Bagaiamana mungkin. Sekelompok manusia dengan potensi yang tidak jauh beda dan guru beserta metode mengajar yang sama, meraih hasil yang berbeda. Beberapa orang sukses menyerap kearifan. Beberapa yang lain hanya berhenti pada tataran pengetahuan. Dan sebagian yang lain teralienasi dalam keterpaksaan belajar. Mungkin ini pula yang menyebabkan selalu ada stratifikasi sosial di setiap tempat belajar, ada elit yang pintar dan satelit yang �pintar� (dalam arti yang berbeda). Kita biasa menyebutnya ranking atau peringkat.
Hampir semua misi pewarisan nilai dan pengajaran mengalami masalah yang serupa. Termasuk kedua orang tua saya. �Tidak ada yang berbeda, ibu memberi perhatian ke semuanya kok,� tukas Ibu saya dengan yakin. Namun, fakta menunjukkan hal yang berbeda. Ada tata nilai yang berbeda antara saya dan kedua adik saya. Perbedaan yang membuat saya mengira ada perbedaan cara ajar Ibu saya terhadap kami bertiga. Hingga saya mengetahui konsep hidayah. Di mana porsi manusia hanyalah untuk berusaha. Ada Sang Maha Penentu Hasil yang tak terkira oleh indera dan spekulasi logika. Ini adalah bukti bahwa tidak ada yang namanya gagal dalam sebuah pengajaran. Karena hasil, Allah yang menentukan.
Itu dari sudut pandang pengajar. Bagaimana dengan para pembelajar? Mengapa materi yang disampaikan dengan cara yang sama di tempat yang sama menghasilkan hasil yang berbeda? Jangan tanyakan itu pada logikamu. Karena mungkin jawabannya tersembunyi manis di balik hatimu. Bangkitkan ia dengan refleksi diri. Berkacalah dan kau akan temukan bercak hitam di kening yang tak terlihat dalam keadaan normal. Ini adalah soal kesediaan hati untuk menerima. Merendahkan demi pertambahan. Ini juga soal bagaimana berdiri di tengah. Tanpa rasa sombong bak di puncak atau rasa inferior bak di jurang terdalam. Di sini kerendahan hati adalah pintu pembuka menuju kepercayaan diri.
Anda mungkin mendengar �celoteh inspiratif� dari pengajar yang sama dengan teman di samping anda. Tapi, matanya lebih fokus dari anda, keingintahuannya lebih besar dari anda, pikirannya lebih bergejolak dari anda, dan semua itu berpangkal pada segumpal daging imajiner yang begitu luar biasa pengaruhnya: hati. Hati yang selalu merendah di depan orang berilmu, selalu lapangan di depan pengkritik, selalu peka di depan berbagai peristiwa. �Semua punya makna sehingga pasti selalu ada pembelajaran di baliknya,� begitu mungkin jika hati bisa bicara.
Karena belajar bukan hanya soal prestasi, tetapi juga soal tradisi. Bagaimana menjadikan belajar sebagai kebiasaan dan mekanisme diri untuk lebih baik lagi. Bersediakah hati ini untuk belajar?
Salam Kreatif - Kritis,
Pratama
-------------------------------------------------------------------------
Hahaha, lama tak jumpa ya kawan. Maaf yah, saya masih beradaptasi dengan kultur akademik di UI nih. Jadi, blog ini agak terbengkalai selama 3 bulan-an ini. Mumpung libur nih, saya akan berusaha aktif lagi. Tunggu yah, tulisan-tulisan saya selanjutnya. :)
Post a Comment