JEMBATAN SURAMADU KITA


Berjalan � jalan di tepian pantai Teleng, kota Pacitan, beberapa waktu lalu membuat saya agak kecewa. Lampu � lampu jalannya pecah dihantami batu. Konon, lampu � lampu itu sengaja dipecahkan agar para remaja � bahkan mungkin orang separuh baya � yang berpacaran di sekitar itu, tidak terganggu dengan terangnya lampu. Di tempat � tempat untuk berteduh pun tak bebas dari tangan jahil, penuh tulisan dan coretan � coretan yang membuat kesan kotor. Itu dulu, sekarang? Sudah sekitar setahunan ini saya tidak ke pantai, bisa jadi suasananya berubah drastis.
Saat Pacitan untuk yang pertama kalinya memiliki telepon umum koin yang tersebar di titik � titik strategis kota, itupun tak berlangsung lama keberadaannya. Ketika itu, telepon seluler belum ada seperti sekarang. Saya sering memanfaatkan telepon umum koin itu untuk sekedar berbincang dengan teman � teman sekelas. Namun, dalam hitungan bulan, telepon � telepon itupun rusak dijarah.
Nyatanya, setelah sekian tahun berselang, tradisi merusak itupun masih juga hidup dan merajalela. Baru satu minggu diresmikan, sebanyak 46 lampu penerangan Jembatan Suramadu di bagian bentang utama atau main span telah hilang. Sebelumnya, beberapa mur pagar besi di pinggir jembatan yang berfungsi sebagai pelindung motor juga hilang. Parahnya, ditemukan beberapa goresan pisau di cable stayed yang berfungsi menahan dua pilar utama Jembatan Suramadu.
Saya jadi tercenung. Mengapa kita tidak memiliki rasa memiliki atas fasilitas � fasilitas yang disediakan pemerintah untuk memudahkan aktivitas kita? Kerusakan yang terjadi pada lampu di pantai Teleng dan telepon umum koin di kota saya tidak begitu berdampak pada keselamatan hidup manusia. Nah bagaimana menurut anda jika pengrusakan itu terjadi pada jembatan dan batangan besi rel kereta api?
Entah didasari keisengan ataupun dalih untuk makan, pengrusakan atas fasilitas umum menunjukkan kepada khalayak luas bahwa kita belum juga memiliki Rumangsa Melu Handarbeni (merasa ikut memiliki), Wajib melu Hangrungkebi (wajib ikut menjaga) dan Mulat sariro hangrasa wani (berani berinstropeksi diri).
Sarana � sarana umum itu dibangun dari uang pajak yang dibayarkan rakyat. Jika kita tidak merasa memiliki, maka kita tidak akan ikut andil dalam menjaganya. Lalu, kita juga tidak dapat berinstropeksi diri, mengakui bahwa kita telah melakukan tindakan kriminal paling asosial sekaligus destruktif yang masif, untuk kemudian memperbaiki diri untuk bersikap yang semestinya.
Ada lelucon yang mengatakan bahwa negara Amerika tidak berani menyerang Indonesia karena apabila negara kita diserang, maka tank baja, dan juga kapal induk akan habis dipreteli para tukang loak. Tentu kita harus segera memperbaiki diri agar stigma ini tidak terus menerus menempel pada masyarakat Indonesia.
Lalu, dimana peran sekolah? Benarkah jika dikatakan bahwa sekolah telah gagal melahirkan lulusan � lulusan yang berbudi luhur?

Post a Comment

Previous Post Next Post