MEMBACA berita tentang pemerintah Yogyakarta yang berkeinginan untuk memperbaiki pendidikan agamanya yang dinilai terlalu teoritis dan terfokus pada materi hafalan sehingga tidak mampu memperbaiki akhlak para pelajarnya, membuat saya terpekur. Benarkah pelajaran agama saat ini dinilai terlalu teoritis sehingga tidak berdampak pada perbaikan akhlak siswa?
Sejak kecil dulu, saat saya dan teman � teman saya biasa belajar dan tidur di surau, kami telah diberi wejangan oleh ustad bahwa menuntut ilmu agama itu wajib bagi umat Islam baik laki � laki dan perempuan. Bahkan kewajiban itu berlaku sejak masih kanak � kanak sampai waktunya untuk disemayamkan di liang lahat.
Ustad kami juga menyampaikan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak. Beliau mendidik dengan memberi contoh yang baik terlebih dahulu kepada para sahabatnya sebelum beliau memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melakukan perbuatan baik itu. Dan, dengan cara ini, beliau berhasil memperbaiki akhlak.
Maka, menurut saya, jika pelajaran agama saat ini dinilai tidak mampu memperbaiki akhlak karena terfokus pada hafalan, saya tidak begitu sependapat. Ajaran � ajaran Nabi Muhammad berkenaan dengan akhlak ditulis dalam hadits, rekaman sabda � sabda Nabi yang disaring keasliannya oleh para ulama besar. Dari hadits � hadits itulah umat Islam belajar untuk berakhlak mulia. Sabda � sabda Nabi itu adalah sumber dari akhlak mulia. Oleh karena itu, sabda � sabda itu memang harus dihafal agar tertanam dalam sanubari dan terimplementasi dalam perbuatan. Selain itu, agar hadits � hadits itu dapat diajarkan lagi kepada orang lain. Dengan menghafal dan menyampaikan hadits � hadits itu, seolah � olah kita adalah �penyambung lidah� Nabi.
Sesuai dengan yang diajarkan ustad saya saat di surau selepas maghrib bertahun lalu, menurut hemat saya, yang membuat siswa tidak terperbaiki akhlaknya adalah karena mereka tidak mendapatkan panutan atas apa yang diajarkan kepada mereka. Dalam teks, mereka mendapatkan sesuatu yang sangat ideal. Namun dalam kenyataan, mereka mendapati sesuatu yang berkebalikan. Karena itulah mereka tidak memandang ajaran sebagai suatu sumber nilai melainkan hanya sebagai informasi semata. Sebagaimana seekor keledai yang mengangkut buku � buku penuh muatan ilmu.
Yang terbaik, siswa perlu untuk mendapatkan lingkungan yang bisa mereka teladani dalam melaksanakan akhlak mulia. Lingkungan tempat tinggal mereka, guru � guru mereka, harus mampu menjadi teladan yang baik. Tanpa itu, meskipun metode pembelajaran diganti dengan sesuatu yang dianggap terbaik sekalipun, akan sulit terlihat perbaikan akhlak yang signifikan dari siswa � siswi kita.
Post a Comment