Gelombang kesuksesan timnas sepakbola benar-benar menghipnotis masyarakat Indonesia. Dari headline media massa hingga tren fashion, semuanya larut oleh euforia. Meski terusak oleh kegagalan merengkuh gelar juara meski telah sampai final, fakta ini tetaplah fenomenal. Ada spirit perjuangan yang seperti menular antar tiap orang. Spirit perjuangan yang terbingkai oleh perasaan kolektif layaknya saat masa pra kemerdekaan dulu. Spirit perjuangan yang membuat seseorang siap melakukan apa saja, berkorban apa saja, bahkan jiwanya, demi negara. Spirit perjuangan itu dikenal juga dengan istilah patriotisme.
Lihatlah bagaimana ratusan ribu masyarakat Indonesia rela berdesak-desakan, berpeluh, hingga berdarah-darah demi selembar tiket pertandingan. Lihat juga bagaimana puluhan juta masyarakat Indonesia rela menambah pengeluaran bulannya demi membeli kaos merah putih berlambang garuda di dada. Lihat pula bagaimana ratusan juta masyarakat Indonesia rela meninggalkan acara sinetron kesayangan demi menyaksikan timnas berlaga lewat layar kaca. Dengan inilah mereka berkorban demi negara. Inilah wujud dari patriotisme mereka. Tapi, itu sepakbola. Bagaimana dengan pendidikan?
Tidak seperti sepakbola, saya agak sulit untuk menjawab soal ini. Bukan karena ketidakadaan idealita atau kalimat yang didahului kata �seharusnya�, tetapi karena ketiadaan fakta. Tidak ada sebuah fakta aktual yang membuat saya bisa menjelaskan bagaimana wujud patriotisme dalam pendidikan. Tolong beritahu saya jika anda pernah melihat dan merasakannya secara langsung. Karena sepanjang perjalanan saya di dunia pendidikan formal, hampir tidak pernah saya merasakannya, termasuk pada diri saya pribadi.
Hampir tidak pernah saya melihat seorang guru yang mengajar dengan semangat yang tiada habis dan pengorbanan yang tiada selesai. Begadang demi merancang metode mengajar yang tepat. Memperhatikan perkembangan siswa satu per satu. Berusaha menyelesaikan masalah siswa dengan segenap cinta dan kasih sayang. Membaca banyak buku dan koran demi siswa yang butuh pencerahan. Berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain demi menjalankan tugas negara. Hingga mengganti standar kebahagiaan dari kesejahteraan diri menjadi perkembangan pribadi siswa. Semuanya berorientasi memberi dan lebih dari itu, semuanya juga berpangkal pada ketulusan hati, tanpa paksaan. Hal itu jugalah yang membedakan patriotisme masa pra kemerdekaan dengan patriotisme orde baru.
Saya dan teman-teman saya sesama (maha)siswa pun hampir tidak pernah belajar dengan hasrat keingintahuan yang tinggi dan semangat untuk menjiwai materi. Bertanya dan berdiskusi meski sedang tidak di kelas. Membaca buku dan menulis pemikiran meski sedang masa liburan. Memandang setiap materi pelajaran sebagai alat bantu untuk membantu negara menyelesaikan masalah di masyarakat. Hingga mengganti tujuan pribadi, dari sekadar dapat hidup sejahtera sendiri menjadi berusaha untuk membuat warga negara sejahtera bersama. Ada semacam penjiwaan terhadap setiap hal yang sistem pendidikan berikan pada mereka. Penjiwaan yang pada saatnya nanti berwujud pada pengabdian dan misi perubahan demi masyarakat yang lebih baik.
Tapi tenang. Lihatlah kembali ke atas. Saya masih menyelipkan �hampir� di tengah ketiadaan bukti patriotisme pendidikan itu. Hal ini menandakan bahwa masih ada peluang untuk membuktikan keberadaannya. Untuk membuktikan bahwa rangkain kata-kata indah itu riil dan nyata. Dan itu hanya orang-orang yang telah sadarlah yang bisa melakukannya. Ya! Orang-orang itu adalah kita; saya dan anda!
Salam Kreatif - Kritis,
Pratama
Post a Comment