyehatkan tentunya. Ini tambahan saja. Karena saya yakin anda telah mengetahuinya.
Apakah kesemua hal diatas mempengaruhi saya untuk selalu bersepeda? Setelah merenung beberapa saat saya katakan, mungkin ada benarnya. Kebutuhan saya banyak, saya harus melakukan penghematan. Dan saya seorang guru. Saya harus mempunyai daya juang yang besar agar bisa diteladani oleh murid � murid saya. Saya juga merasa berkewajiban untuk menjaga kelangsungan bumi ini agar tetap bisa ditinggali anak cucu saya dengan nyaman di hari depan. Benar, sepertinya itu alasan saya. Jika nanti ada rekan yang mengajukan pertanyaan mengapa saya bersepeda, saya akan jawab dengan mantap.




Untuk membaca artikel terkait,silahkan klik, guru kaya di sini.

SEKOLAH (CALON) PREMAN

Fisik orang Indonesia kecil � kecil. Di atas kapal, orang � orang Indonesia yang kecil � kecil itu harus berinteraksi atau membawahi orang Eropa atau Amerika yang secara umum berbadan tinggi besar. Ukuran badan tidak bisa direkayasa. Tapi, mental bisa. Maka, walaupun berbadan kecil, orang � orang Indonesia harus bermental besar. Mental yang besar harus dibentuk dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan mendapatkan tekanan � tekanan fisikal.

Tekanan verbal belum cukup. Dengan deraan fisik yang menyakitkan, mental yang kuat dari tiap taruna akan terbangun. Pada saatnya nanti, mental yang baik itu akan sangat berperan dalam meningkatkan kinerja para taruna di atas kapal. Demikian kata seorang wakil dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran ( STIP ) dalam sebuah dialog di televisi.
Benarkah untuk membangun mental yang kuat diperlukan kekerasan fisik? Dipukul dengan sangat brutal bahkan sampai menemui ajal? Sedemikian mahalkah harga suatu mental yang baik? Mental tangguh memang terbentuk dari kehidupan yang sulit. Hanya, apa yang dilakukan oleh para mahasiswa STIP sudah kebablasan.
Kepemimpinan dimodali oleh karakter yang kuat. Tanpa karakter bisa dikatakan bahwa tidak akan ada pemimpin yang berhasil. Tengoklah para pahlawan kemerdekaan kita, Panglima Besar Jendral Sudirman. Apakah beliau berbadan tinggi besar dan tegap? Buka � bukalah berbagai buku sejarah. Tiap foto yang tercantum nama Jendral Sudirman di bawahnya, adalah foto seorang lelaki kurus yang tampak benar jika sakit � sakitan. Apakah Jendral Sudirman seorang orator ulung, singa podium bak Ir. Soekarno? Saya belum pernah mendengar hal itu.
Tapi, kita semua pasti tahu bahwa Jendral yang sakit � sakitan itu adalah tokoh gerilya yang gigih. Kemana � mana ditandu oleh para prajurit, menempuh jarak ribuan kilo berjalan kaki. Apa yang menyebabkan orang sakit �sakitan bisa dipatuhi oleh orang � orang yang sehat? Bagaimana orang yang tidak mampu berjalan jauh bisa sedemikian disegani oleh kawan ataupun lawannya? Jawabnya, karena meskipun berfisik rapuh, beliau adalah orang yang berkarakter.
Karakter Jendral Sudirman terbentuk dari kehidupan jaman penjajahan yang serba sulit. Para tokoh pahlawan kita jelas bukan orang yang konsumtif. Yang bisa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat seperti sekarang. Mereka adalah orang yang terbiasa lapar. Mereka terbiasa kurang tidur. Terbiasa berjalan kaki.
Sedang kita saat ini, terbelit kencang konsumtifisme. Kita terbiasa terlayani dengan �fast and easy�. Kita terbiasa makan bermacam � macam jenis makanan sampai tidak ada lagi tempat di lambung kita. Kita orang � orang yang hobi tidur. Dan kaki � kaki kita juga bukan jenis kaki yang biasa berjalan. Mengayuh sepeda pun jarang. Ada mobil, ada motor. Mengapa berpayah � payah jalan kaki? Begitu pikiran kita.
Selain dari biasa hidup sulit, karakter Jendral Sudirman terbentuk juga dari niat yang benar. Semua pahlawan kita berjuang dengan tujuan kemerdekaan. Tidak ada embel � embel cari muka atau menjilat di sana. Sedangkan kita, seringkali niat tulus kita tercemari berbagai kepentingan. Kita tidak ikhlas.
Kembali ke kekerasan di dunia pendidikan, jika dikatakan bahwa kekerasan itu akan melahirkan mental yang tangguh, saya katakan, omong kosong. Kehidupan yang sulit di masa penjajahan membuat para pelaku sejarah menjadi tahan banting dan berjuang keras untuk menggapai apa yang dicita � citakan. Lantas, apakah mahasiswa yang dipukuli itu kemudian menjadi kuat pendirian dan tinggi semangat berjuangnya?
Di akhir pekan, kita masih bisa santai dan �kongkow � kongkow� di mall. Telepon genggam kita terus berganti dengan model terbaru. Kita masih saja berlomba mendapatkan kendaraan pribadi dan meninggalkan angkutan umum. Baju kita bermerek dan banyak jumlahnya. Kita lihat juga warung � warung makanan produk luar negeri selalu ramai pengunjung. Kita makan di situ bukan karena lapar. Tapi karena gengsi. Pola hidup yang seperti itu mematikan semangat juang. Tanpa semangat juang, karakter kita lemah. Pukulan � pukulan brutal di kampus � kampus itu tidak akan melahirkan pemimpin yang sebenarnya. Hanya akan melahirkan pemimpin kerdil berjiwa preman.





