Yang umum, seseorang bersekolah dengan berharap kelak di kemudian hari dia mendapatkan pekerjaan yang layak. Keadaan semacam ini telah dikondisikan oleh lingkungan semenjak seseorang masih bayi. Dengarlah dendang ibu � ibu saat mereka menimang � nimang bayi mereka. Senandung mereka seragam; dadio bocah pinter, supaya dadi dokter (jadilah anak yang pandai, agar kelak menjadi dokter). Harapan seperti ini tidak sepenuhnya salah. Yang menjadi pertanyaan, apakah sekolah mampu meluluskan siswanya dalam kondisi yang siap kerja?
Beberapa jam yang lalu sampailah kabar kepada saya tentang seorang anak lulusan SMK swasta di kota saya. Selepas lulus dari sekolahnya, anak ini pergi merantau ke Malaysia sebagai baby sitter. Kondisi ekonomi keluargalah yang membuat anak bau kencur ini nekat pergi ke negeri seberang mengadu nasib untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa minggu bekerja di sebuah keluarga Malaysia, Nampak kecerdasan lulusan SMK itu di mata majikannya. Ternyata, sembari mengasuh anak sang majikan, si baby sitter ini mengajak anak majikannya berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sang majikan memandang bahwa tidak sepantasnya seorang anak secerdas itu menjadi seorang pengasuh. Maka majikan Malaysia itu pun mencari pembantu lain. Sedang sang baby sitter lulusan SMK? Dia diberhentikan sebagai baby sitter. Sang majikan menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan lain; mengajari anaknya bahasa Inggris.
Kompetensi telah mengangkat seorang baby sitter menjadi seorang pengajar. Bahkan, menurut beritanya, TKW asal Indonesia ini tidak hanya mengajarkan bahasa Inggris kepada anak majikannya belaka. Tetangga � tetangga lain juga menggunakan jasanya. Betapa bangganya TKW kita ini. Kini, dia tidak hanya bekerja lebih ringan melainkan uang yang dia peroleh pun lebih besar. Di saat santer terdengar berita � berita tentang TKW kita yang disiksa di negeri jiran, kita tidak perlu khawatir TKW kita yang ini mendapatkan perlakuan serupa.
Tetapi, berapa lulusan SMK kita yang memiliki kompetensi serupa kisah nyata di atas? Maksud saya, berapa anak lulusan SMK yang benar � benar bisa bekerja dengan memanfaatkan ilmu yang dia dapatkan di sekolah? Masih saja kita jumpai lulusan � lulusan sekolah kita yang menganggur. Ini artinya, apa yang dipelajari seorang siswa di sekolah belum menjamin dia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Apa sebabnya?
Bisa kita lacak dari anak SD yang berangkat sekolah. Karena biasa melihat pemandangan ini, mungkin anda tidak begitu jeli memperhatikan. Lain kali, lihatlah tas yang dibawa oleh anak � anak SD itu. Tas � tas itu pasti berat dengan ragam buku pelajaran. Artinya apa? Artinya, sejak SD anak � anak kita harus sudah belajar banyak. Demikian seterusnya sampai mereka memasuki SMP dan SMA. Jika anda orang tua dan memiliki anak yang sekolah, saya yakin anda pernah bertanya kepada anak � anak anda tentang pelajaran yang mereka pelajari di sekolah. Saya pernah menanyai anak sekolah tentang sebuah pembahasan. Katanya, dia sangat kewalahan dengan pelajaran yang dia dapatkan di sekolah. Belum lagi paham dengan sebuah pembahasan, guru sudah beralih ke pembahasan yang lain. Semua itu didasari alasan mengejar target kurikulum.
Sepertinya kurikulum pendidikan kita tidak bersahabat dengan anak didik kita. Kurikulum yang terlampau berat dan membuat jenuh itu, alih � alih membuat anak kita menjadi pandai malah mengakibatkan mereka bosan belajar. Sepertinya filosofi kurikulum pendidikan kita adalah belajar sebanyak � banyaknya. Bukan belajar sebaik � baiknya.
Yang terbaik saya kira, kurikulum pendidikan kita seharusnya ditujukan untuk membuat anak didik menjadi bisa dengan apa yang mereka pelajari. Bukan mengusahakan mereka menjadi ahli dengan apa yang mereka pelajari. Kurikulum untuk bahasa inggris misalnya, ditujukan agar anak � anak kita mampu berkomunikasi dengan bahasa itu. Bukan untuk membuat mereka menjadi paham dengan seluk beluk bahasa. Kurikulum seperti itu akan menjaga semangat belajar mereka. Jika semangat itu ada, suatu saat nanti bisa jadi mereka menjadi ahli dengan belajar yang didasari dorongan dari dalam diri mereka sendiri.
