Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mendorong pemberdayaa, kreatifitas, prakarsa dan kreatifitas masyarakat.
Sejak gema otonomi daerah di perdengarkan dan dijalankan memang sudah mencapai banyak kemajuan dalam pembangunan bidang pemerintahan dan demokrasi. Pelayanan kepada masyarakat semakin dekat, cepat, dan hemat setidaknya itulah harapan masyarakat, meski dalam banyak hal sering dijumpai ketidaksiapan dan ketidakmampuan sumber daya manusia (aparat) menjalankan fungsi dan perannya secara optimal dari masing satuan tugas kedinasan. Sehingga pelayanan kepada masyarakat bukannya makin cepat tetapi justru lamban dan munculnya birokrasi yang makin panjang.
Berbagai kemajuan pada era otoda juga menyertakan berbagai dampak negatife. Terbentuknya penguasa-penguasa baru pemerintahan di daerah telah membawa ekses di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Salah satu mekanisme pembentukan pemerintahan di daerah adalah melalui pemilihan kepala daerah, dan pemilihan anggota DPRD melalui pemilukada dan pileg. Dalam proses pembetukan pemerintahan melalui pilkada/pemilukada inilah muncul suasana persaingan yang memanaskan suhu politik dan tidak jarang yang menimbulkan konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian dari elemen masyarakat juga tidak terlepas dari dampak pelaksanaan pemilukada. Pegawai Negeri Sipil di daerah umumnya merupakan Pegawai Negeri yang berada di bawah pengaruh dan kekuasaan langsung pemerintah daerah. Ini menyebabkan PNS sering menjadi daya tarik bagi para calon Kepala Daerah untuk menggaetnya. Bahkan jika sang calon kepala daerah adalah pejabat lama maka hampir bisa dipastikan ia akan menggunakan pengaruhnya untuk memaksa PNS memilihnya. Misalnya yang terjadi di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, yang kasusnya mencuat di Mahkamah Konstitusi, hingga dilakukan pemilihan ulang.
Bagi PNS masa-masa menjelang dan sesudah pemilihan kepala daerah adalah masa-masa yang kritis dan tidak nyaman dalam bekerja. Suasana hiruk pikuk kampanye dan intrik-intrik politik para calon kepala daerah dengan tim suksesnya sangat mempengaruhi suasana kerja para PNSD. Isu dan desas desus tentang para calon pemegang jabatan baru di berbagai dinas instansi dan sekolah serta siapa saja nanti yang akan dipindah serta kehilangan jabatan jika calon A menang atau calon B yang menang selalu menjadi kabar yang menghiasi suasana seputar pemilukada.
Kekhawatiran para pegawai yang membuat rasa tidak nyaman dalam bekerja memang sangat beralasan. Dewasa ini bukan lagi rahasia pengangkatan dan mutasi pegawai di daerah lebih banyak didasari oleh faktor polotik, pendukung atau pihak yang bersebrangan saat pemilukada, serta rasa senang/tidak senang penguasa baru, jadi bukan karena prestasi kerja, kemampuan, maupun loyalitasnya kepada Negara. Fakta yang terjadi di lapangan memang menunjukkan di berbagai daerah setelah pejabat baru kepala daerah resmi menduduki jabatannya maka terjadilah mutasi dan roling besar-besaran di lingkungan Pegawai Negeri Sipil Daerah dari Kepala Dinas samapi Guru. Bahasa klisenya adalah perombakan kabinet dan pembentukan kabinet baru.
Pegawai Negeri selayaknya tidak ditarik ke pihak manapun dalam kancah persaingan politik praktis dalam rangka pemilihan kepala daerah, agar pegawai tetap dapat bekerja dalam suasana nyaman dan tenang sehingga berdaya dan berhasil guna di bidang masing-masing. Bagi para pegawai hendaknya lebih mengedapankan netralitas dan tidak terprovokasi untuk ambil bagian dalam politik praktis sesaat serta lebih mengutamakan profesionalisme dalam bekerja. Pemerintah perlu mengkaji ulang status pegawai daerah, akan lebih tidak beresiko bagi pegawai jika statusnya dikembalikan menjadi pegawai pusat.
Post a Comment