QUOVADIS SARJANA INDONESIA?

Mencermati kiprah dan perjalanan sarjana Indonesia beberapa tahun terakhir, kita patut prihatin dan hanya dapat untuk mengelus dada. Sebab dalam tataran praksisnya, sarjana Indonesia yang seharusnya memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen of change demi dan untuk kemajuan bangsa-negara justru jauh dari harapan. Sarjana di Indonesia justru banyak yang mengelami degradasi intelektual. Mereka tidak dapat membaca realitas sosial yang ada dihadapannya. Kenyataan semacam ini masih diperparah lagi dengan minimnya pengalaman.

Kebanyakan masyarakat Indonesia beranggapan bahwa yang namanya sarjana merupakan salah satu insan yang memiliki suatu �kelebihan� (keistimewaan) dan patut dibanggakan. Masyarakat beranggapan bahwa para sarjana memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen of change yang nantinya sanggup untuk dibebani sebagai genarasi penerus bangsa. Pemikiran itu sudah mendarah daging dalam benak pikiran kita sejak dahulu. Alhasil yang terjadi, kita selalu mengunggul-ngunggulkan para sarjana dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai gelar sarjana. 

Padahal pada realitas yang terjadi, agaknya statemen seperti tersebut sudah tidak cocok jika dikontekskan dengan keadaan sekarang.Stereotopit yang mengatakan bahwa sarjana Indonesia pandai dalam level teoritis, dan memiliki kemampuan praktis di lapangan ternyata tidak benar. Bahkan pada realitasnya, yang terjadi di lapangan justru berkata sebaliknya dan lebih memprihatinkan. Kebanyakan dari sarjana Indonesia bahkan tidak mengenal kedua-duanya, tidak memiliki cukup teori yang layak serta tidak tanggap di wilayah praksisisnya. Dalam artian mereka para sarjana Indonesia untuk dekade sekarang ini bisa dikatakan sangat miskin terori dan juga tidak cakap untuk membaca gejolak sosial. Sehingga mereka hanya menjadi sarjana yang hanya menyandang gelar. Sungguh kenyatan yang benar-benar menyayat hati dan mencoreng nama baik bangsa.

Kenyataan semacam ini terbukti dengan banyaknya sarjana yang mengganggur di Indonesia. Argumen ini dikuatkan oleh berbagai fakta dan penelitian yang dilakukan sosiolog UGM Ari Sudjito (2008) yang menyatakan, bahwa sedikitnya sebanyak 21.000 orang lulusan S1 dan 2.663 S2 dari perguruna tinggi negeri mapupun swasta (PTN ataupun PTS) di DI Yogyakarta menganggur. Tentunya semua itu semakin memperjelas pada khalayak umum. Memang pada hakikatnya instansi pendidikan (Universitas) di Indonesia mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.

Menurut Agus Suwignyo (2007) sarjana lulusan Universitas di Indonesia secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Indonesia miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Indonesia. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.  Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universitas. 

Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing dengan yang berbicara tentang profit para sarjana Indonesia (output Perguruan Tinggi/PT) memang tidak akan pernah lepas dan tercerabut terhadap input dan through put (proses) yang terjadi dan dilalui di dalamnya selama mereka menempuh jenjang pendidikan. Justru kedua hal tersebutlah yang pada akhirnya akan menentukan bermutu tidaknya, serta matang mentahnya mutu kesarjanaan yang mereka sandang nantinya.

Prof. Djojodiguno pernah melakukan kritik yang pedas terkait dengan keadaan yang melanda sarjana Indonesia. Beliau mengatakan bahwa �memang bocah Indonesia sejak bayi tidak pernah diajari untuk bertanya dan bersikap kritis, sehingga sampai sarjana sekalipun mereka tidak akan pernah memiliki rasa ingin tahu. Padahal writing tresno jalaran sosko kulino (heran itu pangkal pandai).

Demikianlah, di negara Indonesia memang sejak mulai dari rumah anak-anak sudah dilatih dan dididik hanya untuk mendengarkan dengan tenang segala perkataan tanpa harus ada komentar yang dikeluarkan sedikitpun. Komentar boleh keluar jika memang benar-benar dibutuhkan, dan itupun hanya terbatas. Anak tidak diperbolehkan berbicara semaunya. Alhasil, anak didik tidak akan pernah mempunyai nalar kritis sedikitpun, hanya menurut apa yang ia dengar.