Belajar adalah sebuah proses yang mestinya berlangsung seumur hidup. Jika sejak awal kita telah mematikan mekanisme berproses itu, pembelajaran yang berlangsung seolah hanya menjadi aktivitas kosong belaka. Anak � anak kita akan memandang sekolah sebagai beban yang memberatkan. Bukan sesuatu yang menarik hati. Layaknya makanan bergizi yang disajikan ala kadarnya, sedikit saja orang yang berkenan mencicipinya.
Beberapa jam yang lalu sampailah kabar kepada saya tentang seorang anak lulusan SMK swasta di kota saya. Selepas lulus dari sekolahnya, anak ini pergi merantau ke Malaysia sebagai baby sitter. Kondisi ekonomi keluargalah yang membuat anak bau kencur ini nekat pergi ke negeri seberang mengadu nasib untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa minggu bekerja di sebuah keluarga Malaysia, Nampak kecerdasan lulusan SMK itu di mata majikannya. Ternyata, sembari mengasuh anak sang majikan, si baby sitter ini mengajak anak majikannya berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sang majikan memandang bahwa tidak sepantasnya seorang anak secerdas itu menjadi seorang pengasuh. Maka majikan Malaysia itu pun mencari pembantu lain. Sedang sang baby sitter lulusan SMK? Dia diberhentikan sebagai baby sitter. Sang majikan menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan lain; mengajari anaknya bahasa Inggris.
Kompetensi telah mengangkat seorang baby sitter menjadi seorang pengajar. Bahkan, menurut beritanya, TKW asal Indonesia ini tidak hanya mengajarkan bahasa Inggris kepada anak majikannya belaka. Tetangga � tetangga lain juga menggunakan jasanya. Betapa bangganya TKW kita ini. Kini, dia tidak hanya bekerja lebih ringan melainkan uang yang dia peroleh pun lebih besar. Di saat santer terdengar berita � berita tentang TKW kita yang disiksa di negeri jiran, kita tidak perlu khawatir TKW kita yang ini mendapatkan perlakuan serupa.
Tetapi, berapa lulusan SMK kita yang memiliki kompetensi serupa kisah nyata di atas? Maksud saya, berapa anak lulusan SMK yang benar � benar bisa bekerja dengan memanfaatkan ilmu yang dia dapatkan di sekolah? Masih saja kita jumpai lulusan � lulusan sekolah kita yang menganggur. Ini artinya, apa yang dipelajari seorang siswa di sekolah belum menjamin dia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Apa sebabnya?
Bisa kita lacak dari anak SD yang berangkat sekolah. Karena biasa melihat pemandangan ini, mungkin anda tidak begitu jeli memperhatikan. Lain kali, lihatlah tas yang dibawa oleh anak � anak SD itu. Tas � tas itu pasti berat dengan ragam buku pelajaran. Artinya apa? Artinya, sejak SD anak � anak kita harus sudah belajar banyak. Demikian seterusnya sampai mereka memasuki SMP dan SMA. Jika anda orang tua dan memiliki anak yang sekolah, saya yakin anda pernah bertanya kepada anak � anak anda tentang pelajaran yang mereka pelajari di sekolah. Saya pernah menanyai anak sekolah tentang sebuah pembahasan. Katanya, dia sangat kewalahan dengan pelajaran yang dia dapatkan di sekolah. Belum lagi paham dengan sebuah pembahasan, guru sudah beralih ke pembahasan yang lain. Semua itu didasari alasan mengejar target kurikulum.
Sepertinya kurikulum pendidikan kita tidak bersahabat dengan anak didik kita. Kurikulum yang terlampau berat dan membuat jenuh itu, alih � alih membuat anak kita menjadi pandai malah mengakibatkan mereka bosan belajar. Sepertinya filosofi kurikulum pendidikan kita adalah belajar sebanyak � banyaknya. Bukan belajar sebaik � baiknya.
Yang terbaik saya kira, kurikulum pendidikan kita seharusnya ditujukan untuk membuat anak didik menjadi bisa dengan apa yang mereka pelajari. Bukan mengusahakan mereka menjadi ahli dengan apa yang mereka pelajari. Kurikulum untuk bahasa inggris misalnya, ditujukan agar anak � anak kita mampu berkomunikasi dengan bahasa itu. Bukan untuk membuat mereka menjadi paham dengan seluk beluk bahasa. Kurikulum seperti itu akan menjaga semangat belajar mereka. Jika semangat itu ada, suatu saat nanti bisa jadi mereka menjadi ahli dengan belajar yang didasari dorongan dari dalam diri mereka sendiri.
Belajar adalah sebuah proses yang mestinya berlangsung seumur hidup. Jika sejak awal kita telah mematikan mekanisme berproses itu, pembelajaran yang berlangsung seolah hanya menjadi aktivitas kosong belaka. Anak � anak kita akan memandang sekolah sebagai beban yang memberatkan. Bukan sesuatu yang menarik hati. Layaknya makanan bergizi yang disajikan ala kadarnya, sedikit saja orang yang berkenan mencicipinya.
إرسال تعليق