Oleh Amin Musthofa*)
BERGERAK di dunia kepenulisan secara kritis merupakan ciri khas mahasiswa. Semangat menggelora untuk menghasilkan karya tulis yang baik terus menyala dalam diri mahasiswa. Terbukti, karya mahasiswa terus menghiasi dunia media massa. Bahkan tulisan mahasiswa kerap sangat berbeda dari tulisan lain, karena dilakukan dengan motivasi sangat tinggi. Publik pun memberikan sambutan meriah dengan kegemuruhan aktivisme mahasiswa dalam menghasilkan karya tulis yang baik dan berkualitas.
Karya tulis mahasiswa tidak hanya beredar di berbagai media massa, tetapi juga di buletin, jurnal, dan buku. Tidak sedikit karya mereka berkapasitas tinggi, bahkan sangat inspiratif dalam dunia pergolakan.
Tulisan mahasiswa makin hangat karena mendapatkan apresiasi tinggi dalam berbagai kajian dan wacana perdebatan antara dunia kampus. Jaringan lintas kampus itu yang membuat ide kritis makin menyebar dalam ragam pergerakan sosial yang terjadi.
Pertanyaannya sekarang, mana karya tulis para dosen? Kalau mahasiswa begitu aktif, sedikit sekali dosen yang aktif dalam menulis karya di media, jurnal, bahkan buku. Kerisauan ini bahkan diakui oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang melihat para dosen masih miskin tulisan dan minim kualitas tulisan dalam penelitian.
Rata-rata dosen lebih banyak mengejar setoran, tanpa ada perenungan dan pemaknaan kritis atas fakta sosial di sekeliling.
Kalau kita lihat di media massa, hanya orang-orang itu yang menghiaskan tulisan mereka di media massa. Dosen yang lain mana? Ternyata yang lain lebih banyak mengejar proyek atau sekadar kejar setoran dalam mengajar. Jebakan proyek terlihat sekali dari para dosen sehingga semangat menulis mereka menurun. Jebakan proyek yang menjanjikan kekayaan telah menyita waktu dosen dalam menganalisis keilmuan, sehingga sibuk dengan berbagai pelaporan proyek yang terus dikejar. Selesai satu proyek berganti dengan proyek lain, yang terus berganti-ganti.
Menggiurkan Di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, jebakan proyek memang sangat menggiurkan. Tak lain karena perguruan tinggi tekemuka begitu dekat dengan jaringan kekuasaan. Jaringan kekuasaan sangatlah mendekatkan dunia dosen untuk ikut serta dalam berbagai proyek negara. Atau, juga dengan berbagai perusahaan sehingga memanfaatkan jaringan proyek perusahaan besar.
Itu jelas menjanjikan kekayaan melimpah. Terbukti, para dosen lebih banyak berlomba-lomba membeli mobil terbaru.
Areal parkir kampus sekarang dipenuhi mobil baru para dosen yang makin waktu kian banyak.
Ada juga seorang dosen yang hanya menghabiskan waktu untuk mengajar. Mereka tipologi dosen pasif yang pasrah dengan kondisi, tanpa gejolak keilmuan dalam diri. Tipologi itu gampang-susah karena mereka memang pasif dalam dunia pemikiran dan pergerakan.
Dosen model itu masih memegang tradisi normatif bahwa mengajar mendapatkan pahala besar. Hanya dengan mengajar, mereka seolah-olah mendapatkan pahala melimpah. Model dosen itu masih ada di sebagian kampus. Walaupun rata-rata mereka adalah generasi masa lalu yang kebetulan menjadi dosen saat itu.
Melihat kondisi dosen yang miskin karya tulis itulah, layak jika kita menggugat para dosen yang begitu asyik mengajar dan memberikan tugas ke mahasiswa. Seharusnya para dosen menjadi contoh bagi mahasiswa dalam menggerakkan dunia keilmuan dan kepenulisan. Tetapi sering kali malah dosen yang harus berguru pada mahasiswa. Itulah yang harus diakui para dosen. Karena, fakta memang berbicara demikian.
