Hanya dengan menyetorkan uang Rp 6.000,- anda akan mendapatkan Rp 6.000.000,- dalam waktu dekat. Demikian yang disampaikan dari mulut ke mulut. Saat itu, keadaan ekonomi masyarakat pada umumnya sangat memprihatinkan. Daya beli masyarakat juga masih rendah. Tidak heran jika iming-iming uang berlimpah itu menarik minat banyak orang. Terlebih ketika yang menyampaikan informasi itu, umumnya orang yang ditokohkan oleh masyarakat setempat. Orang-orang yang berpengaruh. Sulit untuk tidak percaya kepada mereka. Cuma, selang beberapa waktu, barulah orang-orang tersadar. Mereka telah membuat kesalahan yang bodoh.
Kalau ada pengguna telepon seluler, berhati-hatilah, besuk akan beredar SMS dan telepon dari pengirim yang menggunakan nomor berwarna merah. Telepon dan SMS itu adalah setan yang melakukannya.. Kalau anda menerima SMS dan telepon dengan ciri diatas jangan diterima. Untuk berjaga-jaga, ada baiknya anda matikan saja telepon seluler anda untuk beberapa saat. Semoga tidak terjadi malapetaka pada diri kita semua.
Secara berantai SMS berisi informasi sedemikian itu tersebar. Banyak orang tercekam rasa ketakutan. Banyak orang-orang mematikan teleponnya. Berhenti berkomunikasi untuk beberapa saat demi keselamatan jiwa. Bahkan ada yang mengirimkan SMS berisi �wirid-wirid penangkal� SMS setan.
Reaksi berlebihan nampak begitu terasa terhadap dua kondisi yang saya tuliskan di atas. Anda pasti ingat Yayasan Amalillah. Berapa banyak orang yang terlanjur menyetor uang dan kini bosan menunggu kapan harta karun itu muncul. SMS setan yang saya sebut terakhir adalah peristiwa yang menghebohkan orang secara massal. Secara individu, yang mungkin tidak terekam media massa dan bisa jadi masih terjadi sampai sekarang., banyak SMS yang berisi tipuan, bahwa si pengguna telepon seluler mendapatkan uang sejumlah sekian juta dari produk A. untuk mencairkannya, tinggal transfer beberapa juta saja. Uang terlanjur di transfer, hadiah tak kunjung datang.
Jelas sudah, semua itu hanya tipuan semata. Yang seharusnya menjadi perhatian kita, mengapa kasus serupa itu masih juga terjadi secara berulang? Bunyi pepatah, pantang jatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya belum juga bisa mengajari kita sepertinya. Kemarin tertipu, saat ini ditipu, mungkin lusa, masih juga bisa ditipu. Apa yang membuat kita seperti ini ?
Kita adalah bangsa pelupa, itu jawabannya. Yang sebenarnya terjadi, kita bisa terus menerus tertipu, karena kita lupa kalau pernah ditipu. Benarkah demikian? Benar. Karena kita masih suka berbicara. Tradisi lisan masih begitu dominan dalam masyarakat kita.
Tradisi lisan terbentuk dari perilaku mendengar dan melihat. Orang yang biasa berbicara adalah mereka yang mengkondisikan dirinya untuk mendapatkan informasi dari apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat. Bukan dari apa yang ia baca. Apa yang ia baca sangat kurang. Yang dominan adalah mendengar dan melihat saja.
Dengan kata lain, kita biasa lupa karena kita bukan bangsa literer. Kita belum terbiasa membaca dengan intensif. Seseorang yang membiasakan dirinya untuk membaca, membaca sebanyak-banyaknya, akan mengkritisi informasi apapun yang sampai padanya. Ketika dia mendapatkan sebuah informasi, dia akan lebih dulu mengambil jarak dari informasi itu. Benarkah demikian? Apakah ada kaidah ilmiah yang bisa mendukung informasi itu? Mengambil jarak yang saya maksud adalah, mereka meneliti informasi yang sampai kepada mereka terlebih dulu sebelum mereka bereaksi terhadapnya. Mempercayai atau meninggalkanya.
Orang yang bertradisi lisan secara dominan tidak mempunyai mekanisme berpikir seperti itu. Yang biasa dilakukan malah sebaliknya, mengatakan apapun yang dia dengar dan lihat tanpa ada kekritisan. Membaca informasi bermutu sebanyak-banyaknya akan meminimalisir kelupaan kita. Mari kita lakukan dari kita sendiri. Setelah itu mari kita tes tingkat kekritisan kita dengan pertanyaan berikut: Air, kini bisa menggantikan bensin. Percayakah anda ?.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai berpikir kritis, silahkan klik kritis di sini.
Post a Comment