GURU BEDA DENGAN BURUH


Salam sukses wahai guru, kemarin saya menghadiri serah terima Surat Keputusan (SK) pengangkatan Pegawai Negeri Sipi (PNS) di lingkungan kota Surabaya oleh Bapak Bambang D.H. selaku Walikota Surabaya. Berceramah di hadapan sekitar 300 calon guru negeri dari formasi umum tahun 2008. Dalam ceramah yang penuh dengan nasihat, humor, dan kisah pengalaman pribad beliau, beliau menyampaikan bahwa guru itu tidak sama dengan buruh, tidak samanya dalam hal apa, mari kita simak selanjutnya tulisan ini.


Guru merupakan jabatan profesi, sama dengan dokter, notaris, lawyer, akuntan. Yang dalam tugasnya mempunyai kode etik tertentu dan didasari dengan keahlian, kelimuan, dan responsibility (tanggung jawab). Jadi tidak boleh asal bekerja, asal mengajar, semua harus ada ilmunya, teorinya, strateginya, dan landasan berfikirnya.
Beliau bilang, kalau buruh dalam mengerjakan pekerjaannya harus nurut sama majikan yang menggajinya, majikan bilang apa, maka buruh harus nurut, manut, sami�na wa-atho�na, sendiko dawuh sama bosnya tersebut. Beda dengan dokter yang mempunyai profesi membantu mengobati sakit pasiennya, jika ada seorang pasien yang datang kepadanya, meskipun ia sudah membayar tertentu, jika ia minta sesuatu yang tidak sesuai dengan kode etik dokter dan ilmu serta teori pengobatan dokter, maka dokter berhak menolak, itulah profesi, yang kebanyakan orang menyebutnya dengan professional.

Begitu juga dengan guru, jika guru sebagai seorang professional, maka ia akan bekerja berdasarkan kode etik, ilmu, dan teori tertentu. Ia tidak boleh melanggarnya, meskipun ada kekuatan yang menghadangnya, baik kekuasaan atau kekayaan. He..hee..he�kok jadi takut ya..misalnya begini. Ada orang tua/wali murid datang ke rumah guru untuk meminta sesuatu terkait dengan nilai atau peringkat anaknya di kelas, tidak lupa ia membawa uang atau hadiah tertentu, maka dengan keadaan seperti itu guru harus berlaku profesional, bertindak tegas sesuai kode etiknya. Ingat, guru bukan buruh yang senantiasa menuruti kehendak majikannya.

Dalam kasus kedua, jika atasan meminta kepada guru untuk membantu siswa dalam ujian tertentu misalnya UNAS, dengan harapan siswa sekolah tersebut lulus 100 %, maka guru juga harus bertindak sesuai dengan keahliannya dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Kode etik sudah jelas, maka jangan takut pada atasan, taatilah kode etik yang sudah disepakati, keilmuan yang sudah dipelajari dan tanggungjawab pada diri sendiri dan pada Allah. Bagaimana pendapat anda?


Post a Comment

Previous Post Next Post