Wednesday, June 18, 2008

Korban Ujian Nasional



Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, tidak mempermasalahkan angka ketidaklulusan yang semakin meningkat tahun ini (KOMPAS,14/06/08). Menurut Bambang, angka ketidaklulusan tidaklah penting. Yang penting, menurutnya, adalah kejujuran dalam pelaksanaanya. Kenaikan angka ketidaklulusan menandakan bahwa ujian nasional telah dilaksanakan secara berakhlak dan berbudi pekerti. Dan ini baik.

Kejujuran, tidak dipungkiri lagi, merupakan perkara yang mutlak harus ada dalam pendidikan. Dalam dunia ilmu pengetahuan pun kejujuran adalah penentu bagi seorang ilmuwan untuk mendapatkan predikat ilmuwan yang baik. Sekali seorang ilmuwan ketahuan tidak jujur dalam berkarya, ia tidak lagi diperhitungkan, dan dikucilkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pastinya, kejujuran harus diusahakan sejak dini. Sejak masa-masa sekolah.
Mengapa kejujuran sedemikian pentingnya dalam dunia ilmu pengetahuan? Perubahan kearah yang lebih baik dari peradaban umat manusia selalu disebabkan oleh ilmu pengetahuan. Semakin berkembang ilmu pengetahuan, bisa dipastikan, kehidupan manusia akan beranjak ke jenjang yang lebih berkualitas. Karena itu, jika seorang ilmuwan misalnya, mendaku suatu harga orang lain sebagai hasil karyanya, kemudian hal seperti ini diikuti oleh orang lain, yang terjadi adalah kejumudan (stagnant) ilmu pengetahuan. Ini artinya, tidak akan ada perubahan peradaban manusia. Untuk itulah kejujuran dalam ilmu pengetahuan harus di pertahankan.
Maka, jika seorang pendidik atau keseluruhan pendidik sudah mulai berlaku curang dalam proses pendidikan, dalam proses mendewasakan anak didik melalui transfer ilmu pengetahuan, tentu menyedihkan kita semua. Guru dalam proses pendidikan adalah Ing Ngarso Sing Tuladha (yang didepan sebagai contoh). Jika guru sudah tidak lagi jujur, murid-muridnya akan menyeleweng.
Setiap guru yang masih memiliki nurani pasti berat hatinya untuk berbuat curang, berlaku tidak jujur. Setiap guru yang berdedikasi tentu akan mengalami pertentangan batin yang hebat saat melakukan kecurangan. Lalu, mengapa dari tahun ke tahun kita masih saja mendengar kecurangan itu?
Karena tidak lulus adalah beban mental sangat berat. Beban mental yang harus dipikul setiap siswa karena ketidak lulusannya akan sangat berpengaruh pada proses belajar yang seharusnya berlangsung seumur hidup. Rasa kasihan para guru terhadap anak didiknya itulah yang mendorong mereka untu berbuat curang. Mereka sadar akan dampak negatif yang akan terjadi karena kecurangan itu, tapi rasa kasihan tadi telah mengalahkan idealisme para guru. Terjadilah hal yang kita sesalkan bersama.
Sekarang benarkah angka ketidaklulusan itu tidak begitu penting?. Dengan bercanda kita katakan, angkanya memang tidak penting tapi para siswa yang membuat angka itu sangat penting.
Banyak dari anak-anak yang tidak lulus itu akan mengalami depresi berkepanjangan. Walaupun saya yakin, lingkungan sosial tidak akan menambah beban mental mereka dengan menyebut mereka sebagai anak-anak bodoh, akan tertanam dalam pikiran mereka bahwa mereka bukan anak yang pintar.
Apakah anda tahu akibatnya jika anak-anak itu sudah tidak begitu yakin dirinya sendiri? Ketidak yakinan itu akan menghambat potensi diri yang luar biasa dari tiap siswa. Tiap orang mempunyai potensi yang luar biasa. Jika kemudian potensi iti tidak muncul, bisa jadi hal itu disebabkan ketidaktahuan akan potensi hebat yang dimilikinya. Nah, jika kemudian potensi itu tidak dapat diekploitasi lebih lanjut karena ketidakyakinan diri, betapa ruginya kita.
Selain dari sisi itu, tentu kita tidak akan lupa tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai sekolah. Sudah umum diketahui bahwa sekolah di negeri ini bukanlah sesuatu yang murah. Orang tua di sekeliling kita banyak yang bekerja keras untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Ikhlas orang tua itu membiayai sekolah anak-anak mereka disertai do�a agar anak-anak mereka bisa hidup lebih layak. Kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang mereka jalani. Apakah anda pernah memikirkan tentang perasaan para orang tua seperti ini ketika mereka harus manghadapi kenyataan bahwa anak-anak mereka tidak lulus?
�Berapapun banyaknya anak-anak yang tidak lulus dalam ujian tidaklah penting. Yang terpenting adalah kejujuran dalam proses pelaksanaan ujian itu�. Saya rasa perkataan semacam ini terlalu ceroboh.
Untuk membaca artikel yang berkaitan dengan UJIAN NASIONAL silahkan anda klik
ujian nasional di sini.