Orientasi Praktis
Kenyataan tentang ironi sarjana Indonesia diperkuat lagi oleh pendapat Yudi Latif dalam bukunya �Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan� yang mengatakan bahwa kesalahan fatal yang mungkin sering diperbuat oleh sarjana indonesia adalah ketika memasuki jenjang perguruan tinggi mereka lebih berorentasi pada sesuatu yang sifatnya praktis. Kebanyakan tujuan dari mahasiswa bukan untuk memburu ilmu ataupun mengasah pisau analisis, agar dapat membaca relitas sosial. Akan tetapi lebih mengedepankan atau untuk mengejar gelar dan ijazah sebagai legitimasi serta persyaratan ikhtiyar dalam memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan yang menggiurkan.

Orientasi untuk kearah lapangan kerja dan gelar memang bukan merupakan suatu dosa. Apalagi jika diikuti dengan prestasi yang memadai. Namun sayangnya, banyak mahasiawa Indonesia yang justru tanpa ditopang oleh pengetahuan ilmu dan pendidikan yang memadai. Yang lebih memprhatinkan lagi, kesilauan terhadap �hantu status� ini telah banyak melahirkan mahasiswa yang oportunis. Segalanya bisa diatur, yang penting bisa mengikuti ujian, nilai bagus, tidak pernah membuat kesalahan, apalagi menyangkal kehendak dosen. Adegan-adegan seperti nitip tanda tangan, memelihara hubungan baik, skripsi aspal (asli tapi palsu), merupakan dinamika jalan pintas yang acap kali diperagakan dalam dunia kampus republik yang bertaburkan dengan �kampus ilmiah�.

Jadi tidaklah mengherankan misalnya ketika banyak pelajar yang berbondong-bondong masuk ke fakultas sastra. Kebanyakan tujuannya bukan untuk menjadi seorang sastrawan yang mumpuni dan berkompetensi dalam bidangnya. Akan tetapi karena lebih dikedepankan egonya yang tergiur dengan tawaran dan godaan dengan memperoleh diperusahaan-perusahaan asing yang menawarkan gaji yang menggiurkan.

Pengkhianatan Intelektual
Bagaimana pun juga, jika memperbincangkan perihal mutu dan kualiatas dari sarjana indonesia memang sangat mengharukan serta memprihatinkan. Bagaimana tidak, sebab banyak sarjana Indonesia yang hanya berorientasi praktis dan belum mempunyai nilai sosial yanng tinggi. Para sarjana Indonesia kebanyakan hanya berpikir untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang memadai. Alhasil yang mereka pikirkan juga hanya kepentingan mereka sendidri-sendiri, tanpa memikirkan bagaimana nasib masa depan bangsa Indonesia ke depan.

Polemik tentang peranan sarjana dalam pembangunan bangsa-negara memang sudah ada sejak lama. Bahkan, dalam era Orde Baru tetap ada keluhan menyangkut pengkhianatan intelektual. Dalam artian, banyak sarjana Indonesia yang tidak peka terhadap masyarakatnya, terhadap perkembangan kesejahteraan rakyat dan pembangunan bangsa-negara. Dan sarjana semacam inilah yang telah melakukan pengkhianatan terhadap intelektual. Namun apa hendak mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Semua itu sudah terjadi di negara Indonesia. Namun, sebenarnya kita bisa saja memperbaiki kepincangan-kepincangan yang sedang di hadapi oleh para sarjana muda Indonesia. Asalkan ada keinginan dan harapan yang kuat, pasti semua itu bisa diperbaharui. Mutu pendidikan sarjana Indonesia bisa ditingkatkan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebab bagaimana pun juga sarjana Indonesia diakui atau tidak merupakan agen of change yang nantinya menentukan maju tidaknya suatu bangsa.

Sumber  : Miftahul A�la di miftahblogspotcom.blogspot.com
Penulis adalah Direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS)
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yogyakarta.

Post a Comment

Previous Post Next Post