SELINTINGAN kabar di berbagai media tentang wacana larangan sepeda motor menggunakan BBM bersubsidi benar-benar menyakiti hati sebagian besar masyarakat kecil.
Karena pengguna sepeda motor sebagian besar memang masyarakat menengah ke bawah. Bagi mereka, wacana benar-benar tidak prorakyat. Dengan keadaan yang sekarang saja mereka sudah merasa terberatkan. Apalagi jika wacana larangan yang hampir pasti akan menaikkan pengeluaran rutin mereka itu benar-benar terealisasi. Secara psikologis, hal ini pasti akan menambah potensi stres masyarakat yang notabene di zaman ini sudah ditekan oleh banyak tuntutan. Akan tetapi di sisi lain pemerintah selaku eksekutor kebijakan pun punya alasan yang mendasari timbulnya wacana ini,yakni semakin besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN. Sebuah kondisi yang cukup mengkhawatirkan dalam perspektif pemerintah mengingat pertumbuhan kendaraan bermotor yang cukup tinggi khususnya sepeda motor pasti akan semakin memperbesarnya.
Ditambah lagi dengan penyaluran subsidi tersebut yang ternyata banyak yang salah sasaran. Fakta di lapangan justru menunjukkan subsidi BBM ini kebanyakan justru dinikmati orang-orang yang sebenarnya mampu. Selain itu, pengguna sepeda motor berjumlah cukup banyak. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu godaan bagi pemerintah untuk membebankan besarnya porsi subsidi BBM pada mereka. Kedua belah pihak, baik masyarakat maupun pemerintah memang sama-sama punya argumen yang kuat. Akan tetapi, lebih dari itu kita harus memikirkan solusinya. Karena jika keduanya hanya menolak usul lawan tanpa memberikan usulan baru yang lebih bisa diterima bersama, solusi tidak akan pernah muncul.
Sebagai langkah produktif, saya punya beberapa usul yang mungkin bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat. Pertama, larangan penggunaan BBM bersubsidi diterapkan pada mobil pribadi yang notabene dimiliki masyarakat menengah ke atas. Kedua, penerapan larangan tersebut dimulai dari kalangan pemerintahan dan birokrat bertahap dari elite hingga menengah. Ketiga, mengajak perusahaan transportasi dan perusahaan yang menggunakan transportasi untuk menggunakan BBM nonsubsidi, lalu memberikan label khusus bagi perusahaan yang mendukung program pemerintah tersebut. Keempat, bekerja sama dengan berbagai komunitas untuk memopulerkan penggunaan BBM nonsubsidi dengan memanfaatkan isu cinta lingkungan.
Jadi, besarnya porsi subsidi BBM di APBN itu sebaiknya memang dibebankan lebih dahulu di tingkat elite. Karena,mereka memang punya sedikit kelebihan dari segi materi. Terlebih mereka juga merupakan para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi bawahannya. Masyarakat secara umum pun seharusnya bisa bersikap lebih bijak dengan menikmati subsidi jika itu bukan haknya. Ketika nurani kita sebagai manusia telah tulus berbicara, jawabannya akan mudah: Jika saya mampu, saya menggunakan BBM nonsubsidi. Karena hanya dengan nuranilah kita bisa menjawab sendiri, apa solusi menuju BBM berkeadilan.(*)
Muhammad Pratama
Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia
*Udah lama gak posting nih. Yaudah posting tulisan saya yang dimuat di SINDO hari ini (4 Juni 2010) aja. Alhamdulillah, dengan ini berarti sudah dua kali tulisan saya dimuat di harian Seputar Indonesia (SINDO). Ayo! Kawan-kawan yang lain terus menulis juga yah...
Salam Kreatif - Kritis,
Pratama
Post a Comment