Friday, June 13, 2008

TETAPLAH MENULIS!



Ribuan tahun sebelum kita, manusia telah menuliskan kata-kata diatas batu untuk menginformasikan kepada generasi berikutnya apa-apa yang telah mereka capai atau apa-apa yang mereka telah gagal melakukannya, kini, kita kenal batu yang ditulisi itu sebagai prasasti. Prasasti yang terpendam ditanah selama ribuan tahun itu menunjukkan kepada kita bahwa tukar-menukar informasi, berita dan ide dalam pola tertulis adalah cara tertua kedua setelah tukar-menukar informasi dalam pola lisan.

Nah, jika demikian, mengapa kita tidak mengkomunikasikan sesuatu secara tertulis? Tertulis dalam bahasa Inggris?. Rata-rata kita menghabiskan waktu, paling tidak, enam tahun untuk mempelajari bahasa Inggris. Tidakkah itu cukup?. Sebenarnya, lebih dari cukup. Tapi, jika kita ceroboh dalam memanfaatkan waktu, seratus tahun pun bisa jadi tidak cukup.
Sebelum menulis, kita harus membaca ribuan kali terlebih dahulu. Kenyataanya, kita jarang memanfaatkan waktu kita untuk membaca. Guru kita, hampir tidak pernah memberi tugas membaca teks, buku, majalah atau koran berbahasa Inggris secara serius dan berkesinambungan. Mereka juga tidak pernah meminta kita untuk menuliskan laporan atas apa yang telah kita baca. Kita diajari tata bahasa Inggris, tapi kita bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Kita tahu bahwa simple present tense menggunakan kata kerja bentuk pertama, simple past tense menggunakan bentuk kedua dan bentuk ketiga akan digunakan untuk past dan present perfect tense. Tapi sering kali kita bingung saat kita diminta untuk berkomunikasi dengan orang lain secara tertulis. Aristoteles pernah menyatakan bahwa kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang. Itulah mengapa keunggulan adalah bukan apa yang kita lakukan tapi apa yang menjadi kebiasaan kita. Tidak ada jalan lain, dengan demikian. Kita harus membiasakan diri kita untuk menulis, jika kita ingin mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris tulis.
Hal terpenting dalam memulai menulis adalah: kita harus merasa tidak terbebani dengan kesalahan yang kita buat saat menulis. Tulislah apa yang akan anda ingin tulis. Untuk berapa saat abaikan kesalahan yang kita buat. Sudah diketahui secara luas bahwa draf penulisan awal adalah sampah. Karena bahasa Inggris adalah bahasa asing, tentu bisa dimaklumi jika kita membuat kesalahan. Percayalah, bahkan orang-orang yang memiliki bahasa asing itu pun sering membuat kesalahan.
