Adanya  aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi  mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah  paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai.  Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi  pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu  sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai  berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik  dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai  tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas  dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar  individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu)  dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun  manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan  hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif  ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan  hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila  pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra  orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :
�It  possible to conceive of teacher and student as one and same person and  the self taught person as one who direct his own development through an  internal interaction between the self as I and the self as me on the  other hand, it is usual for one teacher to teach many students  simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become  generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its  person to person character.
Artinya sift manusiawi dari pendidikan  (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan  hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap  untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan  situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis)  sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap  afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan  kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya  gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala  sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu  sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah  (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui  gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa  untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20): 
�Scientific  method can contribute relationships between variaboles, taken two at a  time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more  at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the  teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not  without help and not on the run, the more complex interactions. At this  point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or  artistic, judgement about the best ways to teach.�
Pendidik memang  harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah  kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah  pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan  andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus  lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada  mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan  perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan  ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan  sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar  pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari  manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek  haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan  pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga  belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam  situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri.  Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu  diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga  secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi  mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah  sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan  pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya  agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup  program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu  konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga  pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan  seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara  beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan  kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang  perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia  dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu  pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama  mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix,  1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium  akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1  pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit  menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar,  mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu :
�Pendidikan ialah  usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan  bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan  dating�.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang  mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang  merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan  erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan.  Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang  lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan  estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain  aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep  pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan  Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
�Taman Siswa  mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan  bersemboyan �Tut Wuri Handayani� (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti  Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan  sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa  pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah  mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi  teladan gar sang anak mengembngkan pribadi masing-masing melalui  disiplin pribadi�.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada  skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan  disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang  lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam  pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian  landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala)  pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari  budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari  studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun  filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum  formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan  mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya  dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang  tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik  dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada  rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan  siswanya.
Tags : Teori pendidikan, jalinan antara ilmu dan seni, konsep pendidikan, landasan pendidikan
Tags : Teori pendidikan, jalinan antara ilmu dan seni, konsep pendidikan, landasan pendidikan
Post a Comment