BELUM MERDEKA


Hari minggu yang akan datang, Indonesia akan merayakan kemerdekaannya yang ke 63. Seperti umumnya perayaan kemerdekaan, banyak acara digelar untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan itu. Mulai dari anak � anak sampai orang tua terlibat dalam perlombaan � perlombaan. Yang sering digelar di berbagai tempat; lomba makan kerupuk, tarik tambang dan pertandingan sepak bola jago kapuk, menyedot perhatian masyarakat banyak. Dan yang paling meriah adalah Panjat Pinang.
Di atas pohon pinang yang dilumuri minyak pelumas, sehingga sedemikian licin untuk dipanjat, tergantung berbagai macam barang yang akan menjadi milik peserta lomba jika saja mereka mampu menurunkannya. Polah tingkah peserta dalam memanjat pohon yang licin itulah yang menjadikan lomba ini sedemikian meriah. Minyak pelumas bekas yang dipakai untuk melumuri pohon pinang, berwarna hitam dan kotor, membuat lucu para peserta. Gelak tawa penonton akan berubah sorak sorai ketika pada akhirnya hadiah dapat diturunkan.
Namun dibalik suka ria perlombaan panjat pinang, bisa jadi ada yang luput dari perhatian kita semua. Biasanya, perlombaan yang meriah ini ditonton juga oleh kaum pejabat, tokoh masyarakat, orang � orang kaya yang duduk di bawah tenda yang teduh, yang disediakan khusus untuk mereka. Sedang rakyat biasa menonton di bawah terik matahari, karena biasanya lomba panjat pinang diselenggarakan pada saat siang hari.
Para penonton di bawah tenda tertawa terbahak melihat peserta yang kerepotan memanjat. Bahkan ada beberapa kepala dari peserta yang diinjak - injak oleh rekan mereka yang lain agar dapat mencapai puncak. Dengusan nafas, keringat yang bercucuran, rasa kesakitan tubuh peserta untuk bisa mendapatkan hadiah yang tidak seberapa, menjadi bahan tontonan dan tertawaan para pejabat, tokoh masyarakat dan orang � orang kaya. Rakyat jelata yang berlepotan minyak pelumas menjadi bahan hiburan orang � orang kaya. Apakah ini benar?
Saya rasa, permainan panjat pinang merupakan tinggalan penjajah Belanda yang feodal. Penjajah menjadikan kesulitan hidup dari bangsa yang dijajahnya sebagai hiburan bagi dirinya. Selain itu, keadaan kaum terjajah yang miskin dan hidup sulit, membantu menegaskan eksistensi dirinya sebagai kaum yang lebih. Karena merasa lebih itulah mereka merasa berhak menjadikan penderitaan orang lain sebagai bahan lelucon.
Mungkin perlombaan ini tidak perlu kita selenggarakan lagi. Jika dikatakan bahwa lomba ini bertujuan untuk memeriahkan, kita katakan bahwa masih banyak berbagai perlombaan lain yang bisa dijadikan untuk memeriahkan acara perayaan. Permainan � permainan olah raga seperti sepak bola atau bola voli misalnya, tentu lebih bermartabat dibandingkan dengan Panjat Pinang.
Panjat Pinang merepresentasikan kesenjangan antara miskin dan kaya. Mengeksploitasi kemiskinan sebagai hiburan. Mengkotak � kotakkan rakyat sebagai golongan priyayi dan non priyayi. Meng-kasta-kan masyarakat. Memang nampaknya hanya sekedar permainan yang memeriahkan, namun dampak sosialnya perlu kita perhatikan.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, wajib belajar di sini.

Post a Comment

Previous Post Next Post