Sekarang, saya sampaikan kepada anda apa saja yang kita bisa gunakan untuk membiasakan diri kita menulis. Pertama adalah surat. Mengapa para guru tidak memerintahkan murid-muridnya untuk menuliskan kesulitan-kesulitan yang mereka temui saat mengerjakan PR tata bahasa?. Murid-murid biasanya malu untuk mengakui bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan PR mereka. Dengan menuliskannya, tidak seorang pun yang tahu siapa saja yang tidak mampu menyelesaikan soal PR. Kesalahan yang terjadi dalam penulisan bisa dijelaskan dan dikoreksi oleh guru di depan kelas. Untuk tugas menulis berikutnya, kita bisa berharap kurangnya kesalahan atau bahkan tidak ada kesalahan sama sekali.
Dengan cara yang sama, jika mungkin, para siswa diperbolehkan untuk mengirimkan e-mail ke guru. Jika, pada akhirnya, murid-murid tidak lagi membuat kesalahan, mereka akan mendapatkan kepercayaan diri lagi.
Jika hal ini masih juga kurang efektif, kita bisa mencoba cara ke dua. Yang ke dua berikut adalah sesuatu yang sudah sangat populer saat ini. Betul, telepon genggam. Telepon genggam memungkinkan kita untuk mengirimkan sebuah pesan dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang mudah. Dengan menggunakan telepon genggam, kesalahan dalam menuliskan tiap kata bisa diminimalisir. Benarkah?. Telepon genggam biasanya dilengkapi dengan teks input T 9. Murid bisa menggunakan menu ini untuk menulis beberapa pesan ke guru mereka dengan kesalahan eja yang minimal. Teks input T 9 memungkinkan pengguna telepon genggam untuk menekan kunci di keypad dengan sekali tekan, dan kata yang diperkirakan akan muncul. Atau bisa dikatakan bahwa HP lah yang memprediksi kata yang diinginkan pengguna telepon dengan ejaan yang tepat. Dengan menggunakan menu T 9 kita cukup memperhatikan tata bahasa. Karena ejaan, secara otomatis, telah tertera dengan benar.
Yang saya sebut diatas bukanlah beberapa yang kita bisa gunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis. Masih ada lagi yang lainnya. Tapi, perjalanan seribu mil selalu diawali dengan langkah pertama. Jadi, mari kita duduk dan mulai menulis. Bebaskan diri kita dari kekhawatiran membuat kesalahan. Karena kita tidak tahu jika kita belum mencobanya. Teruslah menulis. Seperti saya saat ini. Anda mungkin menemukan kesalahan dalam tulisan saya, tapi anda akan tahu bahwa saya akan tetap menulis.
Untuk membaca artikel saya yang lain mengenai aktifitas menulis, silahkan klik blogging di sini.



Tuesday, June 3, 2008

Kritis Menerima Berita



Hanya dengan menyetorkan uang Rp 6.000,- anda akan mendapatkan Rp 6.000.000,- dalam waktu dekat. Demikian yang disampaikan dari mulut ke mulut. Saat itu, keadaan ekonomi masyarakat pada umumnya sangat memprihatinkan. Daya beli masyarakat juga masih rendah. Tidak heran jika iming-iming uang berlimpah itu menarik minat banyak orang. Terlebih ketika yang menyampaikan informasi itu, umumnya orang yang ditokohkan oleh masyarakat setempat. Orang-orang yang berpengaruh. Sulit untuk tidak percaya kepada mereka. Cuma, selang beberapa waktu, barulah orang-orang tersadar. Mereka telah membuat kesalahan yang bodoh.

