Latest News

Friday, October 9, 2009

RADIO TRANSISTOR TJAWANG


Setiap kali saya melihat dan mendengar iklan Konidin di televisi, saya pasti selalu ingat dengan radio Tjawang. Suara dari narratorlah yang membuat saya menjadi teringat radio yang sering terdengar �kemrosok� dan harus diisi dengan empat batrei untuk bisa digunakan untuk menangkap siaran radio ini.
Radio transistor Tjawang adalah sebuah radio yang mulai diproduksi oleh perusahaan Thayeb Gobel di tahun 1954. Radio yang legendaries ini � konon presiden Soekarno pernah bertanya kepada Thayeb Gobel, �mengapa memilih usaha radio transistor?� jawabnya, �supaya pidato bapak dapat sampai kepada orang-orang di desa, di tempat jauh yang terpencil di kaki-kaki gunung, di pulau-pulau meskipun di tempat-tempat tersebut belum ada listrik, pak.� � menjadi kenangan masa lalu yang begitu melekat dalam ingatan.
Beberapa tetangga saya memiliki radio Tjawang. Sebutlah Kang Udin (almarhum). Dia adalah pendengar setia drama radio saur sepuh. Saya dan dia kadang duduk di teras rumahnya sambil mendengarkan drama radio itu lalu saling berkomentar ketika didendangkan iklan. Kadang kang Udin membeli kartu ucapan di RKPD, dan kami akan setia menunggu kartu ucapan itu dibacakan oleh penyiar radio di acara music di sore hari. Radio Tjawang yang batreinya seringkali harus dijemur agar suaranya tetap kencang ini � perihal menjemur baterei, persis dengan Mahar di film Laskar Pelangi � menjadi teman setia saya dan kang Udin di saat televisi masih sangat jarang dimiliki.
Lalu ada mbah Bokari. Tetangga saya yang lain yang memiliki radio Tjawang. Mbah Bokari ini sangat suka dengan siaran wayang kulit semalam suntuk di radio. Saya yang bersekolah di SD saat itu, seringkali tertidur di rumahnya karena ingin sekali mendengarkan wayang kulit bersamanya. Di siang harinya, mbah Bokari ini sering bercerita kepada saya tentang lakon � lakon dalam wayang kulit yang pernah ia tonton dan dengarkan di radio. Ceritanya membuat saya tertarik untuk ikut mendengarkan siaran wayang kulit semalam suntuk di radio itu. Namun ya itu tadi, jalan cerita yang tidak saya pahami itu membuat saya tertidur dan tidak pernah tuntas mendengarkannya.
Kang Udin dan Mbah Bokari dengan radio Tjawangnya masing � masing adalah bagian dari masa kecil saya yang sangat indah. Radio Tjawang yang entah mendendangkan lagu pop atau klenengan ataupun wayang kulit telah terekam lekat dalam ingatan saya. Dan saat narrator iklan Konidin terdengar di televisi � suara narrator iklan itu, menurut saya, sangat mirip dengan penyiar radio di masa kecil saya dan suara yang muncul juga mirip dengan suara yang dihasilkan dari sebuah radio transistor Tjawang � muncullah kembali radio Tjawang.

Masa kecil saya, bukanlah masa serba mudah seperti sekarang. Di waktu itu kami selalu membayangkan tahun 2000 yang konon katanya akan sangat modern. Di waktu itu kami selalu berkata bahwa nanti di tahun 2000, radio pasti akan jauh lebih canggih dan lebih enak didengar daripada radio Tjawang.

Namun, ternyata kini, saya merindukan radio Tjawang yang kini sangat sulit didapatkan.

Moralnya: nikmati dan berbahagialah dengan keadaan kita yang sekarang. Bagaimanapun keadaannya. Karena, bisa jadi masa � masa itu akan kita rindukan di masa � masa mendatang.

No comments:

Post a Comment

Tags

Recent Post