Saat tangannya yang hangat jatuh di dahiku
Pagi itu
Aku tahu hatiku telah jatuh di pangkuannya
Menelusup diam � diam ke dalam lorong � lorong jiwanya
Bersembunyi di dalam pekat nadi
Lalu hatiku berbisik agar tanganku meraih dirinya
Untukku memasangnya di atas dipan kamarku
Sebagai penerang, penghangat kala malam memaksaku menggigil.
Aku menurutinya
Merenggutnya dari sang langit yang memiliki sang elok
Menggantungkannya di tepat atas kepala
Menyulap indah luar kamarku berpindah ke dalam
Namun sang langit murka
Insyaf ia akan hilangnya sang kekasih.
Sengitnya menghancurkan gunung
Menumpahkan laut
Meretakkan bumi di bawah kakiku.
Keluar aku dari peraduan
Berteriak menantang langit
Jika jantan ia akan melayaniku
Aku atau ia yang akan memeluk sang mentari
Namun ia tak pula mendatangiku
Dipandangnya saja aku dari jauh
Aku rasakan kegeramannya saja
Kegeraman seorang pejantan terluka
Aku pun pulang
Tak sudi aku menghabiskan waktu untuk seorang banci.
Terang bagiku, milikku lah sang mentari.
Kemenanganku atas si pengecut membuatku mendongak
Sombong dan angkuh
Peperangan ini tak melelehkan sedikitpun keringatku
Ksatria yang ditakuti hanya dengan mendengar derap langkahnya saja,
Aku pantas berbangga
Di jalanan pulang
Kutemui benih � benih dari kandungan sang mentari yang merana
Hampir � hampir mati
Dan tidak hanya Satu
Beberapa kusangka
Sejuta ternyata
Apakah aku salah jika ku ingin memiliki sang mentari
Untukku saja?
Apakah dosa bila aku menyimpannya dari mahluk lain?
Sumpah aku tidak akan membuatnya terluka
Ketika kubuka pintu kamarku
Kekasihku sang mentari menghidupkan hatiku
Namun keinginan menuntunku membuka jendela
Dan melihat nestapa di luar sana
Benih � benih sang mentari yang tak lagi kuasa
Air matanya telah berubah jadi lautan
Hingga
Keadaan ini mencekamku berhari � hari
Hingga aku harus memilih
menjadi lelaki
kudekap sang mentari
kuciumi punggungnya
yang menerangiku kemarin lalu
kukembalikan ia pada sang kekasih sejati
langit yang memiliki
sontak sang benih tegak menyambutnya pulang
kembali
menghantarnya pulang di peraduan malam
untuk kembali lagi esok hari
aku turut melepasnya
hingga rambutnya yang merah habis ditelan gunung
aku berbalik sambil tersedu
hatiku yang terbiasa dalam belaiannya tentu tak semudah itu
lupa
kamarku yang sedih dan sepi
aku kembali
aku harus menjadi lelaki.
Post a Comment