Anak itu memang suka membuat onar. Tidak ada yang suka padanya. Penampilannya saja sudah menunjukkan bahwa ia bukan anak baik � baik. Rambutnya yang lurus jabrik itu disemir merah, lengan bajunya selalu dilipat agar kelihatan lengannya yang berotot, bajunya tidak pernah dimasukkan ke celana, sangat tidak rapi. Awut � awutan malah.
Pertama kali aku mengajar kelasnya, ia tidak pernah memperhatikan. Mengganggu temannya, berteriak � teriak. Tidak Nampak padanya rasa sungkan karena melakukan hal � hal sedemikian. Saya merasa marah diperlakukan sedemikian. Tapi kucoba untuk sementara membiarkannya.
Hari itu tiba saatnya untuk anak � anak berbicara di depan kelas dengan menggunakan bahasa Inggris mengenai keluarganya. Satu persatu anak � anak maju. Berbicara sekemampuan mereka. Tiap selesai satu anak, saya selalu mengomentari dengan komentar yang baik dan mengoreksi kesalahan tata bahasa yang mereka gunakan.
Higga akhirnya tiba giliran anak bermasalah itu. Saya heran ia mau melaksanakan tugas itu. Biasanya tidak.
Mulailah ia berbicara. Tata bahasanya awut � awutan. Dia pun sering mengucapkan kosa kata dengan apa adanya, tidak sesuai dengan pengucapan bahasa Inggris yang seharusnya.
Namun saya mengerti maksud dari ucapannya. Dia katakan bahwa ayahnya telah meninggal dan ia hidup hanya dengan ibu dan adiknya yang masih kecil. Dia katakan bahwa ia mencintai ibu dan adiknya itu dan berharap suatu saat nanti ia bisa berbuat sesuatu untuk mereka.
Dia pun selesailah. Saya berkomentar. Sama sekali saya tidak mengomentari tata bahasa dan pengucapan bahasa Inggrisnya. Saya hanya mengomentari tentang isi dari perkataannya. Saya katakan bahwa saya heran dengan anak itu. Selama ini dia selalu muncul sebagai anak yang bandel, berandalan. Tapi ternyata ia memiliki kelembutan dalam hatinya. Kelas, tak berapa lama kemudian, usai.
Hari � hari setelah kejadian itu, anak bandel itu berubah sikapnya terhadapku. Kini ia menjadi anak yang sopan dan baik.
Setidaknya terhadapku.
Saya heran dengan perubahan ini.
Post a Comment