Prof Firmanzah,SE,MM, PhD, agaknya beliau sangat layak dijadikan contoh bagi kita semua. Di usianya yang masih belia (beliau lahir 7 Juli 1976), beliau kini menjadi Dekan FE UI dan kini menjadi Guru Besar UI termuda sepanjang sejarah berdirinya UI hingga kini.
Meski terbilang muda, pria ini sudah mendulang banyak pujian dari kalangan intelektual atas prestasinya. Ia adalah Prof Firmanzah PhD, dekan termuda yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar termuda UI.
Pada pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu manajemen strategis, Rabu (18/8) kemarin, di Balai Sidang Universitas Indonesia, Kampus UI-Depok, Firmanzah menyampaikan pidato berjudul �Coordination-Capability dan Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner dalam Perspektif Struktural-Interaksionisme.�
Dalam pidatonya, Ia menekankan pentingnya penataan hubungan kelembagaan, baik di lembaga tingkat nasional, daerah, maupun industri. Menurut Firmanzah, pekerjaan ini merupakan tugas kolektif dari setiap elemen bangsa Indonesia. Karena pengalaman sejumlah negara seperti Finlandia, Singapura, China, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pembangunan daya saing nasional selalu dimulai dari perbaikan dan intesifikasi koordinasi kelembagaan.
�Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berperan sebagai boundary-spanner untuk berinteraksi dengan yang lain dalam membangun keterkaitan, komunikasi, dan kerja sama kelembagaan. Hanya dengan ini, daya saing Indonesia dapat ditingkatkan melalui penggabungan semua sumber daya dan keunggulan nasional,� kata pria kelahiran 7 Juli 1976 tersebut.
Firmanzah adalah Dekan FEUI sejak 2009 dan merupakan dekan termuda dalam sejarah UI. Saat lulus SMA, Ia memilih Fakultas Ekonomi UI dan lulus dalam waktu 3,5 tahun. Ia pun sempat menjajal dunia asuransi sebagai analis pasar, sebelum memutuskan kembali ke bangku kuliah, setahun kemudian. Pria yang akrab dipanggil Fiz tersebut mengambil program S-2 di bidang yang sama dan menyelesaikannya dalam tempo dua tahun.
Melanjutkan studi di Universitas Lille di Prancis, merupakan momen titik balik Fiz mengenal dunia yang lebih luas. Ia mendalami bidang strategi organisasi dan manajemen atas beasiswa dari universtas tersebut. �Ketika mendapatkan beasiswa ke Prancis, itu merupakan perjalanan pertama saya ke luar negeri dan kali pertama pula naik pesawat,� kenangnya.
Fiz juga sekaligus menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam bidang manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays De l�Adour, dan selesai pada 2005. Karena lulus tercepat di angkatannya, Fiz lantas mendapatkan beasiswa program doktoral dalam bidang manajemen strategis internasional dari University of Pau et Pays de l� Adour dan meraih PhD pada 2005.
Ia pun sempat mengajar setahun di almamaternya, sebelum dipanggil pulang oleh dekan FE UI saat itu, Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro untuk mengajar di UI. �Padahal, tiga hari sebelumnya, saya baru saja mendapat tawaran menjadi dosen tetap dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap,� ujarnya.
Fiz menilai, menetap di Prancis akan menjadikannya dosen terbang di berbagai negara di dunia, antara lain Maroko dan Inggris. Fasilitas perpustakaan yang lengkap merupakan surga baginya.
Mendapati bahwa kehidupan di Prancis akan terlalu mudah baginya, Ia pun memilih kembali ke Indonesia. �Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini dan itu akan lebih berarti, karena hidup ternyata tidak hanya mencari kenyamanan,� ujar suami Ratna Indraswari ini sambil tersenyum.
Tiga tahun berikutnya, yakni ketika berusia 32 tahun, Fiz terpilih sebagai Dekan ke-14 FE UI periode 2009-2013 yang tercatat sebagai dekan termuda dalam sejarah UI. Pria pelahap buku-buku filsafat yang mengidolakan filsuf dari Jerman, Schopenhauer itu, mengalahkan sejumlah kandidat kuat, seperti Prof Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal Ph.D.
Bahkan sebelum masuk tiga besar kandidat, ia harus bersaing dengan calon yang jam terbangnya sudah tinggi, seperti Dr Nining Soesilo (kakak kandung mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati), Dr Chaerul Djakman dan Dr Syaiful Choeryanto.
Firmanzah menghabiskan masa kecil hingga SMA di Surabaya. Ibunya, Kusweni, adalah seorang buta huruf yang bercerai ketika usianya dua tahun. Namun, Fiz kecil yang saat itu bercita-cita menjadi astronot, tidak lantas minder.
Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini justru mempelajari semangat juang tinggi dari sang ibu. Selain intisari hidup terkait dengan kesetiaan, persahabatan dan kasih sayang.
Hal inilah yang membuat pengagum teori Tsun Zu ini memiliki falsafah hidup, bahwa rasa kemanusiaan adalah naluri yang paling kuat untuk memenangkan pertarungan dalam hidup. Baginya, pertarungan itu bisa terjadi di mana saja, dan yang membedakan antara yang menang dan yang kalah adalah strategi.
Dalam mendidik anak-anaknya, ibunya pun tak menerapkan manajemen belajar yang ketat dan disiplin. Ia diajarkan untuk lebih management by output, bukan management by process.
�Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya bagus,� ujarnya. Itulah yang membuatnya bisa membaca buku di sela-sela main gundu. Sedari belia pun, Fiz mengaku sudah mengetahui visinya, yakni menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. [mdr]
Sumber: Inilah.com
Post a Comment