Kalau saat ini kita tanyakan kepada para guru, siapa anak yang terbaik di kelas, maka sang guru biasanya tentu akan menunjuk seorang anak yang secara intelektual cerdas dan juara kelas. Di lingkungan kampus, mahasiswa sukses dinilai dari indikator Indeks Prestasi (IP), semakin tinggi IP mahasiswa semakin berhasil dia dimata civitas akademika. Beragam Ujian Nasional dan tes masuk sekolah dan perguruan tinggi mengindikasikan bahwa kecerdasan intelektual atau kemampuan berpikir kognitif sangat diperhatikan dan dipentingkan dalam pendidikan kita. Bahkan, di dunia kerja para perekrut dan pimpinan perusahaan memberikan persyaratan awal yaitu para calon karyawan harus memiliki IP akademik yang relatif tinggi. Kemudian, para pelamar kerja tersebut ketika mengikuti seleksi masuk perusahaan akan menghadapi sejumlah tes yang lebih mengarah untuk mengetahui tingkat kemampuan intelektual pelamar.
Fenomena yang diungkap diatas menunjukkan bahwa kecerdasan oleh sebagian orang tereduksi menjadi sebatas kemampuan intelektual dan dipandang sebagai kunci sukses hidup. Seolah-olah hanya dengan kecerdasan intelektual yang tinggi kita akan dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dengan baik. Padahal, kemampuan intelektual lebih tepat untuk mengatasi masalah bersifat akademik atau yang menuntut kemampuan berpikir kognitif saja. Tolok ukur tingginya kecerdasan intelektual seseorang dapat dicermati dari hasil skor IQ (Intellegence Quotient). Menurut para ahli Psikologi Pendidikan, IQ adalah sesuatu yang telah dibawa seseorang sejak lahir dan tidak bisa berkembang banyak. Namun, dalam dunia pendidikan dan sektor di luar pendidikan secara praksis kita sering jumpai suatu tata pandang bahwa kecerdasan intelektual menjadi suatu kriteria dan faktor penentu keberhasilan seseorang. Semakin tinggi skor IQ individu, semakin tinggi kecerdasan intelektualnya, yang berarti dalam tata pandang ini individu tersebut akan dianggap sebagai orang yang sukses dan berhasil.
Pada awalnya banyak pihak melihat keberhasilan seseorang dikaitkan dengan tingkat IQ. Makin tinggi skor IQ seseorang, menurut asumsi semula, akan semakin �sukses� hidupnya. Belakangan terdapat sejumlah temuan menarik yang menunjukkan bahwa ternyata ada aspek lain yang berperan dan menjadi faktor penentu keberhasilan seseorang. Aspek lain itu disebut dengan Emotional Intelligence (EI). Temuan ini menunjukkan bahwa kecerdasan dapat diperluas tidak hanya berupa kemampuan intelektual tetapi juga kecakapan emosional. Bahkan dari berbagai penelitian dan pengamatan praksis di dunia usaha terdapat hubungan yang cukup signifikan antara kecakapan emosional dan keberhasilan seseorang dalam menampilkan unjuk kerja yang terbaik (top performer). Ternyata, 80% keberhasilan ini disumbangkan dari faktor EI, sedangkan, 20% lainnya berasal dari aspek IQ atau kemampuan intelektual. Hal ini bukan berarti IQ tidak penting sebab IQ atau kecerdasan intelektual diperlukan untuk menguasai keahlian bersifat akademik dan kompetensi teknis (hard skills).
Antara EI dan IQ
Dunia kerja merupakan dunia interaksi antara berbagai macam perilaku manusia dengan sejumlah watak dan tipe kepribadiannya masing-masing. Anak-anak didik termasuk mahasiswa pada akhirnya pun kebanyakan akan mencari pekerjaan. Ketika berinteraksi dengan orang lain di tempat kerja, mereka memeerlukan suatu kecakapan tertentu dalam mengimplementasikan keahlian akademik atau teknikal yang dimilikinya. Kecakapan dimaksud diantaranya kemampuan dalam mengelola dirinya sendiri (intra-personal skills) dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain (inter-personal skills). Kedua kecakapan ini di dunia usaha dan industri sering disebut dengan soft skills atau kecakapan pendukung..
Antara EI dan kecakapan pendukung memang berkaitan, karena EI ibarat �engine� atau mesin bagi sebuah mobil yang bernama kecakapan pendukung. Mesin yang selalu di rawat keberadaannya akan membuat mobil berjalan dengan baik. Seseorang yang memiliki kemampuan akademik dan teknikal tinggi tidak akan bisa menjadi Star Performer tanpa penguasaan kecakapan pendukung. Dalam perspektif pengembangan, skor EI seseorang bisa meningkat apabila didukung dengan lingkungan yang kondusif. Untuk membuat organisasi yang berbingkai EI baik di kelas maupun di kantor, diperlukan kondisi atau suasana yang diejawantahkan dalam situasi dan kondisi sebagai berikut: menghindari tindakan sewenang-wenang (otokratik), iklim keterbukaaan dan saling percaya antar anggotanya (trustworthiness), empati dan saling pengertian, menghargai prestasi individual serta secara emosional para anggota organisasi tersebut sangat dekat (close relationships). Apabila suasana ini dipelihara dengan baik, maka peningkatan EI para anggota organisasi itu merupakan suatu keniscayaan.
Tumbuh-kembang EI dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya, melalui pelatihan atau pembelajaran, magang (on the job), serta iklim dan suasana demokratis. Jika konsep kecakapan emosional sebagai faktor penentu keberhasilan dapat diterima dengan baik oleh para pengambil keputusan, maka konsekuensinya adalah sejumlah kegiatan praksis perlu dikaji ulang. Berdasarkan hal ini, tes-tes, ujian-ujian (termasuk Ujian Nasional) baik di sekolah maupun di perguruan tinggi termasuk mungkin tes-tes karyawan di perusahaan (dunia kerja) tentu perlu ditata ulang jenis tes dan kriteria keberhasilannya. Penyelenggaraan tes dan ujian yang dilakukan sebaiknya tidak menyediakan porsi besar bagi pengukuran kemampuan berpikir kognitif atau kemampuan intelektual, tetapi juga perlu mempersiapkan alat ukur untuk mengetahui tingkat EI nya. Disamping itu, pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi juga perlu memperhatikan tumbuh-kembangnya EI berikut kecakapan pendukungnya tersebut. Tata pandang kita terhadap kecerdasan harus diubah dari kecerdasan intelektual menjadi kecerdasan emosional sebagai penentu peningkatan keberhasilan individual performance (unjuk kerja) yang ujung-ujungnya juga unjuk kerja bangsa dan atau organisasi secara keseluruhan.
*Penulis adalah konsultan SDM dan sedang melanjutkan studi S3 Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Post a Comment