Di saat saya masih belajar sebagai Mahasiswa. Baik di kelas lewat �celotehan inspiratif� maupun serpihan inspirasi yang saya kumpulkan di sepanjang jalan yang saya lewati. Ada beberapa teman saya yang sudah menjadi guru. Mereka mengajar. Ada yang menjadi pengajar komersil di bimbel atau privat, tetapi ada juga yang menjadi pengajar sukarela di rumah belajar, rumah baca, atau apalah namanya. Keduanya memang sama-sama dibutuhkan mahasiswa. Menjadi pengajar komersil untuk tambahan uang di tengah harga bahan pokok kuliah (buku, fotocopy, pulsa, dll) yang terus melambung dan menjadi pengajar sukarela untuk melatih sensitivitas mahasiswa terhadap masalah akar rumput. Akan tetapi, tetap saja, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Salah dua perbedaannya adalah soal persiapan sebelum mengajar dan dibayar atau tidaknya seorang pengajar.
�Aduh, 4 jam lagi ada panggilan ngajar nih di blablabla (tempat dirahasiakan). Mendadak banget sih. Gimana persiapannya coba.� Ujar teman saya dengan agak panik sambil mencari buku rangkuman pelajaran IPS yang dia punya saat SMA. Itulah sedikit ilustrasi bagaimana pengajar komersil menyiapkan dirinya saat ingin mengajar. Mereka biasanya membaca materi yang seringkali sudah sempat dia pelajari, tetapi baru ingat lagi karena ingin mempersiapkan diri mengajar. Kalau saja, murid yang diajarkan sedikit kritis, bisa saja sang guru itu gelagapan karena dia tidak memegang akar materi yang diajarkan dengan kuat. Sang guru hanya memahaminya di permukaan. Meski tak tahu pasti, saya rasa ada juga pengajar komersil di sekolah atau lebih akrab dengan istilah guru yang serupa kasusnya dengan pengajar komersil di bimbel tersebut.
Pemahaman permukaan semacam itu membuat ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi sebuah kenikmatan hati yang menggelayut di dada para pengajar, apalagi para pembelajar. Para pengajar hanya menjadikan aktivitasnya itu sebagai sarana mendapatkan uang. Tidak lebih. Maka menjadi wajar ketika para pembelajarnya pun hanya belajar tak lebih untuk mengerjakan soal-soal. Itulah mengapa, meski saya juga mau uang, saya masih belum terpikir untuk menjadi pengajar komersil di bimbel. Entah, bagaimana nanti.
Saya pikir, situasinya agar berbeda pada pengajar sukarela. Mereka biasanya mengajar untuk anak-anak sehingga materinya pun tidak terlalu berat dan lebih banyak bermainnya. Mereka tidak banyak mempersipakan materi yang njelimet segala macam, modal mereka hanya pengalaman hidup dan keceriaan yang berusaha mereka bagi. Ini dia bedanya. Mereka mengajar untuk berbagai. Dalam arti, apa yang berikan adalah apa yang memang telah lama menempel dalam dirinya. Bukan materi yang baru saja dia baca di buku rangkuman. Itulah mengapa, terkadang nasihat dari seorang kakek atau nenek itu terasa lebih mengena sekaligus menyejukkan. Karena nasihat itu berakar dari pengalaman hidup mereka yang telah mengkristal menjadi sebuah kearifan, tingkat tertinggi dari ilmu pengetahuan.
Terlebih, pengajar sukarela itu tidak dibayar. Mereka seperti kehilangan salah satu alasan utama untuk tidak tulus dalam mengajar. Secara alamiah, prinsip kesukarelaan ini akan menyeleksi para pengajar menjadi hanya yang benar-benar ingin berbagi dan mengincar kenikmatan hati dalam mengajar saja. Contoh lain yang agak unik adalah pengajar dalam kelompok mentoring ke-Islam-an atau kerap kali disebut halaqah. Mereka biasanya ada materi, tetapi materi tersebut sebisa mungkin tidak hanya dipahami secara mendalam tetapi juga dipraktekkan oleh si pengajar. Arah dari materi pun sebisa mungkin diarahkan pada hal-hal yang bersifat aplikatif misalnya disertai dengan pengecekan amalan harian seperti sholat atau tilawah (membaca Quran). Sejauh yang saya lihat, kesukarelaan adalah cara terbaik untuk mengajar.
Meskipun begitu, saya tidak menafikan ada yang coba memadukan keduanya. Salah satu yang cukup berhasil adalah Gerakan Indonesia Mengajar (IM). Bukan bermaksud mendewa-dewakan IM. Akan tetapi, memang baru IM-lah gerakan pengajaran yang terpublikasi dengan baik di tengah masyarakat. Anis Baswedan beserta tim saya rasa cukup mampu membuat profesi sebagai pengajar komersil (di SD pelosok) tetap memiliki sense kesukarelaan yang berakar pada filosofi mengajar yang dalam. Saya pun tidak menafikan adanya pengajar-pengajar komersil yang meski mengejar uang demi memenuhi kebutuhan hidup, tetapi tetap mengajar dengan tulus dan sepenuh hati.
Ya! Uang memang godaan berat bagi setiap pengajar untuk tidak tulus mengajar. Menggoda pengajar untuk sekadar menyampaikan materi tanpa pemahaman mendalam dan keikutsertaan hati. Namun, jika mereka mampu mengatasinya. Mengapa tidak?
Salam Kreatif - Kritis,
Pratama
Post a Comment