Selama KKN, hari minggu sore sampai rabu adalah hari � hari yang sangat membosankan. Di hari � hari itu, aku memenuhi segala program KKN tanpa semangat. Tidur di larut malam dan bangun pada pukul 07.30 pagi. Berbatang � batang rokok aku habiskan setiap siang dan malam harinya untuk mengusir rasa gundah. Sekretariat kami tak ubahnya seperti sarang pemuda � pemuda komunis revolusioner karena aku memenuhi dindingnya dengan gambar dan tulisan - tulisan penuh kebosanan. Hari minggu sore sampai rabu, Ajeng kembali ke Malang untuk kuliah. Aku menghabiskan hari � hariku tanpanya.
Hari kamis sampai minggu pagi, di saat Ajeng ada di sini, semua berubah sama sekali. Ketika sepeda motornya berderum memasuki halaman sekretariat, aku berlarian menyambutnya. Setiap malamnya kami mengobrol, dan di siang harinya aku mencoba untuk melakukan apapun untuknya. Setiap kali aku mencuri pandang ke arahnya, setiap kali pula aku tidak pernah melihatnya secantik itu.
Tetapi tidak. Tidak setiap saat dari hari � hari itu aku gembira bersamanya. Kadang � kadang ketika kami berbincang, ada beberapa teman yang mendekat dan mendominasi pembicaraan. Sekuat hati aku menutup � nutupi rasa tidak sukaku. Aku kecewa saat dia terlibat pembicaraan itu. Aku sedih saat dia tertawa pada hal � hal yang lucu. Semestinya, hanya aku yang berbicara padanya. Dan hanya dari ceritaku, seharusnya dia tertawa.
Apakah akan ada yang peduli kalau aku begitu merindukannya? Dan bersuka ria saat dia tersenyum? Hatiku selalu berusaha menunjukkan, tanpa kata � kata, kepada semua orang bahwa aku mencintai Ratri Dyah Rahajeng. Aku mencintainya dan aku sangat tidak suka orang lain mendekatinya.
***
Demikianlah. Kebersamaan dengannyapun tidak bisa membuatku menjadi lebih baik. KKN ditutup dan lagi � lagi Ajeng harus berada di Malang. Aku mengeluh sendiri. Tidak ada yang tahu. Berkali � kali aku menarik nafas panjang. Tawa teman � temanku yang puas dengan hasil KKN terlihat seperti seringai yang menakutkan. Aku bosan karena harus berada diantara kerumunan orang � orang ini. Aku merasa sendiri dan kesepian.
Parade kesedihanku semakin bertambah panjang dan semakin melelahkan untuk dilihat. Sepanjang upacara penutupan itu, aku diam. Tak ada yang perlu diucapkan kepada orang � orang itu.
�Hei Sulung, sekarang penyerahan hadiah. Cepat kamu ambil gambarnya.� Doni menepuk pundakku. Aku kaget dan tersadar.
Aku cepat berlari merekam momen itu. Tidak begitu melelahkan. Anggaran untuk dokumentasi kecil dan kami harus hemat dalam mengambil gambar. Tapi acara penutupan yang tidak selesai � selesai juga itu membuatku jengkel.
***
Dua bulan setelah KKN. Dan dua bulan aku merasa sangat kesakitan karena tidak bisa bertemu Ajeng. Aku menjadi sedemikian bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ayahku pernah mengatakan kepadaku bahwa jika aku mengalami tekanan pikiran yang berat, yang tidak bisa kupikul sendiri, aku harus berbagi dengan orang lain. Mengatakannya kepada orang lain atau keluar rumah untuk bertemu orang � orang hingga beban itu menjadi ringan atau terangkat sama sekali. Sayang sekali, aku tidak bisa seperti itu.
Tapi, tidak ada salahnya mencoba. Hari senin sore aku keluar rumah untuk bertemu orang � orang. Tapi aku tidak bisa menemukan seorangpun yang biasa menjadi keranjang sampah bagi keluhan � keluhanku. Mereka begitu sibuk dengan dirinya sendiri � sendiri. Aku pulang lagi setelah beberapa jam. Dengan bahu lebih membungkuk karena beban yang semakin berat.
Masuk ke dalam kamar, menguncinya dan telentang di lantai. Memandangi langit � langit kamar.
Seperti adegan � adegan film, bayangan � bayangan Ajeng melintas satu persatu. Aku menutup mata. Ketika aku membuka mata lagi, pandanganku jatuh pada buku � buku yang ada di rak. Mungkin membaca Tin � Tin akan membuatku lebih baik. Kuambil komik terkenal itu dan membuka lembar � lembar halamannya. Membacanya lagi untuk yang kesekian kali.
Sampai di halaman tujuh, aku menemukan selembar sobekan kertas HVS. Tertulis angka 880600 di sana. Itu adalah nomor telepon Eyang Jarwo. Pensiunan dosen yang aku temui saat mengantar Ibu. Untuk sementara, aku teringat percakapan kami saat itu. Dan sampai akhirnya;
�Dalam hidup, yang kita perlukan adalah keberanian. Kita harus berani mengambil risiko. Kalau tidak, mending jadi peternak saja, eh, peternaknya pakai tanda kutip lho. Peternak yang kerjanya Cuma makan, minum, tidur dan menumpahkan sperma.�
Kata � kata akhir yang diucapkan Eyang Jarwo sebelum kami berpisah itu terngiang � ngiang di telingaku.
Aku bahkan belum mengatakan kepada Ajeng bahwa aku mencintainya. Kalau aku tidak mengatakannya, bagaimana dia bisa tahu. Kalau aku tidak memulainya, bagaimana bisa aku berharap dia akan mencintai aku.
Oke, aku akan mengatakannya. Sedikit ada semangat pada diriku. Aku bangkit dan mengatakannya dengan lirih: �Aku akan mengatakan hal itu.�
Tapi beberapa saat kemudian, aku duduk kembali. Aku tidak berani. Aku takut ditolak olehnya. Tentu akan sakit rasanya jika kita mengetahui orang yang kita cintai ternyata tidak mempunyai perasaan yang sama dengan kita. �MENDING JADI PETERNAK SAJA�. Aku berdiri. Apapun yang terjadi, aku akan mengatakannya.
Kubuka pintu kamar, lalu keluar.
Post a Comment