Tekanan verbal belum cukup. Dengan deraan fisik yang menyakitkan, mental yang kuat dari tiap taruna akan terbangun. Pada saatnya nanti, mental yang baik itu akan sangat berperan dalam meningkatkan kinerja para taruna di atas kapal. Demikian kata seorang wakil dari Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran ( STIP ) dalam sebuah dialog di televisi.
Benarkah untuk membangun mental yang kuat diperlukan kekerasan fisik? Dipukul dengan sangat brutal bahkan sampai menemui ajal? Sedemikian mahalkah harga suatu mental yang baik? Mental tangguh memang terbentuk dari kehidupan yang sulit. Hanya, apa yang dilakukan oleh para mahasiswa STIP sudah kebablasan.
Kepemimpinan dimodali oleh karakter yang kuat. Tanpa karakter bisa dikatakan bahwa tidak akan ada pemimpin yang berhasil. Tengoklah para pahlawan kemerdekaan kita, Panglima Besar Jendral Sudirman. Apakah beliau berbadan tinggi besar dan tegap? Buka � bukalah berbagai buku sejarah. Tiap foto yang tercantum nama Jendral Sudirman di bawahnya, adalah foto seorang lelaki kurus yang tampak benar jika sakit � sakitan. Apakah Jendral Sudirman seorang orator ulung, singa podium bak Ir. Soekarno? Saya belum pernah mendengar hal itu.
Tapi, kita semua pasti tahu bahwa Jendral yang sakit � sakitan itu adalah tokoh gerilya yang gigih. Kemana � mana ditandu oleh para prajurit, menempuh jarak ribuan kilo berjalan kaki. Apa yang menyebabkan orang sakit �sakitan bisa dipatuhi oleh orang � orang yang sehat? Bagaimana orang yang tidak mampu berjalan jauh bisa sedemikian disegani oleh kawan ataupun lawannya? Jawabnya, karena meskipun berfisik rapuh, beliau adalah orang yang berkarakter.
Karakter Jendral Sudirman terbentuk dari kehidupan jaman penjajahan yang serba sulit. Para tokoh pahlawan kita jelas bukan orang yang konsumtif. Yang bisa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat seperti sekarang. Mereka adalah orang yang terbiasa lapar. Mereka terbiasa kurang tidur. Terbiasa berjalan kaki.
Sedang kita saat ini, terbelit kencang konsumtifisme. Kita terbiasa terlayani dengan �fast and easy�. Kita terbiasa makan bermacam � macam jenis makanan sampai tidak ada lagi tempat di lambung kita. Kita orang � orang yang hobi tidur. Dan kaki � kaki kita juga bukan jenis kaki yang biasa berjalan. Mengayuh sepeda pun jarang. Ada mobil, ada motor. Mengapa berpayah � payah jalan kaki? Begitu pikiran kita.
Selain dari biasa hidup sulit, karakter Jendral Sudirman terbentuk juga dari niat yang benar. Semua pahlawan kita berjuang dengan tujuan kemerdekaan. Tidak ada embel � embel cari muka atau menjilat di sana. Sedangkan kita, seringkali niat tulus kita tercemari berbagai kepentingan. Kita tidak ikhlas.
Kembali ke kekerasan di dunia pendidikan, jika dikatakan bahwa kekerasan itu akan melahirkan mental yang tangguh, saya katakan, omong kosong. Kehidupan yang sulit di masa penjajahan membuat para pelaku sejarah menjadi tahan banting dan berjuang keras untuk menggapai apa yang dicita � citakan. Lantas, apakah mahasiswa yang dipukuli itu kemudian menjadi kuat pendirian dan tinggi semangat berjuangnya?
Di akhir pekan, kita masih bisa santai dan �kongkow � kongkow� di mall. Telepon genggam kita terus berganti dengan model terbaru. Kita masih saja berlomba mendapatkan kendaraan pribadi dan meninggalkan angkutan umum. Baju kita bermerek dan banyak jumlahnya. Kita lihat juga warung � warung makanan produk luar negeri selalu ramai pengunjung. Kita makan di situ bukan karena lapar. Tapi karena gengsi. Pola hidup yang seperti itu mematikan semangat juang. Tanpa semangat juang, karakter kita lemah. Pukulan � pukulan brutal di kampus � kampus itu tidak akan melahirkan pemimpin yang sebenarnya. Hanya akan melahirkan pemimpin kerdil berjiwa preman.
إرسال تعليق