MENGHAPUS STIGMA

Eric Hoffer, dalam bukunya, The True Believer, menulis, �Terdapat kecenderungan bagi seseorang untuk menilai sebuah ras, sebuah bangsa, atau kelompok manusia manapun yang tampak lain, berdasarkan anggota komunitas mereka yang paling tidak bermutu�. Sampai sekarang, pandangan Hoffer diatas nampaknya masih berlaku. Simaklah peristiwa berikut.

Peter Herman Bachtiar, seorang Indonesia asli berusia 39 tahun yang bekerja untuk Siemens Voest Alpine Industieanlagenbau Metals Technologies GmbH, mendapatkan perlakuan yang bisa dikatakan mengoyak harga dirinya. Tugas Herman di perusahaan adalah membuat program otomatisasi pabrik baja. Pabrik baja di Turki, China, Austria, Rusia, Thailand, Arab Saudi, Perancis, Spanyol, dan Jerman pernah memakai jasa pria kelahiran Jakarta ini. Tapi, di awal kedatangan Herman di Negara � Negara itu untuk menunaikan tugasnya, tanggapan yang diberikan kepadanya selalu dingin dan skeptis. Banyak yang meragukan kemampuan Herman. Bisakah orang Indonesia mengerjakan proyek ini? Apa perusahaan tidak salah pilih?
Perlakuan yang seperti ini membuat Herman merasa perlu untuk menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Tekadnya kuat untuk membuktikan bahwa dia pun memiliki kemampuan yang dimiliki oleh orang � orang dari Negara maju. Kerja kerasnya berhasil. Dia tidak pernah mengecewakan orang � orang yang sempat ragu terhadapnya.
Apa yang pernah dialami Herman tidak hanya menyinggung pribadi Herman sendiri. Melainkan kita semua sebagai bangsa. Saat Jerman dipimpin Hitler, mereka berkeyakinan bahwa ras bangsa Arya lah yang punya kedudukan paling tinggi. Sedang ras manusia yang lain berada di bawahnya. Untuk itu, ras manusia yang inferior harus melayani ras manusia yang superior. Suatu pandangan perbudakan yang sudah ketinggalan zaman. Tapi, bisa jadi pandangan seperti ini masih juga melekat di beberapa orang � orang Eropa.
Ketersinggungan serupa itu adalah hal yang wajar saja. Sebagai manusia umumnya, kita tentu mengharapkan kesetaraan. Tidak ada yang lebih dan kurang. Semua manusia sama. Kita semua punya hak yang sama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Hanya saja, menurut saya, perasaan superior dibandingkan manusia yang lain timbul karena kemampuan dan kelebihan yang bisa jadi diakui secara luas. Pengakuan seluruh manusia atas kemampuan dan kelebihan selama bertahun � tahun itulah yang kemudian menimbulkan kesombongan. Maka, untuk menghindari terjadinya kesenjangan yang akan menimbulkan kesombongan itu, setiap golongan manusia harus mempunyai kemampuan yang sama. Sesuatu yang masih sulit terwujud meski bisa diupayakan.
Perlakuan yang tidak mengenakkan hati serupa yang dialami oleh Herman di muka mestinya tidak membuat kita menjadi reaktif. Melihat ke dalam untuk kemudian berbuat nyata secara terstruktur dan kontinyu harus kita lakukan. Seperti Herman, dia tidak kemudian marah � marah dengan pandangan orang terhadapnya. Dia malah bersikap positif. Bertindak proaktif dengan meningkatkan kualitas kinerjanya sehingga orang menjadi percaya kepadanya. Kesetaraan antara manusia yang kita tuntut harus kita perjuangkan. Tidak patut bagi kita untuk menunggu orang lain memberikan kesetaraan itu bagi kita.
Saat saya masih SD, saya ingat betul tentang sebuah kisah ASEAN yang saya baca di perpustakaan sekolah. Alkisah, seorang raja dan menteri sedang bepergian dengan menaiki kapal di atas sungai yang didayung oleh dua orang lelaki. Sang raja dan sang menteri tertidur. Melihat keadaan itu seorang pendayung mengeluhkan keadaan dirinya. Mengapa harus mereka yang mendayung sedang raja dan menteri tidur. Bukankah semua manusia sama? Demikian kata sang pendayung.
Celakanya, ternyata sang raja tidak tidur lelap. Dia mendengar keluhan sang pendayung. Tapi dia diam saja. Tak menyanggah dan tetap berpura � pura tidur.
Ketika tiba mereka di sebuah kuil, sang raja meminta sang pendayung melihat adanya anjing di kuil itu. Sang pendayung berangkat dan melihat anjing itu, lalu melaporkannya kepada sang raja. Sang raja bertanya berapa jumlahnya. Si pendayung kembali ke kuil untuk menghitung dan kembali untuk melaporkannya kepada sang raja. Lalu sang raja kembali bertanya tentang warna si anjing. Si pendayung pun kembali lagi untuk melihatnya. Terus begitu. Setiap si pendayung kembali untuk melaporkan apa yang menjadi pertanyaan sang raja, kembali sang raja menanyakan pertanyaan lain hingga beberapa pertanyaan.
Setelah itu, sang raja menitahkan kepada sang menteri untuk melihat kucing yang juga ada di sekitar kuil. Sang menteri pun berangkatlah. Sekembalinya sang menteri, sang raja menanyakan pertanyaan demi pertanyaan yang dijawab langsung oleh sang menteri tanpa kembali lagi ke kuil untuk mendapatkan jawabannya. Merasa puas dengan jawaban sang menteri, sang raja menoleh kepada sang pengayuh dayung sembari mengatakan bahwa memang tiap manusia sama tapi kemampuan tiap oranglah yang membuat mereka berbeda.
Begitu pula dengan kita saat ini. Saat Negara dan bangsa lain memandang kita sebelah mata, tidak selayaknya kita bersikap reaktif berlebihan. Melihat ke dalam diri kita dan berusaha mencari dimana posisi kita diantara Negara � Negara dunia harus kita lakukan. Memetakan kemampuan dan kelemahan kita untuk meningkatkan kemampuan ke level maksimal dan meminimalisir kelemahan mesti kita kerjakan. Memulai dari hal � hal yang kecil, yang berada dalam jangkauan kita, tapi dengan ketekunan dan kesinambungan yang pantang menyerah. Sembari terus berharap, kita berusaha. Jika tidak demikian, mungkin kita harus puas dengan menjadi sang pendayung perahu.



Post a Comment

Previous Post Next Post