Sedikit Sekali Menurut pendapat Eko Prasetyo (2008), para dosen, bahkan yang lulusan luar negeri sekalipun, sedikit sekali yang bisa mengobarkan semangat intelektualisme dan semangat kepenulisan pada mahasiswa. Eko pun merasa kesulitan mencari mitra diskusi ketika diundang dalam berbagai acara seminar di berbagai kampus terkemuka di Indonesia. Dia sedih karena kemandekan intelektualisme dan kepenulisan kampus yang mengakibatkan para mahasiswa makin lesu dalam menggerakkan dunia diskusi dan makin lumpuh dalam menggerakkan semangat pembebasan melalui media kepenulisan.
Beberapa saat terakhir ini, pada saat sertifikasi merebak, para dosen hanya mengejar tulisan untuk syarat sertifikasi. Bukan sebagai gejolak intelektual yang menjadi penyemangat mahasiswa. Itu terbukti karena setelah tulisan terbit atau beredar, tulisan para dosen itu tak lagi terdengar atau bahkan sepi dari gagasan yang pernah dilontarkan. Mereka kembali sibuk dengan berbagai proyek yang menanti. Itu menimbulkan keprihatinan mendalam.
Dalam konteks ini, menarik apa yang dilakukan dosen terkenal, Jalaluddin Rahmat. Dosen satu itu tipe pemikir dan penulis yang mengharuskan diri menulis buku, minimal terbit satu dalam setahun. Target itu selalu dia penuhi, bahkan sering melebihi target. Setahun dia bisa menulis lima buku sekaligus. Itu dia akui dalam berbagai forum diskusi di berbagai kampus di Indonesia untuk membakar semangat menulis para dosen.
Menarik pula yang dilakukan Prof Yudian, yang berani menerbitkan buku dalam bahasa Inggris untuk khalayak kampus di Yogya. Dia juga menerbitkan autobiografi intelektual yang sangat menarik, bahkan yang pertama di dunia kampus di Indonesia. Kini, saatnya dosen berguru kembali.
Menjejakkan kaki di kampus, sekali lagi, bukan untuk menumpuk kekayaan, melainkan menjadi resi keilmuan yang terus mentransformasikan nilai kemanusiaan. (51)
*) esais dan peneliti sosial, tinggal di Pati
Karya tulis mahasiswa tidak hanya beredar di berbagai media massa, tetapi juga di buletin, jurnal, dan buku. Tidak sedikit karya mereka berkapasitas tinggi, bahkan sangat inspiratif dalam dunia pergolakan.
Tulisan mahasiswa makin hangat karena mendapatkan apresiasi tinggi dalam berbagai kajian dan wacana perdebatan antara dunia kampus. Jaringan lintas kampus itu yang membuat ide kritis makin menyebar dalam ragam pergerakan sosial yang terjadi.
Pertanyaannya sekarang, mana karya tulis para dosen? Kalau mahasiswa begitu aktif, sedikit sekali dosen yang aktif dalam menulis karya di media, jurnal, bahkan buku. Kerisauan ini bahkan diakui oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang melihat para dosen masih miskin tulisan dan minim kualitas tulisan dalam penelitian.
Rata-rata dosen lebih banyak mengejar setoran, tanpa ada perenungan dan pemaknaan kritis atas fakta sosial di sekeliling.
Kalau kita lihat di media massa, hanya orang-orang itu yang menghiaskan tulisan mereka di media massa. Dosen yang lain mana? Ternyata yang lain lebih banyak mengejar proyek atau sekadar kejar setoran dalam mengajar. Jebakan proyek terlihat sekali dari para dosen sehingga semangat menulis mereka menurun. Jebakan proyek yang menjanjikan kekayaan telah menyita waktu dosen dalam menganalisis keilmuan, sehingga sibuk dengan berbagai pelaporan proyek yang terus dikejar. Selesai satu proyek berganti dengan proyek lain, yang terus berganti-ganti.
