SAYA DAN DONGENG


Saya beruntung karena memiliki nenek yang senang mendongeng. Dulu, di waktu � waktu menjelang tidur, nenek selalu mendongengi saya. Beliau tiduran di sisi kasur, dan saya, berada di sisi lainnya, juga tiduran sambil memeluknya dan menyimak dongengannya. Nenek mempunyai perbendaharaan dongeng yang banyak. Tapi saya paling menyukai dongeng Si Kancil. Maka, sering saya meminta nenek mengisahkan dongeng paling populer ini. Meski mendengar berulang � ulang, saya tidak jadi jemu karenanya.
Kelihaian nenek dalam mendongeng saya rasakan ketika dongeng sudah hampir berakhir sedang saya belum tertidur. Beliau kemudian mengaitkan dongeng yang belum selesai itu dengan dongengan lain seolah cerita bersambung. Biasanya, sebelum dongeng ke dua ini habis saya sudah tertidur. Tapi, tak jarang juga nenek menamatkan dongengannya walaupun saya belum tidur. Mungkin beliau kelelahan. Dari dongeng yang tamat itulah saya mengenal kalimat gedhang kepok kari setugel, cunthel, pantun yang menandakan bahwa dongeng telah selesai. Kalimat itu, bagi saya, sama populernya dengan kalimat yang biasa digunakan nenek untuk memulai ceritanya; dhek jaman biyen, ning alas gung liwang liwung (Pada jaman dahulu kala, di hutan belantara).
Nenek sudah lama berpulang. Tapi, dongengannya dahulu membuat saya mampu untuk juga mendongengi anak � anak saya. Selain itu, saya kira, dongengan nenek jugalah yang membuat saya gemar membaca sejak saya bisa melakukannya. Dongengan nenek sebegitu menariknya sehingga mendorong saya untuk mendapatkan dongengan yang lebih kompleks ketika saya dewasa. Dan itu hanya bisa saya dapatkan dari buku.
Sayang, dongeng kini nampaknya tidak lagi populer di mata anak � anak kita. Maksud saya dongeng yang dituturkan. Film � film kartun di Televisi juga dongeng. Tapi pasti dampak positifnya tidak sehebat dongeng tutur. Menurut banyak penelitian, melihat televisi hanya akan membuat otak menjadi pasif. Bahkan saat dongengan nenek saya dahulu dibuat film, misalnya, pasti tidak akan membuat otak bekerja aktif. Saat nenek mendongeng tentang kancil yang melompat � lompat di atas punggung buaya, saya berimajinasi tentang sebuah binatang kecil yang lemah tapi sangat cerdas, menginjak � injak binatang paling menyeramkan. Imajinasi seperti ini tidak akan terjadi jika kita melihatnya dalam bentuk film.
Namun, sebaik apapun dampak dari sebuah dongeng bagi anak � anak kita, dongeng tetap kalah populer dibandingkan film di televisi. Orang tua yang semakin sibuk tidak lagi mempunyai kesempatan untuk mendongeng bagi anak � anaknya. Apalagi, pengaruh televisi memang sudah sedemikian hebatnya. Sampai � sampai televisilah yang �mengatur� jadwal harian kita.
Banyak orang tua yang malah senang jika anak � anak mereka duduk manis di depan televisi. Menurut persangkaan mereka, menonton televisi lebih aman daripada anak � anak mereka bermain di luar rumah. Pandangan yang salah besar sehingga membuat anak � anak semakin akrab dan sulit dipisahkan dari televisi.
Nampaknya, kita harus menghidupkan lagi tradisi mendongeng bagi anak � anak kita. Dan langkah awalnya adalah dengan membuat televisi menjadi tidak menarik di mata mereka. Sepertinya, jika televisi tidak menarik lagi di mata kita, TV juga tidak akan menarik di mata anak � anak kita.

Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, televisi di sini.

Untuk membaca artikel saya sebelum ini, silahkan klik PERGURUAN TINGGI BOHONG - BOHONGAN di sini.

Post a Comment

أحدث أقدم