Kalau ada pengguna telepon seluler, berhati-hatilah, besuk akan beredar SMS dan telepon dari pengirim yang menggunakan nomor berwarna merah. Telepon dan SMS itu adalah setan yang melakukannya.. Kalau anda menerima SMS dan telepon dengan ciri diatas jangan diterima. Untuk berjaga-jaga, ada baiknya anda matikan saja telepon seluler anda untuk beberapa saat. Semoga tidak terjadi malapetaka pada diri kita semua.
Secara berantai SMS berisi informasi sedemikian itu tersebar. Banyak orang tercekam rasa ketakutan. Banyak orang-orang mematikan teleponnya. Berhenti berkomunikasi untuk beberapa saat demi keselamatan jiwa. Bahkan ada yang mengirimkan SMS berisi �wirid-wirid penangkal� SMS setan.
Reaksi berlebihan nampak begitu terasa terhadap dua kondisi yang saya tuliskan di atas. Anda pasti ingat Yayasan Amalillah. Berapa banyak orang yang terlanjur menyetor uang dan kini bosan menunggu kapan harta karun itu muncul. SMS setan yang saya sebut terakhir adalah peristiwa yang menghebohkan orang secara massal. Secara individu, yang mungkin tidak terekam media massa dan bisa jadi masih terjadi sampai sekarang., banyak SMS yang berisi tipuan, bahwa si pengguna telepon seluler mendapatkan uang sejumlah sekian juta dari produk A. untuk mencairkannya, tinggal transfer beberapa juta saja. Uang terlanjur di transfer, hadiah tak kunjung datang.
Jelas sudah, semua itu hanya tipuan semata. Yang seharusnya menjadi perhatian kita, mengapa kasus serupa itu masih juga terjadi secara berulang? Bunyi pepatah, pantang jatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya belum juga bisa mengajari kita sepertinya. Kemarin tertipu, saat ini ditipu, mungkin lusa, masih juga bisa ditipu. Apa yang membuat kita seperti ini ?
Kita adalah bangsa pelupa, itu jawabannya. Yang sebenarnya terjadi, kita bisa terus menerus tertipu, karena kita lupa kalau pernah ditipu. Benarkah demikian? Benar. Karena kita masih suka berbicara. Tradisi lisan masih begitu dominan dalam masyarakat kita.
Tradisi lisan terbentuk dari perilaku mendengar dan melihat. Orang yang biasa berbicara adalah mereka yang mengkondisikan dirinya untuk mendapatkan informasi dari apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat. Bukan dari apa yang ia baca. Apa yang ia baca sangat kurang. Yang dominan adalah mendengar dan melihat saja.
Dengan kata lain, kita biasa lupa karena kita bukan bangsa literer. Kita belum terbiasa membaca dengan intensif. Seseorang yang membiasakan dirinya untuk membaca, membaca sebanyak-banyaknya, akan mengkritisi informasi apapun yang sampai padanya. Ketika dia mendapatkan sebuah informasi, dia akan lebih dulu mengambil jarak dari informasi itu. Benarkah demikian? Apakah ada kaidah ilmiah yang bisa mendukung informasi itu? Mengambil jarak yang saya maksud adalah, mereka meneliti informasi yang sampai kepada mereka terlebih dulu sebelum mereka bereaksi terhadapnya. Mempercayai atau meninggalkanya.
Orang yang bertradisi lisan secara dominan tidak mempunyai mekanisme berpikir seperti itu. Yang biasa dilakukan malah sebaliknya, mengatakan apapun yang dia dengar dan lihat tanpa ada kekritisan. Membaca informasi bermutu sebanyak-banyaknya akan meminimalisir kelupaan kita. Mari kita lakukan dari kita sendiri. Setelah itu mari kita tes tingkat kekritisan kita dengan pertanyaan berikut: Air, kini bisa menggantikan bensin. Percayakah anda ?.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai berpikir kritis, silahkan klik kritis di sini.



Monday, June 2, 2008

Tak Ada Buku, E-Book pun Jadi



Harga kertas naik sejak 1 April 2008 yang lalu. Ini artinya, harga buku juga akan naik. Terlebih, saat beberapa hari lalu, pemerintah juga menaikkan harga BBM. Padahal, lima puluh persen biaya produksi buku adalah untuk mendistribusikan buku-buku terbitan sampai ke tangan konsumen. Berarti, harga buku akan naik lagi? Pasti.

