Di AS, selama puluhan tahun, sebanyak 25% dokter berasal dari negara lain. (Foto : Getty Images)
SISTEM pendidikan tinggi Amerika Serikat disebut sebagai yang terbaik di dunia. Ini terbukti dari masuknya Universitas Harvard, MIT, dan Princeton dalam jajaran universitas paling elit di dunia versi Times Higher Education. Namun begitu, Negeri Paman Sam tidak mampu mendidik tenaga dokter untuk kebutuhan negerinya.
Ini merupakan hasil analisa profesor filosofi dari University College London, Jonathan Wolff. Menurutnya, universitas di AS tidak berfungsi maksimal dalam memasok kebutuhan tenaga kerja untuk negaranya sendiri. AS mengandalkan keahlian dari orang yang dididik di tempat lain, seperti yang digambarkan buku Give Us Your Best and Brightest oleh Devesh Kapur dan John McHale.
Buku ini menjelaskan, sebanyak 40 persen warga keturunan India kelahiran Amerika Serikat mempunyai gelar sarjana, yang kebanyakan di bidang sains dan teknologi. Sementara warga asli kelahiran AS hanya sekitar 10 persen.
Gambaran paling jelas terlihat dalam pendidikan kedokteran. Sebuah laporan yang dilansir The Lancet (media mingguan paling prestisius di dunia medis) menunjukkan, AS tidak mampu melatih banyak dokter untuk memenuhi permintaan akan kesehatan. Pasalnya setiap tahun, lebih banyak dokter yang pensiun dibanding lulusan sekolah kedokteran.
Selama puluhan tahun, sebanyak 25 persen dokter yang bekerja di AS menempuh studi di tempat lain. Bahkan saat ini, tercatat sebanyak 200 persen dokter di AS belajar di luar negeri. Sebanyak 5.000 dokter menjalani praktik di sub-Sahara Afrika, terutama Ghana, Nigeria dan Afrika Selatan. Pada 2002, ada 47 dokter asal Liberia yang bekerja di AS, dan hanya 72 yang bekerja di Liberia.
Di banyak negara, khususnya di negara berkembang, dokter menjalani praktik dengan mengorbankan publik. Jika seorang dokter dari Ghana direkrut bekerja di AS, maka Ghana tidak hanya kehilangan dokter, tapi juga kehilangan uang yang dibayar untuk praktik.
Memang para dokter yang bekerja di AS mengirim sebagian dari pendapatan mereka kembali ke rumah (dalam istilah bisnis disebut remiten/pengiriman uang). Tapi kompensasi ini jelas lebih sedikit dibanding yang diterima AS. Negara ini menerima uang yang tidak sedikit dari negara berkembang karena memberikan tempat pada pekerja medis. Seperti dikutip dari Guardian, Selasa (5/4/2011).
Mengapa AS tidak bisa memenuhi kebutuhan akan tenaga dokter? Apalagi, dokter di AS dibayar layak. Menurut Wolff, yang jadi masalah adalah biaya kuliah kedokteran di AS sangat mahal. Selain itu, menempuh pendidikan ini juga membutuhkan waktu yang panjang dan sulit. Seseorang yang baru bergelar dokter dan menjalani praktik, harus berutang sebanyak USD200 ribu (Rp1,7 miliar lebih). Dan tidak seperti menjadi pengacara dan bankir, yang tidak pernah mengalami kekurangan di AS, dokter di AS tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan gaji besar dalam waktu cepat untuk membayar semuanya kembali.
Ini merupakan hasil analisa profesor filosofi dari University College London, Jonathan Wolff. Menurutnya, universitas di AS tidak berfungsi maksimal dalam memasok kebutuhan tenaga kerja untuk negaranya sendiri. AS mengandalkan keahlian dari orang yang dididik di tempat lain, seperti yang digambarkan buku Give Us Your Best and Brightest oleh Devesh Kapur dan John McHale.
Buku ini menjelaskan, sebanyak 40 persen warga keturunan India kelahiran Amerika Serikat mempunyai gelar sarjana, yang kebanyakan di bidang sains dan teknologi. Sementara warga asli kelahiran AS hanya sekitar 10 persen.
Gambaran paling jelas terlihat dalam pendidikan kedokteran. Sebuah laporan yang dilansir The Lancet (media mingguan paling prestisius di dunia medis) menunjukkan, AS tidak mampu melatih banyak dokter untuk memenuhi permintaan akan kesehatan. Pasalnya setiap tahun, lebih banyak dokter yang pensiun dibanding lulusan sekolah kedokteran.
Selama puluhan tahun, sebanyak 25 persen dokter yang bekerja di AS menempuh studi di tempat lain. Bahkan saat ini, tercatat sebanyak 200 persen dokter di AS belajar di luar negeri. Sebanyak 5.000 dokter menjalani praktik di sub-Sahara Afrika, terutama Ghana, Nigeria dan Afrika Selatan. Pada 2002, ada 47 dokter asal Liberia yang bekerja di AS, dan hanya 72 yang bekerja di Liberia.
Di banyak negara, khususnya di negara berkembang, dokter menjalani praktik dengan mengorbankan publik. Jika seorang dokter dari Ghana direkrut bekerja di AS, maka Ghana tidak hanya kehilangan dokter, tapi juga kehilangan uang yang dibayar untuk praktik.
Memang para dokter yang bekerja di AS mengirim sebagian dari pendapatan mereka kembali ke rumah (dalam istilah bisnis disebut remiten/pengiriman uang). Tapi kompensasi ini jelas lebih sedikit dibanding yang diterima AS. Negara ini menerima uang yang tidak sedikit dari negara berkembang karena memberikan tempat pada pekerja medis. Seperti dikutip dari Guardian, Selasa (5/4/2011).
Mengapa AS tidak bisa memenuhi kebutuhan akan tenaga dokter? Apalagi, dokter di AS dibayar layak. Menurut Wolff, yang jadi masalah adalah biaya kuliah kedokteran di AS sangat mahal. Selain itu, menempuh pendidikan ini juga membutuhkan waktu yang panjang dan sulit. Seseorang yang baru bergelar dokter dan menjalani praktik, harus berutang sebanyak USD200 ribu (Rp1,7 miliar lebih). Dan tidak seperti menjadi pengacara dan bankir, yang tidak pernah mengalami kekurangan di AS, dokter di AS tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan gaji besar dalam waktu cepat untuk membayar semuanya kembali.
Jadi saat kita memandang iri atas prestasi yang dibuat universitas di AS, kita harus ingat bahwa tidak semua tampak seperti yang terlihat. Bahkan, sangat mungkin bahwa kelemahan sistem pendidikan tinggi AS ini berkontribusi atas terjadinya krisis kesehatan dan pembangunan yang terjadi di negara miskin dunia.
Sumber : http://kampus.okezone.com/
Post a Comment