OJO GUMUNAN

Beberapa waktu lalu, kita semua melihat, mendengar dan mengalami suatu keadaan yang saya sendiri belum pernah mengalaminya seumur hidup. Booming tanaman hias anthurium. Tanaman berdaun lebar ini begitu terkenalnya hingga semua lapisan masyarakat seolah tersihir ingin memilikinya. Obrolan � obrolan di pasar, di kantor, di kendaraan umum dan di jalanan, semua tempat umum dan privat bertemakan tanaman hias ini. Di toko � toko buku banyak tergantung tabloid � tabloid yang membahas tentang apa, bagaimana dan mengapa tanaman hias tersebut. Untuk satu tanaman hias, terbit sekian tabloid yang berbeda dan semuanya laku terjual. Luar biasa. Lebih ekstrim lagi saat pembicaraan beralih ke harga dari tanaman hias itu. Kadang kita tak habis pikir. Mengapa harga dari selembar daun bisa sedemikian mahalnya?
Banyak orang yang kemudian berinvestasi dalam bisnis penjualan tanaman hias. Beratus juta dikeluarkan untuk itu. Terbangung opini bahwa bisnis tanaman hias adalah bisnis yang cerah. Alasannya sederhana. Semua orang menginginkan agar rumah tempat tinggal dan lingkungan mereka menjadi asri dan indah. Satu hal yang hanya bisa dipenuhi oleh tumbuhan hidup. Maka, bisnis tanaman hias akan tetap abadi seiring abadinya keinginan manusia untuk mendapatkan keindahan.
Tindak kriminal yang diakibatkan oleh tingginya harga tanaman hias ini pun sangat banyak. Pencurian tanaman terjadi di mana � mana. Dilakukan oleh anak kecil sampai orang � orang dewasa siang dan malam. Dibandingkan mencuri motor, mencuri tanaman hias tentu lebih mudah. Sedang harga dari tanaman kadang dua kali lipat dibandingkan harga motor. Maraknya pemberitaan tentang tindak pencurian tanaman hias itu membuktikan betapa berharganya lembar � lembar daun anthurium.
Tapi kini, layaknya matahari yang ditelan langit sore, karisma anthurium memudar. Kalau dulu orang � orang menyimpan si tanaman mahal itu di samping tempat tidur, karena takut dicuri orang. Kini, mereka menduduki emperan � emperan rumah. Aman, tidak menggoda orang untuk melakukan pencurian. Tabloid � tabloid yang dahulu merajai toko buku pun, sekarang tinggal satu dua, bahkan tak ada. Penjual � penjual sang tanaman juga banyak yang gulung tikar dan mewariskan hutang sekian � sekian juta. Keuntungan yang telah diperkirakan sebelumnya, urung didapat. Topik pembicaraan kini banyak berubah.
Keadaan seperti ini menyedihkan kita semua. Mengapa kita sedemikian mudahnya terpengaruh? Merelakan uang jutaan rupiah melayang dari saku kita untuk kita tukarkan dengan beberapa lembar daun. Daun saja. Bukan makanan, bukan kendaraan, bukan pula produk teknologi. Tapi mampu membuat kita sedemikian terobsesinya. Apa alasannya? Ada beberapa. Pertama, ketika sebuah trend berkembang di sebuah komunitas, kita merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan trend itu. Dengan begitu, kita baru merasa sebagai salah satu anggota dari komunitas itu. Jika kita tidak menyesuaikan diri, timbul rasa dalam diri kita bahwa kita ditolak oleh komunitas. Orang di luar komunitas. Rasa ini membuat kita tidak nyaman bergaul dengan mereka.
Alasan kedua adalah prestise. Saat si tanaman menjadi sedemikian mahal dan tak mungkin terjangkau oleh orang � orang dengan penghasilan pas � pasan, memiliki tanaman itu menandakan bahwa kita adalah seseorang dengan uang yang melimpah. Status sosial kita tinggi. Orang dengan status sosial yang tinggi, akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik di masyarakat.
Tapi, jika kita mau merenungkan, kedua alasan di muka tidak pantas dikatakan benar. Untuk alasan yang pertama, kita katakan bahwa trend itu sengaja diciptakan. Bukan sesuatu yang otomatis terjadi. Tujuannya tentu untuk kepentingan pemilik modal. Karena diciptakan, trend akan terus berkembang. Lalu, sampai kapan kita akan terus menjadi pengikut trend? Mampukah kita?
Naasnya, trend itu tidak hanya ada dalam satu lini kehidupan kita. Hampir di semua aspek kehidupan, kita diserang dengan berbagai trend yang menguji pendirian kita. Betapa banyak barang � barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan tetapi kita konsumsi hanya karena trend. Makanan misalnya, banyak orang yang makan di gerai � gerai makanan produk luar negeri karena dianggap keren. Makan di warteg tidak sekeren jika kita makan di Kentucky Fried Chicken, minum di Warung Kopi tidak bergensi seperti jika kita minum di Starbuck. Padahal makanan atau minuman di kedua tempat itu mahal. Tidak murah seperti di warung � warung lokal. Kita mau membayar mahal untuk sebuah trend. Itu yang sebenarnya terjadi. Bukan karena kita harus makan di sana.
Ya. Trend telah mempola makanan kita, pakaian kita, tempat tinggal kita, kendaraan kita dan termasuk cara kita dalam berkomunikasi. Kalau kita tidak berusaha untuk membatasi semua keinginan � keinginan kita, kita akan termakan oleh trend. Kita tidak bisa hidup merdeka sebagaimana yang kita harapkan. Kita diperbudak trend.
Bertahun � tahun lalu almarhum presiden Soeharto sering berpidato dengan mengusung jargon, OJO KAGETAN, OJO GUMUNAN, OJO DUMEH. OJO GUMUNAN berarti jangan gampang silau dengan apa yang terjadi di sekeliling kita. Semua yang terjadi di sekeliling kita itu bisa jadi hanya tipuan yang akan menjerumuskan kita. Berpendirian dan berusaha terus sederhana akan menyelamatkan kita


Untuk membaca artikel terkait, silahkan klik, berpikir di sini.

Post a Comment

أحدث أقدم