Kemudian, jangan lupa, sebentar lagi tahun ajaran baru. Orang tua harus menyiapkan dana yang lebih banyak dari tahun lalu untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke jenjang sekolah yang lebih tinggi atau meskipun hanya naik ke kelas berikutnya. Bukan hanya buku tulis, ballpoint atau pensil, buku-buku pelajaran pun harus dibeli. Buku tidak lagi bisa diwariskan seperti tahun-tahun lalu. Sekolah baru atau kelas baru, berarti buku pelajaran juga harus baru. Tidak peduli buku yang dipakai oleh kakak atau saudara lain masih layak dipakai, pokoknya buku itu tidak bisa dipakai lagi.
Tentu banyak orang tua yang pusing tujuh keliling dengan keadaan ini. Kebutuhan makan yang mahal. Menuntut untuk dipenuhi. Sedang pendidikan juga wajib ditunaikan. Lalu uang darimana? Banyak orang tua yang bekerja keras, mati-matian untuk memenuhi keduanya. Tapi, angka yang menunjukkan bahwa orang tua harus memilih satu diantara dua, menyekolahkan anak dan berarti siap untuk kelaparan atau tidak menyekolahkan anak agar tetap bisa bertahan hidup � dan biasanya pilihan yang kedua yang diambil � begitu besar pula. Antara tetap hidup atau berpendidikan, tentu lebih baik hidup meskipun tidak berpendidikan.
Untungnya pemerintah tanggap dengan keadaan ini. Pemerintah memberlakukan suatu kebijakan yang belum pernah dilakukan di dunia pendidikan Indonesia. Dengan menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 2 Tahun 2008 tentang buku, Pemerintah membeli hak cipta penulis buku-buku untuk kemudian mengunggahkan (upload) buku pelajaran yang sudah dibeli itu ke situs Internet. Orang tua bisa mengunduh (download) buku-buku pelajaran itu ke dalam e-book, disket, atau cakram (compact disc) secara gratis selama diniatkan bukan untuk tujuan komersial.
Kebijakan ini tentu menguntungkan orang tua. Selama ini orang tua harus mengeluarkan uang hingga bisa mencapai nominal Rp. 500.000,- hanya untuk membeli buku. Dengan adanya kebijakan pemerintah tentang buku pelajaran ini, orang tua bisa hanya mengeluarkan Rp. 10.000 saja untuk biaya foto kopi tiap buku pelajaran yang diunduh. Lumayan terjangkau Pastinya.
Sekarang, Bagaimana dengan daerah yang belum terjangkau jaringan internet? Untuk keadaan ini, pemerintah mengizinkan perorangan untuk mencetak buku-buku yang diunduh untuk kemudian dijual kepada para murid. Hal ini mengundang pertanyaan dari beberapa kalangan. Bukanlah dengan begitu terbuka celah untuk menjual buku cetakan dengan harga yang mahal? Pemerintah telah mengantisipasi hal ini. Pembatasan maksimal untuk harga buku hasil mengunduh adalah Rp 7.500 saja. Dan jenis kertas yang digunakan untuk mencetak juga ditentukan oleh pemerintah. Masih terjangkau juga.
Meskipun dalam implementasinya dilapangan nanti, bisa jadi tetap ada pelanggaran yang muncul, kita patut mengapresiasi langkah yang diambil oleh pemerintah ini. Kita berharap bahwa langkah ini akan mengurangi angka putus sekolah yang masih saja terjadi di negeri ini.
Kemudian, meskipun langkah ini baik bagi orang tua yang kesulitan dalam membiayai sekolah anak-anak mereka, kebijakan ini tidak begitu direspon secara positif oleh penerbit buku-buku pelajaran, kita maklum. Selama ini penerbit buku pelajaran banyak yang menangguk untung dari penjualan buku-buku pelajaran. Langkah pemerintah ini dinilai dapat mematikan usaha penerbitan buku-buku pelajaran.
Ini tugas Pemerintah. Yang terbaik adalah bahwa kebijakan tentang buku ini tidak akan merugikan siapapun. Tapi kalaupun harus memilih, menurut saya, hendaknya pemerintah tetap mengedepankan pendidikan yang murah dan terjangkau bagi tiap warganya.
Terakhir, langkah pemerintah ini menunjukkan kepada kita tentang begitu bermanfaatnya jaringan internet bagi kelangsungan pendidikan yang terjangkau tetapi tetap bermutu. Semoga ekses positif dari internet tidak hanya berhenti pada buku pelajaran saja. Sebab masih banyak manfaat yang masih bisa dipetik dari internet. Mudah-mudahan, dimasa-masa mendatang, jaringan internet bisa diekploitasi lebih maksimal untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Untuk membaca artikel saya yang berkenaan dengan buku silahkan klik minat baca di sini.



Tags

Recent Post