Menggiurkan Di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, jebakan proyek memang sangat menggiurkan. Tak lain karena perguruan tinggi tekemuka begitu dekat dengan jaringan kekuasaan. Jaringan kekuasaan sangatlah mendekatkan dunia dosen untuk ikut serta dalam berbagai proyek negara. Atau, juga dengan berbagai perusahaan sehingga memanfaatkan jaringan proyek perusahaan besar.
Itu jelas menjanjikan kekayaan melimpah. Terbukti, para dosen lebih banyak berlomba-lomba membeli mobil terbaru.
Areal parkir kampus sekarang dipenuhi mobil baru para dosen yang makin waktu kian banyak.
Ada juga seorang dosen yang hanya menghabiskan waktu untuk mengajar. Mereka tipologi dosen pasif yang pasrah dengan kondisi, tanpa gejolak keilmuan dalam diri. Tipologi itu gampang-susah karena mereka memang pasif dalam dunia pemikiran dan pergerakan.
Dosen model itu masih memegang tradisi normatif bahwa mengajar mendapatkan pahala besar. Hanya dengan mengajar, mereka seolah-olah mendapatkan pahala melimpah. Model dosen itu masih ada di sebagian kampus. Walaupun rata-rata mereka adalah generasi masa lalu yang kebetulan menjadi dosen saat itu.
Melihat kondisi dosen yang miskin karya tulis itulah, layak jika kita menggugat para dosen yang begitu asyik mengajar dan memberikan tugas ke mahasiswa. Seharusnya para dosen menjadi contoh bagi mahasiswa dalam menggerakkan dunia keilmuan dan kepenulisan. Tetapi sering kali malah dosen yang harus berguru pada mahasiswa. Itulah yang harus diakui para dosen. Karena, fakta memang berbicara demikian.
Sedikit Sekali Menurut pendapat Eko Prasetyo (2008), para dosen, bahkan yang lulusan luar negeri sekalipun, sedikit sekali yang bisa mengobarkan semangat intelektualisme dan semangat kepenulisan pada mahasiswa. Eko pun merasa kesulitan mencari mitra diskusi ketika diundang dalam berbagai acara seminar di berbagai kampus terkemuka di Indonesia. Dia sedih karena kemandekan intelektualisme dan kepenulisan kampus yang mengakibatkan para mahasiswa makin lesu dalam menggerakkan dunia diskusi dan makin lumpuh dalam menggerakkan semangat pembebasan melalui media kepenulisan.
Beberapa saat terakhir ini, pada saat sertifikasi merebak, para dosen hanya mengejar tulisan untuk syarat sertifikasi. Bukan sebagai gejolak intelektual yang menjadi penyemangat mahasiswa. Itu terbukti karena setelah tulisan terbit atau beredar, tulisan para dosen itu tak lagi terdengar atau bahkan sepi dari gagasan yang pernah dilontarkan. Mereka kembali sibuk dengan berbagai proyek yang menanti. Itu menimbulkan keprihatinan mendalam.
Dalam konteks ini, menarik apa yang dilakukan dosen terkenal, Jalaluddin Rahmat. Dosen satu itu tipe pemikir dan penulis yang mengharuskan diri menulis buku, minimal terbit satu dalam setahun. Target itu selalu dia penuhi, bahkan sering melebihi target. Setahun dia bisa menulis lima buku sekaligus. Itu dia akui dalam berbagai forum diskusi di berbagai kampus di Indonesia untuk membakar semangat menulis para dosen.
Menarik pula yang dilakukan Prof Yudian, yang berani menerbitkan buku dalam bahasa Inggris untuk khalayak kampus di Yogya. Dia juga menerbitkan autobiografi intelektual yang sangat menarik, bahkan yang pertama di dunia kampus di Indonesia. Kini, saatnya dosen berguru kembali.
Menjejakkan kaki di kampus, sekali lagi, bukan untuk menumpuk kekayaan, melainkan menjadi resi keilmuan yang terus mentransformasikan nilai kemanusiaan. (51)
*) esais dan peneliti sosial, tinggal di Pati
Sumber : http://suaramerdeka.com
Post a Comment