PEMUJA EMBEL � EMBEL


Karena keindahan dipuja dan diburu setiap orang, maka tiap orang pun menginginkan agar terlihat indah. Karena kecerdasan dielu � elukan orang, maka tiap orang pun menginginkan agar Nampak cerdas. Karena kekayaan dipuji dan diperjuangkan setiap orang, maka tiap orang pun berkeinginan agar terpandang kaya. Karena jabatan dan kedudukan berarti kemuliaan, maka tiap orang pun bermimpi agar tertempel padanya jabatan dan kedudukan. Semua orang berharap agar semua pujian ditujukan kepadanya. Maka tiap orang berangan � angan agar dapat menyandang keindahan, kecerdasan, kekayaan, dan kedudukan.
Tidak. Menginginkan semua itu tidaklah merupakan cela bagi manusia jika mereka benar � benar berjuang untuk mendapatkannya melalui jalan yang terpuji. Jika manusia mendapatkannya secara benar, melalui kerja keras, pengorbanan, keringat dan kepayahan, tentu semua itu benar � benar membuatnya terpuji di hadapan manusia lain. Secara hakiki. Namun jika semua itu didapatkan melalui jalan pintas, tanpa kerja keras, dan ditempuh dalam waktu beberapa hari atau bahkan beberapa jam saja, ini cela yang mendalam bagi kemanusiaan. Bukan kemuliaan.
Saya bertemu wanita. Elok benar parasnya. Parfum yang digunakannya tahan berjam � jam. Mampu menangkal bau keringat. Pakaiannya halus. Pasti mahal benar harganya. Perhiasan yang dikenakannya menyilaukan. Senyumnya manis, kata � katanya menyejukkan sekaligus membuat bangga orang yang diajak bicara. Dia rendah hati. Tiap jejak kakinya diiringi senyum dan sapa. Namun semua itu dilakukan saat ia perlu saja. Saat ia memerlukan orang � orang di sekitarnya. Orang � orang kebanyakan yang tidak sebagaimana ia. Saat ia tak lagi butuh orang � orang itu, kembali ia ke tabiat aslinya yang hanya mau bergaul dengan orang � orang �sebangsanya�.
Saya berpapasan dengan seorang pandai kelihatannya. Pakaiannya sederhana. Tak ada yang istimewa dari aksesoris yang dikenakannya. Biasa saja. Namun ia kelewat pendiam. Bicara seperlunya saja. Nampaknya ia seorang pemikir luar biasa yang tengah bekerja keras dengan otaknya untuk kemaslahatan umat manusia. Tak pernah ia bergaul dengan tukang bakso, dengan kuli angkut, dengan pemulung para tetangganya. Jika ia bicara, bahasa yang digunakannya tidak dimengerti oleh orang � orang itu. Itulah sebab ia tak bicara. Tidak bermanfaat baginya bicara hal � hal remeh temeh. Buang � buang waktu saja. Levelnya adalah level jurnal ilmiah, level perkuliahan para sarjana. Apa yang disumbangkan kuli angkot bagi kemaslahatan umat manusia? Tukang bakso hanya bekerja untuk dirinya sendiri juga keluarganya. Sedang ia, bekerja untuk semua manusia termasuk si tukang bakso. Orang semulia ini tentu berkedudukan lebih tinggi. Tidak ada yang tahu jika sang Doktor Insinyur ini memalsukan karya ilmiah. Dan kuliahnya hanya satu semester saja.
Saya berkesempatan berbincang dengan pria tambun yang pandai bicara. Tiap saat, topik pembicaraanya hanya seputar masalah politik saja. Masalah kesejahteraan rakyat. Namun ia juga yang paling lantang bicaranya saat pembicaraan berganti ke masalah kenaikan gajinya sendiri. Ia ingin gajinya seratus juta sebulan disaat rakyat yang ia inginkan sejahtera itu bergelut dengan kelaparan.
Saya berkeliling kota dan melihat deretan sekolah � sekolah menengah. Entah pertama entah atas, entah kejuruan. Sekolah � sekolah itu berlomba � lomba mempercantik diri. Pagar � pagar yang tinggi menjulang. Bangunan � bangunan baru yang megah lagi menarik hati. Di papan � papan nama sekolah itu tertulis kata yang menunjukkan standar sekolah. Berstandar nasional sampai berstandar internasional. Siswa � siswanya, juga guru � gurunya berjalan, berkendaraan dengan sandangan kebanggaan. Kepercayaan diri sebagai penentu masa depan yang cerah bagi bangsa membuat mereka begitu berwajah berseri.
Dari sekolah � sekolah itulah telah lulus wanita elok, pria cerdik pandai, dan politikus handal. Saya tidak tahu apakah saya mesti malu atau bangga.

Post a Comment

Previous Post Next Post