MARTIR


Seorang teman saya yang mengajar di sebuah SMA Negeri di kota saya mengatakan bahwa ia tidak lagi betah mengajar di sekolah itu. Anak � anak yang bersekolah di sekolah itu sulit diajak bekerja sama. Nilai � nilai mereka sangat rendah dan cenderung tidak bisa menghargai guru. Guru � guru yang ada di sana pun menjadi bagian dari masalah. Kebanyakan mereka malas � malasan mengajar dan sering menempuh jalan pintas dengan memberi contekan saat Ujian Nasional.
Teman saya yang idealis itu tentu saja tidak bisa bekerja di lingkungan yang seperti itu. Dedikasinya untuk mengajar sangat tinggi. Ia orang yang sangat serius sejak mahasiswa.
Karena ia mengadukan masalah yang mengganjal itu pada saya, saya pun berusaha untuk menasehatinya. Saya katakan mengapa ia tidak berusaha untuk merubah keadaan itu. Dia katakan tidak mungkin. Semuanya sudah membudaya dan tidak mungkin lagi dapat dirubah.
Mendengarkan keluhan teman saya itu, saya teringat dengan sebuah kisah tentang sebuah pasukan perang yang tidak dapat menembus pertahanan musuh karena mereka dilindungi sebuah benteng yang besar lagi kuat. Satu � satunya akses jalan yang bisa digunakan untuk masuk kedalam benteng adalah sebuah pintu yang terkunci dan dijaga pasukan bersenjata lengkap. Melihat itu, seorang anggota pasukan yang berani mengorbankan dirinya dengan memanjat dinding benteng dan membuka kunci pintunya. Pintu terbuka seiring kematian sang prajurit yang tertembus ratusan anak panah.
Untuk sebuah tujuan yang mulia, kita terkadang perlu mengorbankan diri kita sendiri. Melawan arus utama adalah sebuah kepedihan. Tapi, entah kita dapat ikut merasakan atau tidak, suatu saat nanti perubahan akan terjadi. Lantaran kita.

Untuk membaca artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan klik, MARTYR di sini.



Post a Comment

أحدث أقدم