Kultur Malu Dalam mempelajari Bahasa Inggris

Sering kali kita mendengar pepatah yang mengatakan "Malu bertanya, sesat dijalan". Ini merupakan suatu perumpamaan yang acap kali didengungkan. Rasa malu tidak bisa dipisahkan dari karakteristik manusia. Kadang membuat langkah kita untuk lebih maju terhenti sejenak tanpa disadari. Namun ada kalanya juga rasa malu itu tidak akan pernah muncul jika si empunya punya rasa percaya diri yang tinggi. Bahkan terkadang malah terkesan berlebihan. Itulah realita yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari.

Malu secara tak langsung telah menjadi suatu budaya di kalangan masyarakat, di semua tingkatan, di setiap sisi kehidupan. Fenomena "malu" ini juga merupakan hal yang sangat mendasar yang dialami oleh semua orang jika ingin menggunakan bahasa Inggris apalagi jika menyangkut masalah "Speaking skill". Walaupun sebenarnya kita tahu apa yang lawan kita bicarakan tetapi mulut terasa kelu dan seperti terkunci untuk membalas atau sekedar mengucapkan sepatah dua patah kata dalam bahasa Inggris.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab perasaan tersebut muncul, antara lain: kurangnya penguasaan kita terhadap kosakata, kurangnya rasa percaya diri (PD) sehingga terkesan takut untuk melakukan kesalahan. Padahal berawal dari kesalahan itulah sebenarnya pembelajaran yang efektif dalam segala hal. Kita menjadi tahu dimana letak kekurangan yang kita miliki dalam berbahasa Inggris. Selain itu, perasaan takut diejek oleh orang lain jika kita berbahasa Inggris, menimbulkan trauma di dalam diri. Hal ini juga dikarenakan lingkungan yang kurang mendukung untuk itu. Berdasarkan beberapa masalah diatas, memang akan terasa sulit jika dilakukan tanpa keinginan, niat dan usaha yang kuat dari dalam diri kita sendiri.

Walaupun kita tahu bahwa bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang sangat penting untuk diketahui, dipelajari, dipahami dan dikuasai. Karena hal itu merupakan salah satu poin plus bagi kita dalam berkomunikasi dan berinteraksi, terutama yang berhubungan dengan dunia internasional. Sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Rektor Universitas Bangka Belitung, Bapak Bustami Rahman beberapa waktu lalu dalam komentarnya di kolom Rektor mengenai kondisi bahasa Inggris di masyarakat sekarang ini khususnya di lingkungan Universitas Bangka Belitung yang dikategorikan telah mengalami perubahan yang cukup significant dibanding tahun-tahun sebelumnya baik itu dari program-program yang ditawarkan atau yang diselenggarakan oleh UPT Bahasa maupun partisipasi civitas akademika itu sendiri.

Misalnya saja kursus bahasa Inggris regular, kursus TOEFL, English Speaking Partner, dll. Keadaan seperti ini memberikan dampak yang baik bagi kita semua sebagai warga Universitas Bangka Belitung terutama dalam memperkenalkan UBB ke dunia luar. Karena visi yang kita anut adalah tujuan akhirnya menyentuh ke dunia global atau internasional. Oleh karenanya, bahasa Inggris sangat ditekankan dalam menyongsong tujuan tersebut. Jangan takut berbuat salah karena kita sesungguhnya bukan native speaker jadi masih bisa dimaklumi, berpikiran positif, terus belajar dan berusaha, mempraktekkan bahasa Inggris dalam keseharian terutama jika ingin berkomunikasi itu yang lebih penting, memperbanyak kosakata, menghilangkan rasa malu jika orang lain mencemooh, dll.

Apalagi menyangkut masalah pendidikan bagi dosen/staf yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka dituntut untuk bisa berbahasa Inggris baik itu lisan maupun tulisan terutama bagi yang ingin mendapatkan beasiswa. Adanya persyaratan yang mengharuskan mereka untuk memiliki skor TOEFL-ITP minimal 500-550 (luar negeri) dan 450-470 (dalam negeri) memotivasi dan memberikan dampak yang cukup berarti bagi kemajuan mereka dalam berbahasa Inggris. Mereka terpacu untuk menjadi lebih baik dengan skor yang tinggi. Begitu juga dalam dunia kerja, bahasa Inggris juga sangat dibutuhkan. Seringkali setiap perusahaan mencantumkannya sebagi salah satu syarat yang menentukan diterima atau tidaknya si pelamar. Jadi bukannya malu karena takut untuk berbahasa Inggris yang akan kita berdayakan tapi justru malu karena tidak bisa berbahasa Inggris yang harus kita tanamkan sejak dini.
 
Penulis/Sumber : Dini Wulansari, SS/UBK

Post a Comment

Previous Post Next Post