Ketika beberapa pembaca KOMPAS menyatakan pandangan mereka mengenai harian yang hari ini berusia 44 tahun, saya juga terusik untuk menyatakan pengalaman saya dalam berinteraksi dengan Koran yang saya baca sejak ia mengabarkan di halaman pertamanya Angelique Wijaya yang memenangkan kejuaraan tennis dunia.
Saya tidak lagi ingat kapan saya mulai membaca KOMPAS. Yang pasti sejak kecil. Tetangga saya berlangganan KOMPAS dan saya selepas bermain di siang hari akan duduk � duduk di emperan rumah tetangga saya itu membaca OOM PASIKOM. Ya, hanya OOM PASIKOM yang menarik minat saya saat itu. Saya mulai membaca KOMPAS dengan alokasi waktu tersendiri sejak, seperti saya sudah tulis di atas, ia mengabarkan di halaman pertamanya Angelique Wijaya yang memenangkan kejuaraan tennis dunia.
Setelah membaca berita Angelique, saya sering membeli KOMPAS meski tidak saban hari. Saat itu saya masih punya waktu yang sangat longgar sehingga saya bisa membaca KOMPAS dari A sampai Z. Benar, saya membaca semuanya kecuali iklan barisnya. Meskipun topik yang baca bukan merupakan topik yang saya minati, tetaplah ia saya baca karena pada waktu itu saya berpikir jika saya tidak membaca semuanya berarti saya telah menyia � nyiakan uang saya untuk membelinya � pada waktu itu harga KOMPAS eceran masih sekitar 2.000 lebih sekian ratus rupiah dan saya membelinya dari uang pemberian ibu saya. Sejak itu saya jatuh cinta pada KOMPAS yang menurut saya memuat tulisan � tulisan yang sangat berbobot dan sampai saat ini, menurut saya, belum ada satupun KORAN nusantara yang sebanding dengannya. Lagi pula, cetakan KOMPAS juga lebih bersih dibandingkan Koran nasional lain yang beredar di Pacitan.
Ketika saya mulai mengajar di SMP, saya beruntung karena sekolah tempat saya mengajar dikepalai oleh seorang mantan guru bahasa Indonesia yang juga penggemar KOMPAS. Tentu, karenanya, sekolah berlangganan KOMPAS. Sejak saat itulah saya mulai membaca KOMPAS setiap hari meskipun tidak tuntas seperti dulu karena harus bergantian dengan guru yang lain.
Namun sayang, selang beberapa tahun, seorang teman guru mengusulkan agar sekolah tidak lagi berlangganan KOMPAS karena ia tidak �enak� dibaca. Dan sayangnya, demi menampung usulan dari guru, usulan ini dikabulkan. Esoknya kami berlangganan Koran lain yang bagi saya tidak sebagus KOMPAS.
Sejak itu saya berusaha menyisihkan uang untuk dapat berlangganan KOMPAS meskipun tidak setiap hari � alasannya? Apalagi jika tidak memiliki cukup uang untuk berlangganan. Saya berlangganan KOMPAS di hari sabtu, minggu dan senin. Menurut saya, tiga hari itu sudah cukup mewakili KOMPAS yang satu minggu. Saya berlangganan sekitar satu tahunan dan memutuskan untuk berhenti sejak saya dapat mengakses KOMPAS ePaper. Selepas subuh, saya sempatkan untuk membacanya.
Apa yang saya baca? Saya tidak begitu suka dengan politik. Maka, saya jarang membaca berita tentang politik. Saya membaca Tajuk Rencana, Opini � meskipun tetap di topic � topic yang saya minati saja, Kilasan Kawat Dunia, Pendidikan dan Kebudayaan, artikel � artikel Budiarto Shambazy, kolom bahasa, iptek dan sosok. Komik � komik yang melegenda seperti Panji Koming, Konpopilan dan Timun � dan kini telah dimeriahkan lagi dengan munculnya Benny dan Mice dan Sukribo juga menjadi sesuatu yang saya tunggu di hari minggu. Halaman � halaman yang memuat itu semua benar � benar membuka wawasan saya.
Usia yang telah 44 tahun dan di tengah situasi banyaknya surat kabar yang bangkrut saya berharap KOMPAS akan tetap eksis di masa � masa mendatang. Memang banyak yang telah beralih ke KOMPAS dot com, tetapi mata saya juga tidak akan betah berlama � lama di depan monitor computer. Di saat itulah saya akan pergi ke agen terdekat untuk membeli KOMPAS hari itu. Dan membukan halaman � demi halaman yang membuat saya lebih segar setiap harinya. Selamat ulang tahun KOMPAS!
إرسال تعليق