(Pepatah Jerman)
Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang rekan saya lima tahun yang lalu. Saya terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Bahkan mungkin pada saat itu saya kaget. Mengapa ada pertanyaan remeh temeh seperti itu yang diajukan kepada saya?. Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih bermutu? Tapi, meskipun remeh, ternyata pertanyaan itu tidak bisa serta merta saya jawab seketika itu juga. Saya memang suka bersepeda kemanapun saya suka, selama terjangkau dengan bersepeda tentunya, dan saya menikmatinya. Saya tak pernah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan serupa itu.
Tapi, setelah saya pikir � pikir, ternyata saya punya alasan dari mengapa saya bersepeda. Saat itu, saya adalah seorang guru GTT yang bayarannya hanya cukup untuk beli garam. Maka, sepeda adalah alat transportasi paling logis untuk kondisi saya saat itu. Sepeda adalah titian yang sangat ekonomis dan tidak mengancam saya dengan pengeluaran yang besar dan tidak perlu. Lagipula, menurut saya, ada pemandangan � pemandangan yang tidak bisa dilihat oleh pengendara sepeda motor apalagi mobil. Dengan mengayuh sepeda, mata saya bisa jelalatan memandangi berbagai hal yang ada di sisi kiri dan kanan jalan dengan detil. Di sebelah jalan anu, ada tukang jahit baru. Di ujung gang itu ada penjual pecel yang tiap pagi pasti ramai dengan pembeli. Pembeli datang pasti karena rasa pecel yang enak dan murah. Lain kali bisa saya coba. Di sebuah toko ada diskon atas berbagai macam pakaian, nah ini bisa untuk penghematan.
Pemandangan serupa itu pasti tidak bisa dinikmati oleh seorang pengendara mobil atau sepeda motor karena kecepatan mereka tak serupa sepeda. Ini keuntungan yang dimonopoli oleh pengendara sepeda dan pejalan kaki saja. Ya bisalah dinikmati oleh pengendara sepeda motor atau mobil jika mereka mau mengendarai motor dan mobilnya dengan kecepatan super lambat atau kalau cepat mereka harus siap � siap menanggung resiko menabrak pengguna jalan lain. Saya kira kedua hal itu � berjalan lambat atau cepat tapi berisiko menabrak � adalah hal bodoh bagi mereka. Buktinya saya belum pernah melihat kedua pengendara alat transportasi bermotor itu mengendarai kendaraannya dengan kecepatan selambat keong. Yang ada berlomba cepat � cepatan seolah berada di arena balap.
Lima tahun berlalu. Saya bukan GTT lagi. Sudah ada sedikit perbaikan dari sisi ekonomi. Dan sekali lagi, kemarin lalu, saya mendapatkan pertanyaan serupa yang diajukan kepada saya bertahun yang lalu. Celakanya, saya masih juga belum bisa cekatan menjawabnya. Masih diam sebentar. Merenungkan alasan mengapa saya masih terus bersepeda. Belum juga saya jawab, rekan yang mengajukan pertanyaan itu menasehati saya. Katanya, sepeda motor sekarang murah � murah dan irit bensin. Banyak dealer yang menawarkan kredit ringan. Gaji saya sebulan masih cukup untuk membayar kreditan sekaligus memenuhi kebutuhan � kebutuhan lainnya. Lagipula istri saya juga bekerja. Benar juga, kata saya. Masih kata teman saya, dengan bersepeda motor, waktu kita menjadi lebih efisien. Saat dia mengatakan hal ini buru � buru saya timpali bahwa saya tidak pernah terlambat masuk kelas meskipun saya naik sepeda.
Beberapa bulan lalu di Bali, diselenggarakanlah sebuah pertemuan Negara � Negara di seluruh dunia. Mereka berdiskusi tentang semakin panasnya bumi. Pemanasan bumi (global warming) itu terjadi karena peningkatan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik � pabrik dari Negara industri dan juga kendaraan bermotor. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pengolahan limbah dan sampah yang baik. Serta semakin gencarnya penggundulan hutan dan minimnya reboisasi.
Suhu di bumi semakin panas. Di puncak bogor tak bisa lagi ditemukan halimun dan cuaca yang begitu dingin seperti tahun � tahun lalu. Di Malang, banyak pohon apel yang gagal panen. Kedua hal itu hanya contoh dari dampak pemanasan global yang masif. Yang lebih mengerikan, seringkali kita lihat di negeri kita ini, saat musim kemarau, banyak penduduk yang kekurangan air. Tapi begitu musim hujan datang, penduduk kita dikepung banjir. Dua kondisi yang sama � sama membahayakan keselamatan jiwa manusia. Apa ini yang menjadi alasan saya untuk tetap naik sepeda? Saya belum bisa terburu � buru menjawab. Saya renungkan dulu.
Saat saya kuliah, saya pernah membaca artikel tentang Herbert Feith, seorang Indonesianis dari Australia. Saat mengajar di UGM, doktor tua ini naik sepeda ke kampus. Dan kematiannya di tahun 2003 juga ketika dia sedang mengendarai sepedanya. Saya membaca artikel tentang Belanda yang telah menjajah Indonesia tiga setengah abad dan sampai saat ini masih juga sepeda yang menjadi transportasi utamanya.
Saya pernah membaca artikel tentang asketisme yang mengatakan bahwa kesederhanaan akan menumbuh suburkan semangat berjuang. Seorang yang terbiasa sederhan, terbiasa susah, terbukti mempunyai semangat juang yang besar. Mereka mempunya energi yang tidak dimiliki oleh mereka yang biasa hidup enak � enakan dan nyantai. Bersepeda juga menyehatkan tentunya. Ini tambahan saja. Karena saya yakin anda telah mengetahuinya.
Apakah kesemua hal diatas mempengaruhi saya untuk selalu bersepeda? Setelah merenung beberapa saat saya katakan, mungkin ada benarnya. Kebutuhan saya banyak, saya harus melakukan penghematan. Dan saya seorang guru. Saya harus mempunyai daya juang yang besar agar bisa diteladani oleh murid � murid saya. Saya juga merasa berkewajiban untuk menjaga kelangsungan bumi ini agar tetap bisa ditinggali anak cucu saya dengan nyaman di hari depan. Benar, sepertinya itu alasan saya. Jika nanti ada rekan yang mengajukan pertanyaan mengapa saya bersepeda, saya akan jawab dengan mantap.
Untuk membaca artikel terkait,silahkan klik, guru kaya di sini.
إرسال تعليق