Kami mengikuti sosialisasi Lesson Study selama tanggal tujuh sampai Sembilan mei kemarin. Ketika berangkat, bayangan saya, Lesson Study adalah sebuah metode pembelajaran baru yang perlu dicoba oleh guru � guru SMP seperti saya. Maka, dengan rasa apatis yang sama saat mengikuti acara � acara serupa, saya berangkat. Mengapa saya apatis? Guru � guru telah berulangkali mengikuti berbagai pelatihan metode pembelajaran yang terbukti efektif. Tapi pelatihan � pelatihan semacam ini bisa dikatakan percuma saja karena dalam tataran praktek, tak ada yang melaksanakannya. Jikalaupun ada yang menerapkan dalam pembelajaran yang dilaksanakannya, kontinuitasnya sangat sulit diharapkan.
Namun ternyata saya salah. Lesson Study bukanlah sebuah metode pembelajaran seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Lesson Study, ternyata, merupakan usaha dalam meningkatkan pembelajaran seorang guru dengan cara berkolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati, dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Pada mulanya, Lesson Study ini dilaksanakan di Jepang. Bahkan ia telah dilaksanakan di sana sejak kira � kira 100 tahun lalu. Jadi tidak berkelebihan jika dikatakan bahwa Lesson Study itu merupakan sesuatu yang asli Jepang. Di Jepang, Lesson Study disebut dengan jugyokenkyu � jugyo berarti pembelajaran dan kenkyu berarti studi/kajian. Oleh seorang yang berkebangsaan Amerika, Catherine Lewis, jugyokenkyu diterjemahkan dengan Lesson Study.
Ketika kami mendengarkan asal muasal Lesson Study itulah seorang teman, mengangkat tangannya dan berkata setelah dipersilakan: �Mengapa kita berulang kali memakai metode � metode dari luar negeri yang belum tentu sesuai dengan budaya kita? Mengapa kita tidak mengembangkan metode kita sendiri seperti Sorogan yang telah dan masih terus dipraktekkan di pesantren � pesantren di Indonesia?�. Benar juga katanya. Bukankah metode � metode seperti CTL, Jigsaw dan lain � lain itu merupakan produk barat? Sekarang kita mengadopsi jugyokenkyu yang asli Jepang. Mengapa kita tidak menciptakan metode � metode yang sesuai dengan karakter orang � orang Indonesia?
Sangat debatable. Tapi teringat dengan teori yang mengatakan bahwa orang atau komunitas yang lemah cenderung akan terpengaruh oleh orang atau komunitas yang lebih kuat. Tingkat kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Wajar jika Indonesia banyak mengadopsi metode � metode dari Negara � Negara yang lebih maju.
Namun, perkataan teman saya perlu sekali mendapatkan perhatian. Kapan waktunya bagi kita untuk bangga dengan pemikiran � pemikiran kita sendiri?
Post a Comment